Bung Rahman Dako Wah senang bisa ikuti perkembangan teman-teman yang terus berjuang dalam berbagai lini pengabdian. Semoga sukses dalam menimba ilmu dan kembali ketanah air membawah oleh-oleh yang dapat ditularkan kepada teman-teman untuk kemajuan bersama. Salam saya untuk Bung Basri Amin. Fadly Y.Tantu
Rahman Dako <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bapak Heru yang baik, Terus terang saya tidak belajar demografi Belanda atau ilmu sosial lain yang terkait dengan pertanyaan bapak, dan kunjungan saya kesini juga hanya untuk kursus singkat. Ada baiknya kalau Basri Amin yang sekarang kuliah di Leiden atau Ibu Selvie yang menjawabnya. Tetapi yang saya tahu, ada banyak benarnya dari tulisan yang anda forward ke saya, yang lain saya masih ragu-ragu. Kecenderungan bahwa orang tua dan anak2 saja yang mengisi gereja atau mesjid di Belanda bukan hanya terjadi di Belanda saja. Di banyak tempat di Indonesia kecenderungan yang sama juga ada, apalagi di Amerika dan tempat2 lain. Bahwa kita punya KTP Islam, tapi banyak yang hanya tertera di KTP untuk memenuhi persyaratan saja. Tapi memang di Belanda orang beragama sangat dihargai. Islam saya lihat juga tumbuh pesat dengan adanya orang-orang Turki, Senegal, Pakistan, Bangladesh dan lain-lain dimana ada kebebasan dan fasilitas pemerintah yang mendukungnya. Ada banyak juga orang Belanda yang masuk Islam karena ketertarikan mereka terhadap ajarannya. Restoran dan orang-orang Indonesia bisa ditemukan banyak tersebar di kota-kota tertentu misalnya di Amsterdam dan Den Haag (saya tidak tahu di kota2 lainnya). Akan tetapi, masih tetap ditemukan sikap waspada, sinis dan peminggiran bagi kaum imigran walaupun tidak formal di dalam kehidupan sehari-hari orang 'putih", misalnya memperlambat pelayanan/birokrasi kepada kaum "non putih" di toko2 atau fasilitas umum lainnya. Itu saja dari saya. Salam, AGA ----- Original Message ---- From: HERU <[EMAIL PROTECTED]> To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Sent: Monday, June 16, 2008 5:03:05 PM Subject: [GM2020] Belanda masa sekarang (untuk pak Aga) Pak Aga...bener nggak sih pak dalam 100 tahun ini demografi Belanda sekarang sudah berubah seperti dalam email ini? -----Inline Message Follows----- Dear All, Kebanyakan kita orang Indonesia masih punya gambaran lama tentang negeri yang pernah menjajah bangsa kita, ya itu negeri Belanda. Belanda di jaman penjajahan, tentu telah berbeda jauh dengan Belanda di jaman di mana Tim Oranye bola kakinya, sebagian dari Afrika, sebagian dari Suriname (yang sebagian berdarah Jawa), dan ada yang peranakan Maluku. Singkatnya, warga negara Belanda kini terdiri dari macam-macam Ras dan Suku. Demografi Belanda sangat mengejutkan. Jaman ketika bangsa kita dijajah Belanda, Agama Protestantisme (Lutheran dan Calvinis), menempati urutan pertama. Tapi, di masa kita ini, demografi itu berubah drastis. Islam telah menjadi agama terbesar nke-2 di Belanda, melampaui jumlah Calvinis dan Lutheran (Protestan mainstream). Katolik menjadi penduduk terbanyak pertama di Belanda. Kehidupan beragama tidak dapat dibayangkan seperti agama "tradisional- seremonial" di Indonesia. Agama hidup di tengah pemikiran-pemikiran sekuler (tidak otomatis sekularisme) . Semua orang beragama tanpa terkecuali, hidup dalam konteks sedemikian. Kaum muda telah sangat sedikit ke gereja pada hari Minggu, atau ke mesjid pada hari Jumat. Lebih banyak gedung gereja, masjid dan tempat ibadah diisi orang tua