Salam Harmonis
Saatnya kita Mulai Kedepankan Kemauan Yang Diikuti Kehendak Gusti
Sebuah perspektif yang bisa diambil Kawruh dan Pititurnya


Membaca Kejadian Alam <http://nurahmad.wordpress.com/membaca-kejadian-alam/>

*(Perspektif Spiritual Agama)*

 Oleh : Tri Budi Marhaen Darmawan

Bencana demi bencana yang terjadi di bumi pertiwi ini sesungguhnya merupakan
tanda peringatan keras Allah kepada bangsa ini yang secara khusus tertuju
kepada elite pimpinan nasional baik ulama maupun umaro'nya. Untuk tidak
mencari kambing hitam dari segala peristiwa yang terjadi, maka kita semua
memahami akan dalil di dalam manajemen perusahaan *(leadership)* bahwa :
"Tidak ada bawahan yang salah. Yang ada adalah pimpinan yang salah." Begitu
pula dalam konteks negara sebagai sebuah perusahaan : "Tidak ada rakyat yang
salah, melainkan pemimpin-nyalah yang salah."

Untuk memahami tulisan ini dibutuhkan perenungan yang mendalam. Diawali
dengan pemahaman bahwa di dalam hakekat kehidupan ini "tidak ada yang
namanya 'Kebetulan'." 'Kebetulan' yang terjadi hakekatnya adalah ketetapan
yang telah ditetapkan-Nya. Manusia dengan akalnya yang terbatas hanya bisa
saling berkomentar dan beranalisis dengan berbagai macam teori ilmu
pengetahuan tentang suatu kejadian setelah kejadian itu terjadi. Sebuah
bukti bahwa akal (penalaran) dan ilmu pengetahuan adalah nisbi. Menghadapi
bencana yang terjadi, manusia tidak akan mampu mencegahnya melainkan hanya
mampu menangani akibat-akibatnya. Sangatlah tidak arif dan bijak apabila
setiap bencana yang terjadi ditanggapi dengan *statement* : "Itu bukan
kutukan dari Allah dan bisa dijelaskan secara ilmiah, serta janganlah
dihubung-hubungkan dengan takhayul." Pernyataan ini menggambarkan arogansi
penalaran (berpikir ala barat) yang semakin menjauhkan diri dari Sang
Khalik, dan akan selalu menjadi bumerang bagi kehidupan bangsa ini.

Dengan merenung dan berpikir kita akan menjadi mawas diri. Terlalu
mengandalkan akal bisa menjadikan kita sesat dan ingkar. Lahir dan batin
harus menyatu. Mari kita renungkan bersama ayat-ayat berikut ini :

*"Katakanlah : "Kabarkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan
penglihatan kamu serta menutup hati kamu? Siapakah Tuhan selain Allah yang
mengembalikannya kepadamu?" Perhatikan bagaimana Kami memperlihatkan
tanda-tanda kemudian mereka tetap berpaling." *(QS 6 : 46)

*"Aku akan memalingkan daripada ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabur di
muka bumi tanpa alasan yang benar. Dan jika mereka melihat tiap-tiap ayat,
mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa
kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat
jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka lalai daripadanya." *(QS  7 : 146)

Apakah selama ini kita pernah berpikir dan merenung mencari jawab atas
bencana yang terjadi ? Mengapa tsunami yang banyak memakan korban jiwa
(setara dengan korban bom atom Hiroshima – Nagasaki) harus terjadi di bumi
Aceh (serambi Mekah)? Mengapa sampai saat ini kita masih dipusingkan dengan
Flu Burung yang mewabah dan belum diketemukan obatnya ? Mengapa di saat yang
lain terjadi KKN (kasus kesurupan nasional) di berbagai kota yang terjadi
secara spontan dan beruntun di tempat-tempat pendidikan dan pabrik rokok ?
Mengapa Merapi harus memuntahkan laharnya dan sempat membingungkan kita
semua ? Mengapa gempa yang meluluhlantakkan pemukiman dan banyak memakan
korban jiwa terjadi di Yogyakarta ? Mengapa terjadi bencana lumpur panas
mengandung gas di Sidoarjo yang sampai saat ini belum bisa teratasi ? Dan
deretan pertanyaan mengapa-mengapa yang lain. Rasa-rasanya satu bencana
belum tuntas teratasi, muncul bencana-bencana yang lain. Apakah dengan
rangkaian kejadian-kejadian itu masih tetap mengeraskan hati kita untuk
tetap berdiri di atas arogansi akal ilmiah kita ? Terlebih lagi di saat
kondisi sosial ekonomi negara ini sudah semakin terpuruk dan memburuk.

