Bismillahirrahmanirrahim.. Beberapa hari yang lalu tepatnya pada 28 Maret 2008 dilaksanakan diskusi tentang pendidikan bertempat di Sekolah Rakyat Indonesia Tokyo. Pematerinya adalah Dr. Irwan Prayitno, S.Psi, M.Sc ( Ketua Komisi X DPR) dan Bpk. Edyson (Atase Pendidikan di KBRI Jepang).
Ada dua poin penting yang yang mengemuka dalam diskusi tersebut yaitu masalah anggaran pendidikan yang belum bisa mencapai target sebagaimana yang diamanatkan dalam undang2 Sisdiknas 2003 yaitu 20 % dari total anggaran APBN dan Perbaikan sistem pendidikan. Kesimpulan diskusi sekilas cukup memberikan harapan karena progress report dari political will dan implementasi teknis yang cukup sinkron dan sistematis. Namun pada akhirnya semuanya bermuara pada kesiapan anggaran. "Kami sudah buat undang-undangnya, Depdiknas sebagai mitra juga sudah menyusun anggarannya, tapi setelah dikonfirmasi ke Depkeu, duitnya tidak ada," demikian komentar singkat pemateri yang sangat "menyakitkan". Sehubungan dengan hal diatas, Drajat Wibowo (Anggota DPR dan Pengamat ekonomi) mengatakan bahwa sebenarnya anggaran pendidikan 20 % bisa dicapai secara bertahap sampai 2009 apabila Departemen Keuangan mau merombak semua kebijakan yang konservatif, misalnya melakukan relokasi anggaran, reformasi perpajakan dan bea cukai, menggenjot penerimaan dalam negeri, merekayasa pengelolaan keuangan untuk mengurangi beban pembayaran hutang dan mengelola minyak dan gas secara baik. Fenomena diatas cukup memberikan gambaran pada kita bahwa yang menjadi masalah utama negara kita ini adalah kurang padunya kerjasama antar lembaga dan sektor strategis. Masing-masing bekerja menyusun programnya dan memaksakan kehendaknya sesuai sudut pandang dan kamusnya sendiri. Statemen Revrisond Baswir (pengamat Ekonomi UGM) membuktikan hal ini dengan pernyataannya bahwa Panitia Anggaran DPR berpatokan pada kondisi ideal, sementara Pemerintah yang diwakili departemen keuangan lebih melihat kebutuhan anggaran secara realistis. Contohnya, pengeluaran negara kedepan saja akan lebih berat karena sepertiga anggaran akan digunakan untuk membayar utang dan beban bunga menyusul kebijakan pemerintah yang menggeser masa jatuh tempo utang dalam negeri hingga 2019. Jadi Anggaran yang minimal 20 % itu akan sangat sulit dicapai. Sebenarnya ada hal lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mencapai amanat Undang-undang diatas, yaitu dengan melakukan revisi sistem pendidikan kita menjadi lebih efisien, Salah satunya adalah dengan menyederhanakan kurikulum. Kita pasti sudah melewatinya bersama betapa satu materi bisa kita dapatkan dari beberapa mata pelajaran/mata kuliah yang berbeda. Bahkan itu bisa berulang sampai ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kita bisa hitung sendiri secara kasar, berapa milyar per tahun yang bisa kita hemat apabila ada dua mata pelajaran atau mata kuliah yang digabung menjadi satu. Mulai dari pembatasan pengangkatan tenaga pendidik, penghematan anggaran pengadaan buku dan instrumen dan penghematan terhadap item lainnya yang terkait. Kita bisa bayangkan seandainya pemerintah pusat dan daerah serentak melakukan hal ini. Revisi dan penyederhanaan kurikulum bukan saja berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru, tapi lebih jauh lagi apabila ini dilakukan dengan konsep yang jelas akan membentuk sisi lain dari wajah pendidikan kita yang lebih penting yaitu pembentukan karakter, watak, mental dan kepribadian anak didik. Disadari atau tidak kurikulum kita saat ini masih terfokus pada Transformation of Knowledge, belum masuk pada Transformation of Value. Jadi jangan heran jika selama ini sistem pendidikan kita banyak menghasilkan lulusan-lulusan yang jenius tapi miskin nilai. Cukup beralasan kalau ada yang berpendapat bahwa korupsi yang menjadi masalah utama negara kita disebabkan oleh sistem pendidikan kita yang belum bisa membentuk karakter manusia yang bermoral dan amanah. Dalam satu diskusi singkat saya dengan Pak Sumarwoto, Kepala Sekolah Republik Indonesia Tokyo, beliau menyampaikan bahwa pembentukan karakter masyarakat Jepang sudah ditanamkan sejak dini. Hal menarik yang sempat beliau amati di sekolah-sekolah Jepang adalah Mata pelajarannya yang sangat sedikit dan dititik beratkan pada pembentukan mental dan karakter. Contohnya adalah mereka tidak mengenal sistim penentuan peringkat dalam prestasi karena akan menimbulkan iklim kompetisi dan sifat individualistis. Dalam setiap mengakhiri satu kegiatan, semua mendapat hadiah sesuai kelebihan dan kespesifikan masing-masing siswa sehingga menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan kemampuannya dari waktu ke waktu. Bandingkan dengan Sistem di negara kita yang sangat sarat dengan persaingan, yang menang disanjung setinggi langit sehingga menumbuhkan bibit-bibit kesombongan dan yang kalah dihina dan dipandang sebelah mata sehingga menimbulkan perasaan bersalah dan rendah diri. Demikian beberapa poin yang patut untuk kita kaji kembali untuk merekonstruksi wajah pendidikan kita kearah yang lebih komprehensif dan reliable. Hal ini harus segera diwujudkan karena Pada saat ini kita berada pada momentum yang sangat tepat untuk melihat kembali sejauh mana jalan yang sudah kita lalui dan sejauh apa tempat yang akan kita datangi. Perbaikan nasib bangsa hanya bisa dilakukan bila masyarakatnya memiliki kemauan untuk melakukan perubahan, dan PENDIDIKAN adalah kuncinya. Setiap Insan pendidikan baik yang bekerja di lapangan maupun yang memiliki akses ke lembaga-lembaga strategis harus merapatkan barisan dan terus menjalin komunikasi yang efektif untuk mencapai tujuan bersama. Kelemahan sistem harus segera kita benahi dengan tindakan yang sistematis dan terencana. Prasangka baik terhadap pengambil keputusan tetap kita kedepankan untuk memupuk energi positif dan menghindari reaksi-reaksi kontraproduktif. Akhirnya, Jika semua prosedur sudah kita jalankan, dan titik terang tetap tidak kita temukan, maka spanduk bertuliskan REVOLUSI PENDIDIKAN sudah saatnya kita bentangkan. Kyoto, 8 April 2008 Iqbal, Yang rindu kampung halaman