Akhirnya, Pak Harto Bebar-Benar Meninggal 
 
 Oleh:
 A. Mustofa Bisri 
 
 Akhirnya, Pak Harto benar-benar meninggalkan kita.
 Presiden yang paling lama memerintah Indonesia itu
 sudah delapan kali keluar-masuk rumah sakit. Dan yang
 terakhir benar-benar menghebohkan rakyatnya yang
 selama 32 tahun dikuasainya. Pers seolah-olah dengan
 sengaja membawa rumah sakit Pertamina -tempat Pak
 Harto dirawat- ke rumah-rumah kita agar kita semua
 bisa ikut "menunggui"- nya. Setelah itu, kita semua
 melayat dan mengantarkan jenazahnya hingga ke makam
 yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkannya dengan rapi.
 
 Jenderal terkuat yang saat berkuasa mampu menyihir
 banyak orang pintar menjadi bebek-bebek, meneluh
 wakil-wakil rakyat menjadi gagu, dan membuat pers
 tiarap sekian lama, ternyata, akhirnya hanya
 tergeletak tak berdaya, lalu menyerah kepada malaikat
 maut. 
 
 Kita teringat Bung Karno, presiden pertama yang juga
 begitu hebat; yang dengan gagah meng-"go to hell"-kan
 Amerika, bahkan dengan lantang menyatakan keluar dari
 badan internasional PBB, ternyata, juga berakhir tak
 berdaya, lalu menyerah kepada malaikat maut. 
 
 Di samping perbedaan saat meninggal -Bung Karno
 meninggal di zaman Pak Harto, sementara Pak Harto
 meninggal masih di zamannya sendiri-. Keduanya,
 presiden pertama dan kedua itu, memiliki banyak
 kesamaan. Mereka sama-sama lama berkuasa, sama-sama
 kontoversial -banyak dicintai sekaligus dibenci- dan
 sama-sama membawa masalah yang tak tuntas saat
 meninggal. 
 
 Kontroversial mereka mungkin akibat dari terlalu lama
 berkuasa. Dan terlalu lamanya mereka berkuasa,
 terutama akibat pengikut-pengikutny a yang pengecut dan
 mengultuskannya. (Ingat, keputusan MPR dulu yang
 mengangkat Bung Karno seumur hidup dan keputusan MPR
 berikutnya yang mendorong Pak Harto terus).
 
 Mengenai masalah yang tak tuntas hingga keduanya wafat
 boleh jadi karena kita memang tidak terbiasa menangani
 masalah hingga tuntas. Yang terkena dampaknya tentulah
 keluarga mereka dan mungkin sejarah bangsa.
 
 Waba’du, bagaimanapun, kini Pak Harto benar-benar
 telah tiada dan kita tetap tidak tahu persis, apakah
 beliau bersalah atau tidak. Namun, untuk hati-hatinya,
 terutama karena Pak Harto, Haji Muhammad Soeharto,
 adalah seorang muslim yang percaya akan hari akhir,
 seyogianya keluarga dan ahli warisnya bersikap seperti
 keluarga di daerah saya. 
 
 Di daerah saya, bila ada seorang muslim atau muslimah
 meninggal, pada waktu upacara pemberangkatan jenazah,
 biasanya wakil keluarga menyatakan kepada hadirin
 hadirat yang melayat: "Almarhum adalah manusia biasa,
 maka apabila semasa hidupnya almarhum dalam pergaulan
 dengan bapak-bapak dan ibu-ibu mempunyai kesalahan,
 kami keluarga mohon sudilah kiranya bapak-bapak dan
 ibu-ibu memaafkannya. Apabila di antara bapak-bapak
 dan ibu-ibu ada perkara yang menyangkut hak-hak Adami
 yang menjadi tanggungan almarhum, jika sekiranya
 tanggungan itu dapat diikhlaskan, keluarga sangat
 bersyukur dan berterima kasih. Namun, jika tidak,
 hendaknya yang bersangkutan segera menghubungi
 keluarga agar dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya
 dan tidak menjadi ganjalan kelak di Hari Pembalasan."
 
 Bagaimanapun, sebagai hamba yang beriman, Pak Harto
 -sebagaimana keluarga dan siapa pun yang mencintainya-
 pasti menginginkan kehidupan di akhirat lebih baik.
 Itu jauh lebih penting dari sekadar status setinggi
 apa pun di dunia fana ini.
 
 Innaa lillahi wainaa ilaihi raaji’uun. 
 
 H A. Mustofa Bisri, pengasuh pesantren Rodlatut
 Thalibin, Rembang 
       
---------------------------------
Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.

Kirim email ke