Kompas, 3 Januari 2008 //

Memastikan Kedaulatan Rakyat 
 
Oleh: Rocky Gerung 
 
Tahukah negara di mana alamat "Surga" dan berapa nomor
telepon "Neraka"? Berhakkah negara menentukan
"akhirat" seseorang? Berbagai forum evaluasi akhir
tahun 2007 tentang kebebasan beragama di negeri ini
tiba pada kesimpulan yang sama: Negara gagal
melindungi hak warga negara menjalankan
agama/kepercayaanny a! 
 
Mengapa pemerintah lalai melindungi warganya? Apakah
di negeri ini ada dua jenis warga negara? Ada warga
negara yang "benar" dan ada yang "sesat"? 
 
Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan
setiap orang untuk memeluk agama, beribadat menurut
agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Kita juga telah
meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB
sehingga menjadi hukum positif kita. Pasal 18 Ayat 2
Kovenan itu berbunyi: "Tidak seorangpun dapat dipaksa
sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan
pilihannya." 
 
Urusan hati nurani 
Prinsip-prinsip kebebasan beragama/kepercayaa n itu
sebetulnya sudah kita tuntaskan dalam debat-debat
penyusunan UUD di masa lalu, yaitu ketika kita memilih
untuk menjalankan negara ini dengan prinsip
"kedaulatan rakyat". Kita tidak memilih kedaulatan
"Tuhan" karena kita tidak ingin menjadikan "hal yang
amat tinggi" itu diturunkan dan direndahkan dalam
pertengkaran politik. Tuhan (dan ayat sucinya) adalah
urusan hati nurani, bukan urusan negara. 
 
Filosofinya terang-benderang: di dalam politik segala
sesuatu harus dapat diuji dan dipersaingkan, sedangkan
tentang Tuhan tak seorang pun sanggup mengujinya.
Itulah sebabnya politik berubah secara periodik,
tetapi kita tidak mungkin menyelenggarakan pilkada
untuk memilih Tuhan. Tidak ada kontestasi untuk Tuhan
karena kedaulatan Tuhan abadi dalam nurani pemeluknya.
Prinsip inilah yang disebut pandangan sekuler. 
 
Pandangan sekuler bukan pandangan anti-agama. Justru
demi menghormati status "suci", "mulia", dan "misteri"
dari Tuhan, negara tidak boleh merasa tahu tentang
hati nurani warganya. Dengan kata lain, negara tidak
boleh berpendapat tentang "isi ajaran" suatu agama
kepercayaan. Tugas negara hanyalah menjamin "hak
meyakini" suatu agama/kepercayaan sebagai hak asasi
dan tidak boleh ikut campur dalam soal doktrin atau
isi keyakinan itu. 
 
Jika isi ajaran suatu agama menimbulkan gangguan
ketertiban umum, negara hanya boleh mengadili
peristiwa kekerasan itu sebagai suatu tindak pidana
dan bukan mengadili isi ajarannya. Jika seseorang
menghina agama lain, ia diadili atas alasan penghinaan
melalui pengadilan dan bukan berdasarkan fatwa suatu
lembaga. 
 
Negara wajib memisahkan keyakinan teologis seseorang
dengan perilaku hukumnya. Orang hanya dihukum karena
suatu delik dan bukan karena keyakinan religiusnya.
Suci tidaknya warga negara, benar-sesatnya suatu
agama, bukan wilayah kerja negara. Apakah hidup
seseorang berakhir di surga atau neraka, tidak dapat
ditentukan dari sekarang. Hati nurani orang adalah
sesuatu yang harus dihormati negara. 
 
Bagaimana negara harus melayani keragaman agama dan
kepercayaan warganya? Negara tidak berwenang
menentukan jumlah agama. Karena dengan membatasi
jumlah agama, negara telah bertindak diskriminatif
dengan membedakan antara "warga negara yang beragama
resmi" dan "warga negara yang tidak beragama resmi".
Apalagi bila pembedaan itu menjadi ekstrem antara
"warga negara yang beragama" dan "warga negara yang
tidak beragama". Negara hanya boleh membedakan warga
negara atas satu alasan: bertindak kriminal atau
tidak. Jadi, hanya ada dua jenis warga negara: "yang
taat hukum" dan "yang melanggar hukum". 
 
Negara wajib membedakan antara koruptor dan pembayar
pajak, antara perusak harta benda orang dan pewarta
demokrasi. Tapi, negara tidak boleh membedakan warga
negara berdasarkan banyaknya jumlah penganut agama.
Bukankah sebelum para tamu pembawa agama-agama besar
tiba di Nusantara sudah bermukim terlebih dahulu
berbagai agama asli sang tuan rumah? Karena itu,
tidaklah layak bila negara justru mendukung
klasifikasi baru antara mayoritas-minoritas , dengan
berbagai akibat diskriminatifnya secara sosial dan
administratif. 
 
Pelajaran toleransi 
Memilih demokrasi berarti menghitung orang semata-mata
dari titik pusat konstitusi dan bukan dengan ukuran
ukuran adikodrati. Bahkan untuk menyeimbangkan
distribusi hak-hak sosial-politik, negara secara
deliberatif harus melindungi mereka yang "minoritas"
dan "marjinal" agar mereka tidak terhalang oleh
statusnya itu untuk memperoleh akses ke dalam
kehidupan publik yang normal. Negara melindungi
golongan ini bukan karena mereka minoritas dalam
agamanya, tapi karena kondisi minoritasnya secara
sosial itu dapat menyebabkan mereka tertinggal dalam
pencapaian keadilan sosial-politik. 
 
Kegagapan pemerintah mengucapkan ketegasan dalam soal
soal di atas justru menjadi peluang bagus bagi para
perusak toleransi untuk menggagalkan upaya konsolidasi
demokrasi. Memang ada situasi global yang ikut
melatari pendalaman fanatisme di dalam negeri. Begitu
juga obsesi-obsesi politik identitas masih kuat
mengendap dalam pikiran sebagian elite. Tetapi,
pilihannya adalah menolerir intoleransi atau bergerak
dalam garis lurus kemajemukan. 
 
Kita telah memilih sebuah Indonesia yang majemuk. Dan
memang, hanya dalam kondisi itu kita dapat melanjutkan
kemanusiaan yang maha esa dan mempraktikkan ketuhanan
yang adil dan beradab. 
 
* Rocky Gerung Pengajar Filsafat FIB-UI, Pendiri
SETARA Institute 
 



      
____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?  
Find them fast with Yahoo! Search.  
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

Kirim email ke