*Presiden Jual Hutan Lindung Seharga Pisang Goreng*
*Siaran Pers JATAM, WALHI, Huma, Sawit Watch - 16 Februari 2008

Sejak 4 Februari lalu, hutan lindung dan hutan produksi tak berharga
lagi. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal
diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi
kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300
setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan
menjadi fungsi ekonomi sesaat.

Ditengah keprihatinan bencana banjir dan longsor musim ini, Presiden
mengeluarkan PP No 2 tahun 2008 tentang Jenis & tarif atas jenis
penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan
hutan utuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang
berlaku pada Departemen Kehutanan.

PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung
dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan
membayar Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta per hektarnya. Lebih murah
lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan
telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio,
stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi
energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun
menjadi Rp. 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

"Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah
negeri ini. Hanya Rp. 120 hingga Rp. 300 per meternya, lebih murah
dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling"
ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan WALHI.

"Yang menyesakkan, PP ini keluar ditengah ketidakbecusan pemerintah
mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja
mencapai 2,76 juta ha. Juga, di saat musim bencana banjir dan longsor
yang terus menyerang berbagai wilayah. Sepanjang 2000 hingga 2006,
sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri.
Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi,"
tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.

Bisa dibayangkan apa dampak PP ini, ditengah kegagalan negeri
mengurus pemulihan kerusakan hutan, konflik tumpang tindih fungsi
lahan, dan penanganan bencana lingkungan tahunan.

Yang paling bersorak, tentu pelaku pertambangan. Sudah sejak lama
mereka melakukan lobby hingga ancaman. Mereka tak suka ijin
pertambangannya terganjal status hutan lindung. Perusahaan asing
sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, Pelsart -
jelas diuntungkan PP ini, demikian pula perusahaan nasional macam
Bakrie, Medco, Antam dan lainnya. Saat ini, lebih 158 perusahaan
pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung, meliputi luasan
sekitar 11, 4 juta hektar.

Keluarnya PP ini memperjelas dimana posisi kabinet SBY dan partai
berkuasa saat ini, yang mestinya mengontrol sepak terjang pemerintah.
Kabinet SBY dengan konsisten berada di sisi pemodal, bukan
keselamatan rakyat.

"PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan
segala inisitif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait
sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. Jika tak
ingin kabinet SBY semakin dijauhi rakyat dan membingungkan publik
internasional, PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah,
koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Kontak Media:
Luluk Uliyah hp 08159480246, Edi Sutrisno hp 081315849153, Rully
Syumanda hp 081319966998

Kirim email ke