dan anak-anak. Indikasi penghilangan agama sebagai setumpuk serimoni sedang menjurus serius. Bahkan, belum beberapa bulan lalu, teman saya mengisahkan bahwa rumah biara mereka harus dijual, karena tidak ada lagi kaum muda yang menjadi imam Katolik (selibat atau tidak menikah soalnya). Sekelompok immigran Muslim dari Timur Tengah mendeklarasikan diri sebagai "Mantan Muslim (seremonial) ", hanyalah pelbagai tanda-tanda lain yang mewarnai kehidupan beragama di Belanda. Gerakan keagamaan diwarnai pemikiran-pemikiran liberal, fundamentalis, sinkritisme tidak hilang. Kita ingat ketika Geert Wilders - seorang Atheis - membuat film "Fitnah", yang mendapat kutuk, pertama-tama datang dari orang Belanda sendiri. Parlemen Belanda pertama kali meminta Wilders untuk menghentikan karya yang tak bermutu dan mencederai spiritualitas kaum Muslim, termasuk penduduk Muslim di Belanda yang telah menempati urut ke-2 terbesar di Belanda itu. Telah menjadi negara Eropa dengan penduduk Muslim terbesar (maaf, saya sertakan angkanya nanti). Belanda "Doeloe", Bukan Ukuran Kaca Mata Kini Memang, Belanda telah mendapat stigma buruk sebagai "mantan penjajah" di Indonesia, melibatkan orang-orang kontroversial seperti Weesterling hingga Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje, entah bersyukur atau tidak, tapi tulisannya tentang Muhammad (Mohammedanism) telah menjadi salah satu sumber bacaan studi tentang Islam di daratan Eropa, tentunya juga Belanda. Belanda sebagai salah satu negara uni Eropa, telah meratifikasi penolakan Hukuman Mati dalam segala bentuknya untuk pelaku pidana dalam produk Undang-undang dan Hukumnya. Keberagamaan dan nilai-nilai kemanusiaan universal di Belanda telah mencapai perubahan drastis yang nyata dialami warga negaranya. Tanpa sebuah lip-service, equilibrium masyrakat Belanda sedang menunjukkan teladan bermasyarakat mondial. Mengapa catatan untuk Gus Muz? Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa ketika film "Fitnah" mulai dikritik oleh Parlemen Belanda dan minta untuk tidak diedarkan, adalah KH Hasyim Muzadi atau Gus Muz, mengundang sejumlah tokoh Beragama di Jakarta untuk membahas "Fitnah", karya si atheis Geert Wilders. Saya orang pertama mengkritik undangan Gus Muz itu, dan hadirnya tokoh-tokoh beragama untuk membahas sebuah persoalan yang dilakukan oleh seorang Atheis Wilders. Substansinya, Gus Muz keliru, bahwa seolah Wilders seolah mengatasnamakan golongan agama tertentu untuk menciptakan karya terkutuk itu. Kesan bahwa Gus Muz sangat emosional (marah?) dalam pertemuan itu, tidak tersembunyikan para peserta. Saya jadi bertanya-tanya, "Kira-kira Gus Muz marah kepada siapa?" Dan, "Apa relevansinya mengundang tokoh beragama lain untuk membahas karya yang bahkan telah dikutuk dan dilarang beredar di Parlemen Belanda?" Dan, tentu sejumlah pertanyaan lain. Ketika, membaca "Trisula yang menghancurkan Islam" dan "Tidak relevan membahas Pancasila dengan Ahmadiyah!", semakin kuat kesan saya, bahwa Gus Muz memang BUKAN Gus Dur (baca: Wicara Berthy B Rahawarin: "Gus Dur belum tergantikan figurnya"). Gus Muz belum mendapat konteks, dan memberi keyakinan yang kuat pada sebagian masyarakat bahwa PB NU masih - maaf, secerdas Gus Dur. Catatan ini mungkin juga relevan bagi pertimbangan peralihan PKB yang dimenangkan pengadilan ke tangan Kang Imin (Muhaimin Iskandar) yang konon didukung KH Hasyim Muzadi juga. Adalah tugas terakhir Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan seorang Gus Dur masih berhak de jure atas PKB. Atau, bangsa kita akan mundur dari kecerdasan, dan suka tidak suka - dijauhkan dari arah pencerdasan dan pencerahan a la Gus Dur. Imaginasinya, "Forum Belanda Rembug" (FBR) akan relatif lebih menerima figur Gus Dur, untuk masuk memimpin Indonesia bertarung di dunia internasional, seperti Bung Karno di jamannya. Kelompok beragama bicara bersama tentang DINAMIKA beragama dalam sebagian fundamentalis, liberal, hingga yang sinkretis. Mereka menghadapi fenomena beragama secara bersama. FBR juga tahu, sekarang Muslim bukan lagi minoritas di Belanda. So, Wilders dapat menjadi musuh bersama FBR, bila tidak menghormati orang berkeyakinan berbeda. Nah enakan "nonton bareng", dan membela Tim Oranye Belanda yang lebih riil bhinneka tunggal ika-nya itu. Meskipun, sebenarnya saya mendukung tim yang lain. Tapi, kebhineka-tunggal- ika-an Belanda, telah menjadi contoh dunia menghargai pluralitas. Kunotakan beberapa hal spontan ini, dengan segala segala hormat dan penghargaanku untuk Gus Muz. wassalam, berthy bin rahawarin Dear All, Kebanyakan kita orang Indonesia masih punya gambaran lama tentang negeri yang pernah menjajah bangsa kita, ya itu negeri Belanda. Belanda di jaman penjajahan, tentu telah berbeda jauh dengan Belanda di jaman di mana Tim Oranye bola kakinya, sebagian dari Afrika, sebagian dari Suriname (yang sebagian berdarah Jawa), dan ada yang peranakan Maluku. Singkatnya, warga negara Belanda kini terdiri dari macam-macam Ras dan Suku. Demografi Belanda sangat mengejutkan. Jaman ketika bangsa kita dijajah Belanda, Agama Protestantisme (Lutheran dan Calvinis), menempati urutan pertama. Tapi, di masa kita ini, demografi itu berubah drastis. Islam telah menjadi agama terbesar nke-2 di Belanda, melampaui jumlah Calvinis dan Lutheran (Protestan mainstream). Katolik menjadi penduduk terbanyak pertama di Belanda. Kehidupan beragama tidak dapat dibayangkan seperti agama "tradisional- seremonial" di Indonesia. Agama hidup di tengah pemikiran-pemikiran sekuler (tidak otomatis sekularisme) . Semua orang beragama tanpa terkecuali, hidup dalam konteks sedemikian. Kaum muda telah sangat sedikit ke gereja pada hari Minggu, atau ke mesjid pada hari Jumat. Lebih banyak gedung gereja, masjid dan tempat ibadah diisi orang tua dan anak-anak. Indikasi penghilangan agama sebagai setumpuk serimoni sedang menjurus serius. Bahkan, belum beberapa bulan lalu, teman saya mengisahkan bahwa rumah biara mereka harus dijual, karena tidak ada lagi kaum muda yang menjadi imam Katolik (selibat atau tidak menikah soalnya). Sekelompok immigran Muslim dari Timur Tengah mendeklarasikan diri sebagai "Mantan Muslim (seremonial) ", hanyalah pelbagai tanda-tanda lain yang mewarnai kehidupan beragama di Belanda. Gerakan keagamaan diwarnai pemikiran-pemikiran liberal, fundamentalis, sinkritisme tidak hilang. Kita ingat ketika Geert Wilders - seorang Atheis - membuat film "Fitnah", yang mendapat kutuk, pertama-tama datang dari orang Belanda sendiri. Parlemen Belanda pertama kali meminta Wilders untuk menghentikan karya yang tak bermutu dan mencederai spiritualitas kaum Muslim, termasuk penduduk Muslim di Belanda yang telah menempati urut ke-2 terbesar di Belanda itu. Telah menjadi negara Eropa dengan penduduk Muslim terbesar (maaf, saya sertakan angkanya nanti). Belanda "Doeloe", Bukan Ukuran Kaca Mata Kini Memang, Belanda telah mendapat stigma buruk sebagai "mantan penjajah" di