Dilihat dari perspektif spiritual, hakekat segala apa yang terjadi merupakan
refleksi atau pantulan cermin dari bangsa ini yang diwakili oleh pemimpin
bangsanya. Secara singkat dapatlah diurai hakekat dari bencana-bencana besar
yang terjadi di bumi Nusantara ini. Tsunami Aceh yang telah memakan korban
jiwa terbesar di bumi dimana telah diimplementasikan syariat Islam ini
merupakan awal peringatan yang sangat keras, yang menyiratkan telah terjadi
"Pelanggaran Aqidah" pada bangsa ini. Fenomena kerasukan jin/setan merupakan
gambaran apa yang terjadi pada bangsa ini. Setan-setan korupsi, kekuasaan,
keserakahan, kriminal, dan lainnya telah merasuk pada sebagian besar anak
negeri. Korban yang rata-rata perempuan melambangkan bahwa Ibu Pertiwi
sedang marah, menjerit, menangis dan meronta menyaksikan apa yang terjadi
pada bangsa ini. Ibu-ibu rumah tangga se-antero nusantara pun merasakan hal
yang sama menghadapi tekanan sosial dan ekonomi saat ini. Tempat pendidikan
melambangkan sindiran kepada kaum terdidik yang selalu mendewakan akal.
Pabrik rokok ibarat kerajaan yang mengolah hasil bumi tembakau menjadi rokok
sebagai komoditi terlaris melambangkan kejayaan yang berdiri di atas
penderitaan buruh atau rakyat kecil. Rahmat Allah tidak dibagikan secara
adil bagi kesejahteraan rakyat. Nampaknya, kita memang kurang bersyukur atas
limpahan rahmat yang telah diberikan-Nya.

Aura panas "wedhus gembel" tengah menyelimuti bangsa ini yang ditunjukkan
dengan episode-episode ketidakpuasan yang menyulut emosi rakyat dalam
berbagai konflik kepentingan. Potret ini dilambangkan dengan muntahnya lahar
panas gunung Merapi. Sementara Merapi masih terus mengancam, secara sontak
Yogyakarta sebagai simbol pusat budaya Kerajaan Mataram digoyang gempa yang
meluluhlantakkan ribuan pemukiman dan banyak memakan korban jiwa. Secara
hakekat peristiwa gempa Yogyakarta yang menghancurkan Bangsal Traju Emas
(ruang penyimpanan pusaka keraton) dan Taman Sari (pemandian dan tempat
pertemuan Raja dengan Kanjeng Ratu Kidul) menyiratkan memudarnya aura
kerajaan sebagai simbol pemerintahan negeri ini.

Ketika bangsa ini masih disibukkan dalam mengatasi korban gempa Yogyakarta,
kesibukan dan kepanikan baru muncul sebagai dampak meluapnya lumpur panas
bercampur gas di Sidoarjo Jatim yang hingga kini belum dapat teratasi. Lepas
dari kesalahan apa dan siapa penyebab kebocoran dalam eksplorasi sumber gas
tersebut, bencana lumpur panas mengandung gas ini melambangkan kekotoran
moral elite pemimpin bangsa ini yang membawa aura panas dan bau menyengat.
Situasi ini berakibat rakyat kecil selalu menjadi korban.

Hubungan antara manusia dengan alam senantiasa berubah, seiring perkembangan
teknologi, informasi, dan industrialisasi. Suku-suku di pedalaman, bahkan
sampai saat ini masih melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk bersahabat
dengan alam. Mereka, mengambil kayu atau hasil bumi secukupnya. Alam tidak
dieksploitasi sekehendak hatinya. Walaupun suku-suku primitif tersebut belum
tersentuh ajaran agama formal, mereka telah memiliki kesadaran religius yang
baik. Mereka mampu mengembangkan nalurinya bahwa merusak pohon atau membunuh
binatang sembarangan akan mendatangkan bencana.

Kita sebagai bangsa kenyataannya telah kehilangan kearifan pada alam dan
lingkungan. Dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu
kita akui secara jujur bahwa atas nama "penalaran dan logika", secara sadar
atau tidak kita telah mengikis budaya warisan leluhur dalam mengarifi alam
dan lingkungan. Teknologi ujung-ujungnya digunakan untuk menaklukkan alam.
Manusia tidak lagi bergantung pada alam, namun malahan menguasai alam dengan
dilandasi keserakahan.

Secara jujur pula perlu diakui, bangsa ini khususnya elite pimpinan nasional
telah terjebak di alam materialisme yang penuh tipu daya dan menyesatkan.
Alih-alih menyejahterakan rakyat. Yang terjadi hutang luar negeri-pun makin
membumbung tinggi. Dari total hutang Indonesia sekitar Rp 1.400 triliun,
APBN 2006 yang besarnya Rp 650 triliun, 39% nya hanya untuk membayar hutang
dan bunganya. Sungguh merana anak cucu negeri ini dengan bebannya.

Nampaknya sebagian besar bangsa ini telah kehilangan adab. Adab kepada Allah
Azza wa Jalla, juga adab kepada sesama manusia serta alam dan seluruh
isinya. Pada masa ini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang adiluhung
sekedar menjadi slogan semata. Para elite pemimpin negeri ini hanya sibuk
berkutat pada ranah politik dan upaya perbaikan ekonomi. Namun sangat
ironis, pada kenyataannya kebijakan pemerintah seringkali menyengsarakan
rakyatnya. Ironis pula, menurut Transperancy International pada tahun 2005
peringkat korupsi Indonesia menempati rangking 137 (25 besar) dari 159
negara di dunia.

