Ei tatiye mongowutato, hai sudara2ku, di hari minggu coba jangan baca2 politik 
saja...mari pertajam "rasa" kita dengan membaca artikel2 seni, sastera dll. 
Gorontalo sebagai suku yang tidak punya huruf sendiri dan dengan demikian 
sejarahnya terombang-ambing antara wungguli dan wulito, mulailah lagi kita 
menggali kesenian daerah. Bergurulah sama Risno Ahaya dan om2 lain yang jago 
tuja'i,lohidu dll. kearifan lokal dibidang falsafah maupun teknik. Teknik?



Ya,bapanjat kalapa dengan liluto dipasang dikaki itu merupakan teknik juga lho! 
Di Jawa dan tempat lain tidak tau teknik ini yang membuat manusia secepat 
monyet naik batang kelapa.



salam&sori,OH



 
<http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/97280;_ylc=X3oDMTJzaDUzOHZzBF9TAzk3MzU5NzE1BGdycElkAzEzMDA2NzAyBGdycHNwSWQDMTcwNTA0MzY5NQRtc2dJZAM5NzI4MARzZWMDZG1zZwRzbGsDdm1zZwRzdGltZQMxMjE5NDUwNTA0>
 Lirisisme dan Tubuh yang "Mata Bahasa" 


Posted by: "Agus Hamonangan"  <mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Re%3ALirisisme%20dan%20Tubuh%20yang%20%22Mata%20Bahasa%22> [EMAIL PROTECTED]    
<http://profiles.yahoo.com/agushamonangan> agushamonangan 


Fri Aug 22, 2008 5:14 pm (PDT) 

Oleh Afrizal Malna
 
<http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/23/01081738/lirisisme.dan.tubuh.yang.mata.bahasa>
 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/23/01081738/lirisisme.dan.tubuh.yang.mata.bahasa

Apa yang harus digugat dengan imperium puisi liris di Indonesia?
Apakah karena kita mulai takut bahwa bahasa Indonesia sedang tenggelam
oleh globalisasi bahasa-bahasa internasional, oleh hancurnya perilaku
politik nasional, oleh kebingungan memandang masa lalu dan masa depan?

Pak Sarip, di Stren Kali Surabaya, meninggalkan desanya di Mojokerto
karena menurutnya desa sudah bangkrut. Di kota, dia hidup miskin. Pak
Sarip hampir tidak memiliki kehidupan sosial dan ruang aktualisasi
sosial dengan warga kampung.

Saya mencoba memintanya menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang masih
diingatnya. Tiba-tiba wajah dan tubuhnya seperti baru saja hadir di
depan saya menjadi tubuh yang hidup. Dia mulai menyanyi dengan gerak
tubuh yang berusaha mengikuti irama yang dinyanyikan. Geraknya seperti
alang-alang yang tertiup angin.

Pak Sarip, di kota menghadapi dua hal sekaligus: Pertama, kebangkrutan
desa itu berlanjut lewat formalisme kota yang tidak bisa menerima
kehadiran warga seperti Pak Sarip yang tidak memiliki pendidikan,
akses pekerjaan, modal, dan pemukiman.

Kedua, konstruksi budaya yang dibawanya dari desa, yang hidup dalam
tubuhnya, harus berhadapan dengan gaya hidup kosmopolitan yang
menuntut tubuh yang lain. Akhirnya tubuh Pak Sarip ikut tenggelam
bersama konstruksi budaya masa lalu yang membentuknya. Tubuh desa dan
tubuh agrarisnya tidak mampu mengakses tubuh kosmopolitan.

”Pak Sarip, kenapa tidak kembali ke desa?”

”Di desa sudah tidak ada apa-apa lagi,” jawabnya. Jawaban untuk
mengatakan bahwa sisa hidupnya sebenarnya hanya tinggal bertahan untuk
bisa makan.

Bertahan dalam bahasa

Bahasa, sejarah, dan seni memberikan kepada kita imajinasi tentang
kehidupan bersama, waktu dan ruang yang kita kenali, penghormatan
kepada bendera kebangsaan dan foto keluarga, termasuk membuat wacana
terhadap tubuh. Karena itu Amir Hamzah percaya, walaupun Malaka
direbut Portugis, selama bahasa Melayu dijaga lewat pantun dan syair,
bangsa Melayu tidak akan hancur.

Di Desa Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, masyarakat juga masih
percaya, orang Jawa belum menjadi Jawa kalau tidak bisa nembang atau
nabuh gamelan. Bahasa Jawa diajarkan kepada anak-anak lewat kesenian
dan sastra yang mereka miliki, yang memperlihatkan bahwa bahasa tidak
semata-mata soal tata bahasa. Masyarakat Bali, termasuk Dayak, juga
masih melakukan hal yang sama.