Indonesia, melibatkan orang-orang kontroversial seperti Weesterling hingga Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje, entah bersyukur atau tidak, tapi tulisannya tentang Muhammad (Mohammedanism) telah menjadi salah satu sumber bacaan studi tentang Islam di daratan Eropa, tentunya juga Belanda. Belanda sebagai salah satu negara uni Eropa, telah meratifikasi penolakan Hukuman Mati dalam segala bentuknya untuk pelaku pidana dalam produk Undang-undang dan Hukumnya. Keberagamaan dan nilai-nilai kemanusiaan universal di Belanda telah mencapai perubahan drastis yang nyata dialami warga negaranya. Tanpa sebuah lip-service, equilibrium masyrakat Belanda sedang menunjukkan teladan bermasyarakat mondial. Mengapa catatan untuk Gus Muz? Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa ketika film "Fitnah" mulai dikritik oleh Parlemen Belanda dan minta untuk tidak diedarkan, adalah KH Hasyim Muzadi atau Gus Muz, mengundang sejumlah tokoh Beragama di Jakarta untuk membahas "Fitnah", karya si atheis Geert Wilders. Saya orang pertama mengkritik undangan Gus Muz itu, dan hadirnya tokoh-tokoh beragama untuk membahas sebuah persoalan yang dilakukan oleh seorang Atheis Wilders. Substansinya, Gus Muz keliru, bahwa seolah Wilders seolah mengatasnamakan golongan agama tertentu untuk menciptakan karya terkutuk itu. Kesan bahwa Gus Muz sangat emosional (marah?) dalam pertemuan itu, tidak tersembunyikan para peserta. Saya jadi bertanya-tanya, "Kira-kira Gus Muz marah kepada siapa?" Dan, "Apa relevansinya mengundang tokoh beragama lain untuk membahas karya yang bahkan telah dikutuk dan dilarang beredar di Parlemen Belanda?" Dan, tentu sejumlah pertanyaan lain. Ketika, membaca "Trisula yang menghancurkan Islam" dan "Tidak relevan membahas Pancasila dengan Ahmadiyah!", semakin kuat kesan saya, bahwa Gus Muz memang BUKAN Gus Dur (baca: Wicara Berthy B Rahawarin: "Gus Dur belum tergantikan figurnya"). Gus Muz belum mendapat konteks, dan memberi keyakinan yang kuat pada sebagian masyarakat bahwa PB NU masih - maaf, secerdas Gus Dur. Catatan ini mungkin juga relevan bagi pertimbangan peralihan PKB yang dimenangkan pengadilan ke tangan Kang Imin (Muhaimin Iskandar) yang konon didukung KH Hasyim Muzadi juga. Adalah tugas terakhir Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan seorang Gus Dur masih berhak de jure atas PKB. Atau, bangsa kita akan mundur dari kecerdasan, dan suka tidak suka - dijauhkan dari arah pencerdasan dan pencerahan a la Gus Dur. Imaginasinya, "Forum Belanda Rembug" (FBR) akan relatif lebih menerima figur Gus Dur, untuk masuk memimpin Indonesia bertarung di dunia internasional, seperti Bung Karno di jamannya. Kelompok beragama bicara bersama tentang DINAMIKA beragama dalam sebagian fundamentalis, liberal, hingga yang sinkretis. Mereka menghadapi fenomena beragama secara bersama. FBR juga tahu, sekarang Muslim bukan lagi minoritas di Belanda. So, Wilders dapat menjadi musuh bersama FBR, bila tidak menghormati orang berkeyakinan berbeda. Nah enakan "nonton bareng", dan membela Tim Oranye Belanda yang lebih riil bhinneka tunggal ika-nya itu. Meskipun, sebenarnya saya mendukung tim yang lain. Tapi, kebhineka-tunggal- ika-an Belanda, telah menjadi contoh dunia menghargai pluralitas. Kunotakan beberapa hal spontan ini, dengan segala segala hormat dan penghargaanku untuk Gus Muz. wassalam, berthy bin rahawarin --------------------------------- Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers