Assalamualaikum all
Berikut ini pandangan  Pemilu di US
dari ustad Syamsi Ali.
mungkin bisa memberi sedikit informasi 
soal pekembangan pemilu  di sini.


Odu Olo 
Musafir






Pemilu Amerika dan Komunitas Muslim 
M. Syamsi Ali

Berbicara tentang komunitas Muslim di Amerika tentu
berbicara tentang sesuatu yang selalu hangat untuk
dibahas. Sejak kejadian 11 September, komunitas Muslim
Amerika menjadi sorotan oleh berbagai kalangan,
khususnya kalangan media massa. Oleh karenanya, isu
komunitas Muslim di Amerika memang tidak pernah
membosankan untuk didiskusikan. 

Tragedi 11 September, bagi komunitas Muslim memang
menjadi awal mala petaka yang hampir tidak
berkesudahan. Tidak saja karena memang tidak sedikit
juga dari kalangan umat Islam yang menjadi korbannya.
Tapi yang paling menyakitkan adalah seolah umat ini
tidak menjadi bagian dari korban (victims). Bahkan
sebaliknya, dituduh atau minimal dipersepsikan secara
sistimatis sebagai pelaku, sponsor, atau menyetujui
dan senang dengan kewajiban tersebut. 

Sejak itu pula komunitas Muslim berada pada posisi
"depensive", dan dari hari ke hari semakin
tersudutkan. Tersudutkan oleh berbagai kebijakan
pemerintah, tersudutkan oleh pemberitaan media massa,
tersudutkan oleh imej dan persepsi masyarakat luas
tentang agama mereka, dan bahkan tersudutkan oleh
persepsi mereka terhadap diri  mereka sendiri. Maksud
saya, karena sedemikian dahsyatnya berbagai tuduhan
itu, seolah semua itu menjadi kebenaran mutlak yang
tidak mungkin di tantang (challenged), dan karenanya
harus diterima apa adanya, termasuk oleh kaum Muslim
sendiri. 

Afiliasi Partai 

Secara umum, masyarakat Muslim di Amerika tidak
berafiliasi buta kepada salah satu dari dua partai
politik besar Amerika, Demokrat dan Republikan.
Sebagian memang ada yang demokrat, seperti warga
Muslim Afro Americans. Namun tidak sedikiti juga yang
berafiliasi ke partai Republikan. 

Mereka yang memilih berafiliasi dengan partai Demokrat
menilai bahwa partai ini dalam sejarahnya memang lebih
bersahabat dengan warga minoritas, termasuk di
dalamnya umat Islam. Selain itu, dari perspektif
idiologi, kaum Demokrat tidak dibajak oleh idiologi
Kristen fundamentalis dalam kebijakan-kebijakannya. 

Di lain pihak, mereka yang memilih untuk berafiliasi
dengan partai republikan didorong oleh
pandangan-pandangan konservatisme Repubikan dalam
berbagai isu sosial, isu aborsi dan perkawinan sejenis
misalnya. Bahwa secara moral, idiologi partai
Republikan lebih cenderung kepada konsep-konsep agama
secara umum. 

Namun dapat dipastikan, pada pemilu kali ini
mayoritas, jika tidak semuanya, pemilih dari kalangan
komunitas Muslim akan memilih calon dari Demokrat.
Sebabnya adalah prustrasi dan perasaan kecewa yang
sangat dalam atas apa yang dianggap oleh komunitas
Muslim sebagai "pengkhianatan" capres Republikan
ketika itu, George W. Bush. Kumpulan suara (block
voting) umat Islam di tahun 2000 yang diberikan kepada
calon presiden Bush ketika itu, ternyata dikhianati
oleh Presiden Bush dengan berbagai kebijakan di
kemudian hari yang merugikan umat Islam. 

Br. Habib Ahmed adalah Presiden dari ICLI (Islamic
Center of Long Island) dan Dr. Wadud Bhuya adalah
Presiden dari JMC (Jamaica Muslim Center) adalah
contoh hal di atas. Keduanya adalah registered
republicans. Tapi keduanya ikut pada acara temu muka
dengan wakil-wakil dari capres dari partai Demokrat
baru-baru ini dan masing-masing menyatakan mendukung
salah satu dari dua calon kuat partai Demokrat itu.  

Prustrasi dan kekecewaan masyarakat Muslim kepada
pemerintahan Bush berdampak luas kepada pandangan dan
sikap mereka dalam pemilu kali ini. Untuk itu, dapat
dipastikan bahwa mayoritas, jika tidak semuanya, suara
umat Islam akan diberikan kepada calon dari partai
Demokrat kali ini. Dalam sebuah pertemuan yang
dikelolah oleh American Muslim Democratic Club
baru-baru ini yang dihadiri wakil-wakil dari Barack
Obama, Hillary Clinton dan John MacCain, hadir
beberapa Muslim yang registered Republicans tapi
menyatakan akan memilih Demokrat pada pemilihan
presiden mendatang. 

Penentuan pilihan 

Dalam politik ternyata memang ada gap (jurang) antara
idealisme dan realita. Idealnya umat Islam harus
memiliki calonnya sendiri untuk maju ke perebutan
kursi kepresidenan. Sayang, realita mengatakan bahwa
hal itu masih belum memungkinkan, dan barangkali
justeru akan merugikan komunitas Muslim itu sendiri.
Kerugian yang kita maksud tentunya adalah, selain umat
Islam memang belum siap bersatu di bawah satu atap
partai politik, juga karena tingkat kesalah pahaman
masyarakat kepada agama ini dan pemeluknya sangat
tinggi. 

Maka, memaksakan diri untuk memiliki calon sendiri
sama dengan melakukan sesuatu yang sia-sia. Namun
demikian, di sisi lain sebenarnya ada positifnya.
Dengan adanya calon yang beragama Islam, masyarakat
Amerika akan melihat agenda sesungguhnya yang ada di
benak kaum Muslimin. Bahwa kaum Muslimin dalam
melakukan perjuangan tidak ekslusif, tapi sebaliknya,
bertujuan untuk memprjuangkan "American interest"
(kepentingan Amerika). Dan ini akan membangun "trust"
(kepercayaan) di kalangan masyarakat Amerika untuk
calon-calon masa depan, sekaligus dapat membangun
"self confidence" (percaya diri) umat islam itu
sendiri. 

Namun secara realita, nampaknya memang belum masanya
untuk memajukan calon dari kalangan warga Muslim.
Maka, yang paling realistic untuk dilakukan oleh
masyarakat Muslim adalah memilih calon presiden yang
paling dekat kepada idelisme dan cita-cita Islam.
Kalau ternyata secara idealisme tidak ada, maka yang
dipilih adalah calon yang kecil mudharatnya. Maksud
saya adalah calon yang kira-kira tidak menempatkan
umat Islam pada sisi yang beseberangan, khususnya
dalam konteks perang terhadap terorisme. 

Dari semua ini, nampaknya pilihan masyarakat Muslim
Amerika kali ini memang menjadi pilihan yang
dilematis. Dari seluruh kandidat yang ada, nampaknya
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Maka, untuk menentukan pilihannya, komunitas Muslim
akan melihat secara teliti siapa di antara kandidat 
yang paling paling sedikit mudharatnya (akhaf ad
dhoraraen).  

Sebagaimana disebutkan terdahulu, secara pertimbangan
moral sosial, komunitas Muslim cenderung untuk memilih
kadindat Republikan yang dinilai lebih konservativ.
Tapi dengan melihat kepada berbagai relaita pahit yang
terjadi saat ini, khususnya jika melihat kepada
kebijakan luar negeri, dan lebih khusus lagi relasinya
dengan perang Timur Tengah dan isu Israel-Palestina,
juga termasuk apa yang disebutkan sebagai "war on
terrorism" nampak bahwa capres dari partai Demokrat
jauh lebih bersahabat. 

Kandidat Demokrat dalam berbagai visinya dapat
dikatakan lebih "manusiawi" (humanis) dan rasionaol
dalam menawarkan berbagai kebijakan luar negerinya.
Sementara capres dari partai Republikan lebih kaku dan
dahkan cenderung tidak rasional, dan lebih berbahaya,
mereka sangat dipengaruhi oleh idiologi Kristen
radikal, Evangelist, yang memang pendukung utama
negara Israel. 

