Seperti suasana menjelang Ramadhan tahun-tahun sebelumnya,  saya mulai 
menerima puluhan pesan pendek di ponsel dari teman, keluarga, hingga mantan 
pacar yag isinya adalah permohonan maaf, redaksinya macam-macam, dari gaya 
bahasa pujangga hingga yang konyol-konyol, intinya meminta kelapangan dada agar 
memaafkan segala salah dan khilaf.

     Dan seperti tahun-tahun sebelumnya juga, saya tidak pernah membalas 
pesan-pesan seperti itu. Bukannya pelit untuk menghabiskan pulsa seribu dua 
ribu perak , tapi saya nggak sanggup mengajukan maaf dengan cara seperti itu, 
terlalu gampang. sebab saya yakin, kesalahan yang biasanya saya lakukan dengan 
gampang, tentu tidak bisa mohon dihapuskan secara gampang. Rasa bersalah 
bukanlah perkara gampangan.
 
     Tapi apa yang dilakukan seorang pemuda bernama Ismet  Danyal , pada minggu 
sore (1/8)  yang diguyur hujan itu,   bukan main menggoyahkan keyakinan saya 
tentang perkara berbuat salah dan memberi maaf.

     Betapa tidak, pada sore hari yang membuka bulan  Agustus itu,  pria 
berpostur ceking ini nekad menerobos masuk ke rumah dinas Bupati  Bone Bolango, 
Gorontalo, yang kebetulan sedang tidak dijaga Pol- Pepe, sambil membawa sebilah 
parang. dengan enteng  dia berkata hendak membunuh sang bupati tersebut.

     Beruntung, orang yang dicari sedang ”pergi ke luar daerah” (bagi anda- 
siapapun-  yang terbiasa menghadap pejabat, tentu akrab dengan kalimat ini). 
Beruntung, jerit panik pembantu  rumah tangga yang memergokinya mampu 
mendatangkan tetangga di sekitar rumah super besar itu.

     Lagi-lagi  beruntung, ada di antara tetangga sang bupati yang kebetulan 
seorang anggota polisi, melihat si pemuda bersenjata tajam, si polisi buru-buru 
bergegas pulang ke rumahnya, mengambil pistol   dan balik  lagi ke TKP, lalu 
menyalakkan tembakan peringatan ke udara. Mujarab, standar operasional itu 
sanggup membuat si pemuda segera meletakkan parang itu.

     Singkat cerita, si pemuda digiring ke kantor polisi terdekat, 
ditanya-tanya, dan tentunya masuk  bui untuk sementara waktu.dan esok harinya, 
si pemuda sudah diperbolehkan pulang. Tak perlu heran, sebab pemuda yang satu 
ini memang diduga kuat terganggu kejiwaannya, penyakit malaria sebabnya. karena 
itu tak bisa diproses secara hukum.
 
     Bagaimana tidak, jawabannya ngelantur saat ditanya seputar motif dan 
alasannya hendak membunuh.

     ”Dia (bupati Ismet mile) itu sodara kembar saya, saya mau bunuh karena 
jangan ada dua Ismet   di daerah ini,” kata dia.
 
      Masih dengan pertanyaan yang sama, si pemuda menjawab lebih ngelantur 
lagi:  ”dia tidak baik , tapi tidak jadi saya bunuh, dipukul saja ditangan, 
nakal,” nah lho.

      Ismet Danyal pun dimaafkan. Oleh polisi, Kedua orang tuanya hanya diminta 
menandatangani surat pernyataan agar anak mereka senantiasa diawasi. Cerita 
Ismet danyal pun melejit, namanya melejit di kancah nasional ketika media massa 
 melansirnya. 
  
      Dan tentunya maaf bertubi-tubi pak bupati, saya bukannya ingin 
menjelek-jelekkan anda, lagipula ini pengakuan dari orang yang diduga kuat  
mengidap penyakit jiwa.

      Ah, mari  sudahi saja cerita si  Ismet Danyal, kembali lagi pada topik 
seputar memberi maaf, yang ternyata masih tidak mudah untuk dilakoni, meski 
nama kita harum dikenal sebagai bangsa yang pemaaf. 
Habis mau bagaimana lagi, tidak mudah  memaafkan mereka ,yang harus bertanggung 
jawab   atas meledaknya tabung gas tiga kiloan yang banyak menolak korban itu. 

       Kita juga tidak bisa kompromi ketika merasa berada di pihak paling benar 
(bahkan kita merasa Tuhan memihak kita)  , itu sebabnya terdengar lantang nama 
Tuhan diserukan  , pada sesama orang yang saling melempar batu karena tidak 
bisa menghargai  perbedaan.

       Apalagi yang ketahuan korupsi, harus dihukum seberat-beratnya, jangan 
ada kata maaf bagi mereka.
 
       Ups, kita juga masih saja mengutuki mereka, artis yang kita anggap 
rendah moralnya itu, karena ketahuan merekam adegan  bercinta  dengan orang 
yang berbeda-beda. Tak peduli kita juga horny dan diam-diam mengoleksi pilem 
”dokumenter” itu, yang penting sudah mengutuk dan mengecam. Itu urgen demi 
memenuhi standar moral sebuah bangsa.
 
       Kita masih beramai-ramai mengutuk, karena apa yang mereka perbuat telah 
menyimpang dari hal-hal yang waras ,  sebab pelakunya adalah  orang yang waras, 
terhormat malah . Pada situasi seperti ini, kita seolah menjadi bangsa yang 
pendendam. sulit amat memaafkan mereka.

        Barangkali itu sebabnya, jika kesalahan  anda senantiasa ingin 
dimaafkan dengan mudah, jadilah orang  gila, dalam artian medis. Jangankan di 
dunia, bahkan di akhirat sekalipun dosa anda dimaklumi. Konon.***

tulisan ini sebelumnya di posting di situs citizen journalism kompasiana.com, 
klik  link ini :

http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/02/ingin-senantiasa-dimaafkan-jadilah-gila-buah-tangan-marhaban-ya-ramadhan/


salam

terrajana




Kirim email ke