dikutip dari milis tetangga:

“Akh, ana mau ngasih tau antum sesuatu”, ujar kawan
saya setengah merapat kepada saya.

“Ada apa akh?”, tanya saya. Penasaran.

“Antum tau nggak, istri ana itu dulunya termasuk satu
dari dua akhwat yang paling banyak diharapkan sama
ikhwan di sini untuk dijadiin istri”, ucapnya sambil
tersenyum. Bangga.

“Ah, yang bener akh?’, tanya saya lagi. Tergelitik
juga saya dengan omongan kawan baik saya yang satu
ini.

“Eh, ana serius akh”, tukasnya dengan mimik serius.

“Ya, ya, ya, ana percaya sama antum”, ujar saya sambil
tersenyum. “Lha terus, yang satu lagi siapa? Dia udah
nikah juga?”, tanya saya lagi.

“Kalo yang satu lagi itu ukh anu. Dia belum nikah
akh”, lanjutnya kemudian.

Sambil mengingat-ingat wajah sang akhwat yang
dimaksud, sambil tersenyum, saya pun berujar kepada
teman saya, “Ya iyalah. Kalau sama ukh itu mah ya
pantes aja kalo banyak yang ngefans. Lha wong
tampangnya aja udah tampang artis. Kalo antum ngomong
begitu, ana juga setuju deh”.

“Terus, dia juga mau nikah sebentar lagi? Wah, kalo
emang iya, bakalan ada banyak BPH nih”, canda saya.

“Enggak akh, belum ada yang proses sama dia”,
jawabnya. “Eh, BPH itu emangnya apaan sih?”, tanyanya.

“Barisan Patah Hati”, jawab saya kalem.

Kami pun tertawa bersama.

Obrolan ini kemudian saya tanyakan ke seorang kawan
saya lainnya di sini, tentang dua orang akhwat yang
dulu, sebelum salah satunya menikah, disinyalir
menjadi the most wanted akhwat in town. Atau menurut
istilah saya semacam “kembang desa”-nya akhwat-lah.
Dan dari obrolan tersebut, kawan saya itu membenarkan
akan apa yang kawan saya yang pertama tadi katakan. 

“Bahkan”, ujarnya, “ dulu sempat ada semacam
ketegangan di antara si fulan dan si fulan gara-gara,
istilahnya, memperebutkan akhwat itu”, ceritanya.
Bersemangat.

“Ya Allah, sampai segitunya pak?”, tanya saya. Takjub.

“Iya akh, emang sampai segitunya”, kata kawan saya
sambil tersenyum.

“Trus, nggak sampe ada pertumpahan darah kan?”,
celetuk saya.

Kawan saya tertawa. “Ya nggaklah, emangnya jodoh cuma
selebar erte satu erwe dua aja.”

Saya juga tertawa.

Kemudian saya bertanya lagi. “Nah, kalo akhwat yang
terakhir ini gimana?”.

“Kalo yang ini kayaknya juga sedang ada beberapa kawan
kita yang sedang berusaha untuk proses dengan dia”,
jelasnya. 

“Dulu sih dia sempet mau proses dengan akh fulan”,
sambungnya, “cuman nggak jadi. Malah ana dapat
pengakuan dari akh anu kalo dia sekarang lagi mau
menyusun rencana buat meminang itu akhwat.”

“Halah, kayak mau pilkada aja”, tukas saya. “Trus,
cerita selanjutnya gimana?”, tanya saya lagi.
Bersemangat.

“Ya, kita liat aja nanti. Emang kenapa? Pak Wahid juga
mau berpartisipasi?”, tanyanya kepada saya. Bercanda.

“Wah, kalo bisa jangan pak. Kalo ana sampai ikut di
dalam persaingan, nanti takutnya bakalan ada
gonjang-ganjing di dunia perpolitikan kita di sini.
Bisa-bisa ntar ana didemo lagi sama fulan-fulan itu
gara-gara ngerebut lahan orang”, jawab saya sambil
cengar-cengir. 

“Ya nggak apa-apa pak. Namanya juga usaha”, kelakar
kawan saya.

Untuk sesaat. Tercipta keheningan di sela obrolan kami
malam itu. Tak lama, kawan saya mulai angkat bicara
lagi. Kali ini tampak nada serius di raut wajahnya.

“Ana juga bingung, kenapa ya ikhwan-ikhwan itu lebih
mengutamakan wajah ketimbang aspek imaterialnya. Iya
sih, cantik itu salah satu kecenderungan fitrah setiap
manusia, tapi apakah harus mengorbankan dakwah ini
demi sebuah kecantikan?”, ujarnya prihatin.

Ia melanjutkan. “Coba pak Wahid liat, akhwat di sini
banyak yang belum menikah, padahal dari segi usia
mereka sudah lebih dari cukup untuk segera menikah.
Lagipula, apa sih yang kurang dari mereka?” tanyanya
retoris. Pertanyaan yang sempat membuat saya serasa
tertampar. 

Kemudian saya pun membatin, “Apakah saya termasuk
bagian dari mereka—para ikhwan yang terlalu
mengutamakan kecantikan itu? Semoga saja tidak?”.

Lalu pertanyaannya adalah, sebegitu pentingkah sebuah
kecantikan bagi seorang laki-laki sebagai standar
utama dalam memilih jodoh? Saya akui, Rasulullah juga
menyebutkan aspek tersebut dalam menentukan sosok
calon istri, tapi apakah karena itu kita lantas
menjadikannya sebagai segala-galanya? Bukankah
Rasulullah justru mensyaratkan kebaikan iman sebagai
sumber kebahagiaan dalam membina sebuah keluarga?
Sebuah pertanyaan yang sulit saya jawab, karena saya
hanyalah manusia biasa yang juga memiliki
ekspektasi-ekspektasi tertentu akan hal itu. 

Akan tetapi saya bertekad untuk tidak meletakkan
keyakinan klise nan apologetik itu dalam hati saya
selamanya dan saya berusaha untuk menerima
‘bargaining-bargaining ‘ tertentu. Karena saya
percaya, ketenangan itu adanya di dalam hati yang mau
menerima dengan ringan, meski mata memberikan banyak
pesanan. Dan saya juga percaya, bahwasanya ada
kepentingan besar yang jauh lebih pantas diutamakan
ketimbang memenuhi semua keinginan kita yang terkadang
tidak memiliki korelasi signifikan terhadap
kepentingan besar itu. 

Saya sadar, keyakinan saya ini akan menuai banyak
komentar, baik negatif maupun positif, dari Anda yang
mendengarnya. Namun saya hanya mencoba untuk
meletakkan sesuatu sesuai dengan tempat yang
seharusnya sesuatu itu berada, bukan sekedar tempat
yang sebaiknya. Karena Dia Maha Tahu akan apa yang
terbaik buat saya, sedangkan saya tidak. Siapa tahu,
ada kejutan yang Allah siapkan di balik keyakinan saya
itu. Kejutan yang indah. Insya Allah.

Semoga Allah menguatkan hati saya, dan juga Anda
(khususnya para lelaki). Amin


      
____________________________________________________________________________________
Like movies? Here's a limited-time offer: Blockbuster Total Access for one 
month at no cost. 
http://tc.deals.yahoo.com/tc/blockbuster/text4.com

Kirim email ke