Lalu, apa yang kita cemaskan dengan lirisisme?

Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme.
Estetika ini pada awalnya hampir tidak terpisahkan dengan teologi
masyarakat tradisi, yang sebagian besar hidup dalam budaya agraris.
Estetika di mana ”aku” belum dibaca sebagai ”aku-individu”, masih
sebagai ”aku-bersama”.

Estetika lirisisme diturunkan hampir ke seluruh pernik-pernik
kebudayaan dari pakaian (batik atau songket, misalnya), senjata
(keris, misalnya) hingga ukiran-ukiran untuk rumah.

Lirisisme seakan-akan lahir dari masyarakat yang sudah melampaui
masalah-masalah ekonomi dan politik.

Dalam masyarakat budaya lisan, lirisisme merupakan produk dari
”bagian-dalam” budaya lisan: inside dari budaya lisan itu sendiri. Dan
folklore sebagai outside-nya. Karena itu, lirisisme seperti memiliki
watak kromonisasi yang berlangsung di dalamnya.

Aku yang individu

Perubahan ekonomi untuk pengembangan investasi, penguasaan terhadap
sumber-sumber alam yang melahirkan kolonialisme, membuat prosedur baru
terhadap posisi ”aku” menjadi ”aku-individu” yang mengubah dan
menaklukkan.

”Aku-liris” tidak siap berhadapan dengan ”aku-modern” seperti ini.
Rustam Effendi dan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakannya sebagai
kebudayaan yang kalah yang harus ditinggalkan, seperti melemparkan
seruling dan pantun.

Chairil Anwar menjadi penting karena dialah yang kemudian berhasil
mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya
”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar
tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.

Lirisisme yang menjadi nakal dan sehari-hari pada puisi-puisi Rendra
maupun Subagio Sastrowardoyo, lirisisme yang berjalan ke mana-mana
yang dibawa oleh Sitor Situmorang. Juga harus disebut Ramadhan KH
dengan Priangan Si Jelita-nya, Toto Sudarto Bachtiar dan Amarzan
dengan puisi-puisi baladanya.

Sapardi Djoko Damono, lewat jalan imajisme, tiba-tiba mengembalikan
lirisisme kepada watak dasarnya sebagai ”aku-mistis”.

Imajisme puisi-puisi Sapardi ”aku telah menjadi kata”, merupakan
pembebasan baru di mana lirisisme memasuki medan penuh dengan
imaji-imaji tak terduga.

Lirisisme memang merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern,
termasuk Yudhistira M Massardi, Sutardji Calzoum Bachri, maupun Wiji
Thukul.

Sementara itu, F Rahardi seperti dinding luar dari lirisisme yang
tidak sepenuhnya berada di luar lirisisme, termasuk Darmanto Jt.

Afrizal Malna Penyair, menetap di Yogyakarta


 <outbind://20-0000000036562B5C79F27B47B770621EE8443216A4EC2E00/#toc> Back to 
top 
 <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Reply to sender |  <mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Re%3ALirisisme%20dan%20Tubuh%20yang%20%22Mata%20Bahasa%22> Reply to group |  
<http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/post;_ylc=X3oDMTJzMm85NGEzBF9TAzk3MzU5NzE1BGdycElkAzEzMDA2NzAyBGdycHNwSWQDMTcwNTA0MzY5NQRtc2dJZAM5NzI4MARzZWMDZG1zZwRzbGsDcnBseQRzdGltZQMxMjE5NDUwNTA0?act=reply&messageNum=97280>
 Reply via web post 
 
<http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/97280;_ylc=X3oDMTM4cmFocXBtBF9TAzk3MzU5NzE1BGdycElkAzEzMDA2NzAyBGdycHNwSWQDMTcwNTA0MzY5NQRtc2dJZAM5NzI4MARzZWMDZG1zZwRzbGsDdnRwYwRzdGltZQMxMjE5NDUwNTA0BHRwY0lkAzk3Mjgw>
 Messages in this topic (1) 

17. 




 
<http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/97281;_ylc=X3oDMTJza3M5dDVuBF9TAzk3MzU5NzE1BGdycElkAzEzMDA2NzAyBGdycHNwSWQDMTcwNTA0MzY5NQRtc2dJZAM5NzI4MQRzZWMDZG1zZwRzbGsDdm1zZwRzdGltZQMxMjE5NDUwNTA0>
 Klaim Malaysia atas Batik Meresahkan 


Kirim email ke