Antara Hillary dan Barack 

Dengan mundurnya John Edward dari persaingan
pencalonan dari partai Demokrat, kini tinggal dua
kandidat dari partai ini yang akan dipilih. Dari kedua
calon ini, manakah yang lebih cenderung dipilih oleh
masyarakat Muslim? 

Menimbang-nimbang dua kandidat ini memang cukup rumit.
Secara umum, masyarakat Muslim cenderung untuk
menjatuhkan pilihannya pada Barack Obama.
Pertimbangannya bukan karena ras, gender, dan bukan
pula karena adanya keterkaitan latar belakang keluarga
ayah Obama yang Muslim. Tapi memang visi yang diajukan
Obama nuansanya lebih menjamin perubahan yang
dijanjikan. 

Barack Obama memang memiliki daya tarik luar biasa.
Umurnya yang masih relative muda, cerdik dan tajam
dalam menganalisa berbagai isu yang ada. Walaupun ada
kekhawatiran bahwa Obama masih kurang berpengalaman,
namun melihat kepada pandangan-pandangannya yang tajam
mengurangi kekhawatiran tersebut. Memang dalam
berbagai debat politiknya, isu "experience versus
judgment" menjadi isu hangat. Hillary merasa lebih
berpengalaman, tapi sebaliknya Obama yakin dengan
pandangan-pandangannya yang lebih akurat. 

Selain itu, penentangan Obama kepada perang Iraq dari
awal juga memberikan kontribusi yang besar dalam
kampanyenya. Sementara Hillary dipaksa oleh situasi
untuk menyesali dukungannya kepada presiden Bush untuk
menyerang Iraq di masa lalu. Hillay berada pada posisi
defensive jika dihadapkan kepada realita bahwa dirinya
pernah mendukung penyerangan Iraq dengan mengatakan
"kalau saja saya tahu ketika itu bahwa akibatnya
seperti saat ini, pasti saya tidak akan memberikan
dukungan saya". Sayang pernyataan itu oleh sebagian
dinilai "nasi sudah terlanjur menjadi bubur". 

Hal lain yang menjadikan sebagian besar masyarakat
Muslim mendukung Obama adalah sikapnya yang selalu
mendahulukan "diplomasi" di atas penyelesaian militer.
Bahkan dalam banyak kesempatan, Obama selalu
mengatakan "we must be courageous to speak to our
friends and to our enemies". Keinginan baik untuk
membangun komunikasi ini sendiri, termasuk dengan
mereka yang dianggap musuh-musuh Amerika seperti Iran,
adalah sikap positif. Komunitas Muslim cukup muak
dengan kebijakan luar negeri Bush yang selalu
mengedepankan aksi militer. 

Di lain pihak, memang ada kekhawatiran dari beberapa
kalangan bahwa Obama kemungkinan besar tidak akan
terpilih. Alasannya, Amerika belum siap dipimpin oleh
seseorang non White (selain warga kulit putih). Hal
ini mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Jika kita
melihat kepada kepada demografi pemilih Obama, juga
tidak kurang dari warga kulit putih yang memilihnya.
Contoh terdekat barangkali adalah IOWA. Sebaliknya,
ada juga kekhawatiran bahwa Amerika hingga kini belum
siap dipimpin oleh seorang wanita. 

Pada akhirnya memang, calon pemilih sibuk
mendiskusikan antara pengalaman Hillary dan ketajaman
"pertimbangan" (judgment) Obama. Hillary yang dianggap
telah lama melanglang buana di Washington DC, sejak
sebagai Ibu Negara hingga sebagai senator terpilih
dari negara bagian New York menjadi modal utama dalam
pemerintahannya nanti. 

Tapi itupun dipertanyakan. Semua tahu bahwa
pemerintahan G.W Bush didominasi oleh Wapressnya, Dick
Cheney, yang telah melanglang buana dalam struktur
pemerintahan Amerika. Toh, berbagai kebijakan yang
dihasilkan dapat dikatakan justeru membawa bencana
bagi Amerika dan dunia saat ini. 

Memilih adalah sebuah keharusan 

Akhirnya, siapapun nantinya yang akan dpilih oleh
komunitas Muslim, memilih memang menjadi sebuah
keharusan dalam konteks masa kini. Perdebatan klasik
tentang boleh tidaknya seorang muslim untuk
berpartisipasi dalam tatanan politik sekuler,
seharusnya dikesampingkan demi kepentingan yang lebih
besar. 

Sebagaimana disebutkan oleh banyak kalangan,
kebijakan-kebijakan pemerintahan G.W. Bush yang sangat
dilandasi oleh emosi 11 September, telah kehilangan
pertimbangan rasional dan mata nurani. Atas nama
keamanan (security), baik domestic maupun
internasional, dilahirkan berbagai kebijakan yang
secara langsung atau tidak mematikan kapasitas Amerika
sebagai negara percontohan, khususnya dalam hal
hak-hak dasar manusia (human rights). 

Bahkan lebih jauh kebijakan-kebijakan itu membawa
dampak negative dalam berbagai aspek kehidupan, baik
secara ekonomi maupun sosial. Yang lebih terasa adalah
imej Amerika di mata internasional sangat jatuh. 

Hal ini menjadi alasan mengapa komunitas Muslim
Amerika harus melakukan hak pilihnya. Intinya, dengan
melakukan hak pilihnya, komunitas Muslim dapat menjadi
pendorong untuk mewujudkan janji-janji politik semua
kandidat dalam perubahan. Kata "perubahan" itu sendiri
sebenanrnya merupakan "tamparan keras" bagi
pemerintahan G.W. Bush yang segera perlu diakhiri. 

Dari pandangan Islam sendiri, dan dengan melihat
kepada keadaan sekarang ini, memilih calon presiden
yang dianggap paling "credible" untuk segera
menggantikan administrasi sekarang adalah sebuah
keharusan. Minimal ada 4 alasan utama:

Pertama, konsep "Amar ma'ruf dan nahi mungkar". Ikut
dalam memilih calon presiden Amerika yang lebih baik
dalam kebijakan-kebijakannya menjadi perangkap efektif
untuk mengurangi atau menghapus berbagai "kemungkaran"
dalam berbagai kebijakan pemerintah Amerika saat ini. 

Kedua, dalam kaedah usul fiqh disebutkan, "apa-apa
yang sebuah kewajiban tidak tercapai, juga menjadi
sebuah kewajiban" (ma laa yatimmu alwajibu illa bihi
fahuwa wajib). Menghentikan berbagai kebijakan yang
dianggal tidak adil (zalim) adalah kewajiban. Dan
proses politik adalah pendekatan yang paling efektif
untuk melakukan itu. 

Ketiga, konsep "ta'awun alal birri wattaqwa"
(tolong-tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan).
Umat Islam di Amerika harus membangun jaringan
kerjasama dengan "the like-minded people" untuk
melakukan perubahan administrasi yang tidak
menguntungkan. Koalisi dengan mereka dalam memilih
calon yang terbaik adalah jalannya. 

Keempat, bahwa seorang Muslim di mana saja hidup dia
berkewajiban untuk menjadikan tempat itu sebagai
tempat yang "ahsan" (terbaik). Umat Islam di negara
ini, baik immigrant maupun terlahir di bumi Amerika,
memiliki kewajiban untuk menjadikan Amerika sebagai
tempat yang lebih baik bagi semua orang. Presiden
adalah orang pertama untuk menjadikan negara ini
terbaik, dan oleh karenanya memilih presiden yang baik
adalah menjadi sebuah keharusan. 

Dengan demikian, tidak diragukan bahwa komunitas
Muslim Amerika dapat melakukan peranan besar untuk
mewujudkan perubahan yang dijanjikan oleh para
kandidat presiden Amerika. Tapi hal ini dapat terwujud
jika disadari bahwa bersikap pro aktif, termasuk dalam
proses politik di Amerika adalah sebuah kerja mulia,
bukan sebaliknya. Tapi mampukah kita menembus
"wawasan" berfikir konvensional yang selalu melihat
bahwa politik adalah "jahat?".

Tentu tergantung bagaimana dan dari prospektif mana
kita menilai! 




Kirim email ke