Betapa memprihatinkannya melihat potret situasi carut marut yang terjadi
pada bangsa ini. Memang sudah sejak sekian lama bangsa ini sakit. Ibu
Pertiwi tidak sekedar menangis dan bersedih, akan tetapi mulai menunjukkan
angkaranya. Geram menyaksikan banyak penyimpangan akhlak yang dilakukan oleh
anak negeri ini. Marah melihat polah tingkah anak bangsa yang makin jauh
dari jiwa Pancasila sebagai Pandangan Hidup yang telah ditegakkan di bumi
nusantara ini. Para elite pimpinan bangsa malah terkesan tidak memberikan
teladan yang baik di mata rakyat. Sejak jaman orba hingga saat ini yang
dipertunjukkan hanyalah bagaimana memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya.
Jiwa nasionalisme yang seharusnya tertanam dalam dada seluruh rakyatnya
seakan luruh hilang tak berbekas.

Pada akhirnya kita semua tidak tersadar bahwa bumi NKRI dimana kita berpijak
telah berubah arti menjadi "Negara Kapling Republik Indonesia" (?). Betapa
tidak, aset-aset strategis dan berharga bumi ini telah jatuh ke tangan
asing. Kita lihat di bumi Papua ada Freeport di sana. Caltex di Dumai. Di
Sulawesi ada Newmont, dan masih banyak lagi. Bahkan akhirnya, Blok Cepu-pun
jatuh ke tangan Exxon. Memprihatinkan memang. Belum lagi terhitung aktivitas
bisnis illegal yang mengeruk aset bumi ini untuk kepentingan asing, baik
perikanan, pertambangan, maupun kehutanan.

Sebagian besar bangsa ini makin jauh dari Sang Khalik. Agama hanya dijadikan
stempel. Ibadah dilakukan sekedar formalitas belaka. Penghayatan agama belum
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seakan masing-masing terpisah
berada pada sisi yang berbeda. Bahkan sebagian besar dari kita lupa, padahal
sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" telah ditempatkan pada sila pertama, menjadi
yang utama. Ini merupakan wujud kesadaran spiritual tertinggi *the founding
father's* bangsa ini dalam menempatkan Tuhan sebagai sentral Pandangan Hidup
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sudah saatnya bagi kita semua anak bangsa melakukan introspeksi dan bangkit
menuju kesadaran bahwa kita sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib memiliki rasa
*rumangsa lan pangrasa* (menyadari) bahwa keberadaan di dunia ini sebagai
hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya
kepada-Nya.  Dengan pengabdian yang hanya kepada-Nya itu, manusia wajib
melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah pembangun
peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan umat
manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera,
damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan
abadi di alam akhirat kelak *(Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu
harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam
Langgeng).*Dengan sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama,
yaitu
berorientasi serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya,
demi mencapai ridlo Ilahi. Sikap takwa mendasari pembangunan watak,
perilaku, serta akhlak manusia. Sedangkan akhlak manusia akan menentukan
kualitas hidup dan kehidupan.

Bung Karno pernah menulis, mengingatkan kita pada sebuah seloka dari
Ramayana karya pujangga Valmiki, mengenai cinta dan bakti kepada Janani
Janmabhumi - yaitu agar setiap orang mencintai Tanah Airnya seperti ia
mencintai ibu kandungnya sendiri. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu
diawali dari Bumi tempat kakinya berpijak, bumi pertiwi Indonesia yang
disapanya dengan takjub dan hormat sebagai "Ibu." Pancaran cinta dan kasih
sayang yang murni akan dapat membuka pintu rahmat-Nya. Mencintai sesama
berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti mencintai Sang
Pencipta.

Insya Allah dengan limpahan kasih sayang anak negeri ini akan membuat Ibu
Pertiwi tersenyum sumringah. "Ya Allah, jauhkan kami anak negeri ini dari
seburuk-buruk makhluk-Mu sebagaimana firman-Mu :

*"Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka dari golongan jin
dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak menggunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga tetapi
tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang
lalai" *(Qs 7:179)

Dengan ijin dan ridho Allah SWT, menjadi tugas kita di masa depan mewujudkan
Indonesia Raya sebagai "Negara Kaya Rahmat Ilahi" (NKRI) demi kesejahteraan
seluruh rakyatnya. Insya Allah, dengan pendekatan spiritual murni segala
kejadian yang terjadi di bumi Nusantara ini dapat diketahui jawabannya dan
solusinya. *"Sakbeja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lawan waspada".
*

 * * *

*Semarang, 20 Agustus 2006*

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Quote:
** In this age of Aquarius, science will become religious, and religion will 
become scientific. Disagreements between science and religion will come to an 
end, and people will begin to comprehend that both spirit and matter are 
derived from the same source, and are only modifications of the One Universal 
Energy **
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke