Franz Wilhelm Junghuhn, penyelidik alam Jawa terpenting pada masanya (1835-1848), penyusur dan pendaki gunung-gunung di Jawa; kembali mengunjungi Jawa yang sangat dicintainya. Kali ini, ia tidak naik gunung lagi, tetapi ia mengunjungi perguruan tinggi di Bandung –ITB (Oktober 2009) kemudian melanjutkan perjalanannya ke Erasmus Huis –Kedutaan Besar Belanda di Jakarta (Desember 2009-Januari 2010). Saya menemuinya di Erasmus Huis pada hari terakhir ia berada di Jakarta. Ada apa ini ? Sebuah perjalanan dan pertemuan imajiner kah ? Tidak juga. Saya benar-benar menemuinya dan memegang peta besar Jawa karyanya yang sepanjang sekitar 4 meter dan selebar 1 meter yang dibuatnya pada tahun 1855 dan disebutnya “Kaart van het eiland Java” (Peta Pulau Jawa). Saya juga memoto buku-buku magnum opusnya yang ditulis dalam bahasa Jerman “Java – Seine Gestalt, Pflanzendecke, und innere Bauart” (Leipzig, 1857) (Jawa – Bentuknya, Tutupan Vegetasinya dan Struktur Dalamnya). Benar bertemu Junghuhn ? Saya hanya bertemu dengan karya-karyanya. Junghuhn telah terbaring untuk selamanya di Lembang pada 24 April 1864. Jadi apa yang dimaksud dengan Junghuhn mengunjungi Bandung dan Jakarta itu ? Kedutaan Besar Belanda (Erasmus Huis) dan Kedutaan Besar Jerman (Goethe Institut) memperingati 200 tahun kelahiran Junghuhn (26 Oktober 1809) dengan menampilkan kembali sosok peneliti besar ini melalui pameran ilmiah. Banyak foto karya Junghuhn sendiri, lukisan-lukisan litografi aslinya, peralatan lapangannya, buku-bukunya, dan yang menjadi pusat pameran –peta besar Jawa-Madura skala 1 : 350.000 dipamerkannya. Semua itu disusun sedemikian rupa sehingga saya merasa sedang berhadapan langsung dengan Junghuhn. Dalam memperingati kelahiran Junghuhn, pameran diadakan selama hampir empat bulan di tiga kota di dunia : di Bandung (ITB, Oktober 2009), di Mansfeld, Jerman (November 2009) –Mansfeld adalah kota kelahiran Junghuhn dan di Jakarta (Desember 2009-9 Januari 2010). Saya baru mengetahui ada pameran tersebut terlambat, maka menjelang hari terakhir pameran (Jumat 8 Januari 2010), saya pergi ke Erasmus Huis di Kuningan, Jakarta. Siang itu, tak banyak pengunjung datang, hanya empat orang : dua mahasiswa geografi, satu orang expat, dan saya; mungkin karena : sedang waktu Jumatan, hujan gerimis, dan pameran sudah berlangsung hampir sebulan. Untuk milis ini, pada beberapa tahun yang lalu, saya pernah menulis tentang Junghuhn, di bawah ini adalah beberapa informasi tambahan berasal dari pameran. Peta Jawa-Madura karya Junghuhn (1855) menjadi perhatian utama. Ini adalah peta Jawa kedua yang dibuat secara detail selama zaman kolonialisme Belanda. Yang pertama adalah karya Raffles (1817). Tentu saja karya Junghuhn lebih detail karena berskala lebih besar, dengan garis kontur yang padat sehingga dapat menggambarkan topografi, dan lebih akurat. Akurasi peta Raffles dan Junghuhn itu dibandingkan dengan peta satelit modern, dan akurasi peta Junghuhn menakjubkan. Meskipun demikian, Junghuhn di bukunya mengakui bahwa peta Jawa Raffles adalah referensi utamanya saat memetakan ulang Jawa dan Madura. Yang hebat dari Jughuhn adalah bahwa ia melakukan penelusuran sendiri selama hampir 13 tahun untuk mendapatkan nilai topografi yang tepat, termasuk mendaki gunung-gunung di Jawa. Betapa hebatnya peta Junghuhn tersebut pada zamannya, sehingga tak kurang dari Alexander von Humboldt (naturalis dan geographer terkenal di dunia) mengomentari peta Jawa Junghuhn sebagai berikut,”Betapa besar rasa terima kasihku kepada Junghuhn atas peta yang indah, sungguh geologis, beraneka ragam bentuk. Setelah sebuah makan malam, Raja, Pangeran Friedrich dari Belanda, Menteri Peperangan, dan banyak Jenderal mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luar biasa,” (Berlin, 20 April 1857). Tetapi penelitian dan pemetaan Junghuhn sesungguhnya telah membimbing pembukaan beberapa lahan untuk keperluan perkebunan, budidaya, dan sebagainya yang sebenarnya dibenci oleh Junghuhn. Junghuhn menginginkan alam yang ditelitinya tetap liar, tetapi ironisnya berkat petanyalah alam yang semula liar itu dibuka untuk dimanfaatkan. Peta Junghuhn juga digunakan pemerintah kolonial untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan di Jawa. Meskipun pendidikan formalnya adalah seorang dokter dan pada awal kariernya di Sumatra dan Jawa adalah sebagai seorang dokter tentara, Junghuhn menaruh minat yang besar kepada botani dan telah mendidik diri sebagai ahli botani melalui perkenalannya dengan para ahli botani professional dan perjalanan-perjalanan lapangannya. Akhir kariernya di Jawa pun ia sebagai pembudi daya tanaman kina. Namun pada tahun 1837 saat ia bekerja sebagai dokter di bawah Dr. Fritze , kepala lembaga kesehatan masyarakat di Hindia Belanda, sekaligus sebagai seorang geologist amatir, Jughuhn mulai berminat kepada geologi. Jughuhn diangkat sebagai asisten untuk lawatan inspeksi kesehatan. Dr. Fritze membawanya menelusuri Jawa sebagai inspeksi kesehatan sekaligus memuaskan hasratnya kepada geologi. Mereka mendaki banyak gunungapi dan mendatangi banyak tempat di Jawa. Selama lawatan ini, kedua dokter ini melakukan pengobatan, meneliti botani dan geologi. Pada bulan Juli 1838, Junghuhn diangkat sebagai anggota sementara Komisi Ilmu Alam dengan syarat semua tanaman dan batuan yang dikumpulkannya menjadi milik Komisi. Bekerja untuk Komisi ini sangat menyukakan Junghuhn, sebab selain gajinya lebih besar daripada menjadi dokter, penyelidikan alam adalah nalurinya. Junghuhn pun makin banyak menyumbangkan tulisan ilmiah baik tentang gunung-gunung maupun tentang tumbuhan, yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie –jurnal bergengsi saat itu. Keharuman nama Junghuhn mulai mengundang rasa iri ilmuwan lain. Atas intrik dari C.L. Blume, kepala herbarium Kerajaan Belanda, Junghuhn dikeluarkan dari Komisi Ilmu Alam pada Oktober 1839 dan diperintahkan untuk menjadi dokter kembali. Junghuhn segera mengirimkan semua koleksi tumbuhan dan batuannya ke Jerman, agar tak jatuh ke tangan Herbarium Kerajaan Belanda. Perselisihan dengan Blume ini terjadi sepanjang hayat mereka. Pada bulan Januari 1844, Junghuhn diangkat kembali sebagai anggota Komisi Ilmu Alam, bahkan kini sebagai anggota tetap. Perintah ini datang langsung dari Gubernur Jenderal Pieter Merkus yang mengenal dengan baik naluri, minat dan keahlian Junghuhn yang sesungguhnya. Meskipun demikian, intrik di antara para ilmuwan rupanya selalu terjadi, beberapa orang berusaha mengirimkannya ke Ambon sebagai seorang dokter. Namun selama para Gubernur Jenderal yang berkuasa menyukai karya-karya Junghuhn tentang botani dan geologi, ia aman tetap melakukan penelitian di Jawa. Setelah 13 tahun melakukan berbagai penelitian botani dan geologi di Jawa, kesehatan Junghuhn menurun dan ia kembali ke Eropa pada Agustus 1848. Junghuhn diberikan cuti sakit untuk memulihkan kesehatannya di Belanda. Tetapi Junghuhn setelah cukup sehat, ia meneruskan beberapa tahun lagi tinggal di Belanda untuk meneliti semua sampel botani dan geologinya sambil menyusun buku yang nantinya akan menjadi magnus opus Junghuhn : Jawa. Buku edisi pertamanya tentang Jawa terbit dalam bahasa Belanda pada tahun 1850. Kemudian, segera disusun edisi berikutnya yang lebih lengkap dan luas pada tahun 1854. Tetapi, intrik ilmuwan rupanya terus mengikutinya. Karya monumentalnya itu harus dimuat dalam Proceedings on Natural History of the Dutch Colonial Possesions, dan tanpa nama penulisnya. Maka penelitian Junghuhn selama 13 tahun di Jawa terancam anonim. Tetapi selalu ada orang yang membela Junghuhn, kali ini datang dari Menteri Kolonial E.B.van den Bosch yang bahkan memerintahkan Junghuhn menerbitkan karya monumentalnya tentang Jawa dalam publikasi tersendiri dan tentu saja dengan nama Junghuhn sebagai penulisnya. Namun, yang namanya pertolongan ternyata tidak gratis juga : Junghuhn harus menanggalkan kewarganegaraan Jerman dan menerima kewarganegaraan Belanda. Permintaan itu bukan merupakan masalah bagi Junghuhn, sebab Junghuhn sendiri pada tahun 1850 telah menikahi seorang perempuan Belanda dan telah sekian lama bekerja untuk Belanda. Di Belanda juga pada bulan Mei 1855 Junghuhn berhasil menyelesaikan peta topografi Jawanya yang terkenal itu, disusun dalam empat lembar peta dengan ukuran panjang hampir 4 meter dan lebar 1 meter. Ini adalah peta terlengkap dan terbaik tentang Jawa dan Madura pada masanya. Peta topografi tanpa warna dijual seharga 12 gulden dan peta geologi dengan warna dijual seharga 14 gulden. Peta topografinya dipamerkan di Erasmud Huis kemarin. Pada 30 Agustus 1855 Junghuhn dan istrinya meninggalkan Eropa untuk selamanya dan kembali ke Jawa dengan tugas baru sebagai Inspektur untuk Penelitian Alam di Jawa. Tetapi kemudian pada Juni 1856, Junghuhn ditunjuk sebagai Kepala Budidaya Kina di Jawa menggantikan Justus Hasskarl. Junghuhn sebenarnya ditugaskan untuk membudidayakan kina pada saat ia masih di Eropa pada tahun 1851. Ia ditugaskan pergi ke Amerika Selatan untuk mencari bibit kina. Namun karena saat itu ia tengah sibuk menyusun karyanya tentang Jawa, Junghuhn menunjuk penggantinya, Hasskarl. Sambil berusaha membudidayakan bibit kina yang dibawa Hasskarl dari Peru, Junghuhn tetap melanjutkan kegemarannya : meneliti alam Jawa. Tahun 1857, Junghuhn dan istrinya pindah ke Lembang, di sana mereka memperoleh anak satu-satunya, Frans Christiaan. Mulai tahun 1858, Junghuhn pun punya kegemaran baru, fotografi. Ia mengembangkan sendiri peralatan fotografinya dan cara mengolahnya. Junghuhn berhasil memotret dengan baik. Beberapa foto hasil pengembangannya dipamerkan kemarin di Erasmus Huis. Sampai tahun 1864, Setelah banyak percobaan, kegagalan dan keberhasilan, dengan banyak bantuan para ahli lainnya, akhirnya kina berhasil dibudidayakan dengan baik di Jawa dan Jawa merupakan produsen pil kina terbesar di dunia saat itu. 24 April 1864, pukul tiga dini hari di sebuah rumah yang terpencil, jauh dari para tetangga, di lereng Tangkuban Perahu, Lembang; Junghuhn menghembuskan nafasnya yang terakhir karena disentri amuba dan penyakit ususnya yang menahun. Dokter yang merawatnya sekaligus sahabatnya, Isaak Groneman, sempat membukakan jendela rumah pada subuh itu atas permintaan Junghuhn,”Bukakan jendela itu, agar aku bisa menatap Tangkuban Perahu untuk yang terakhir kalinya, dan biar kuhirup udaranya yang bersih.” “Betapa senangnya, betapa mudahnya hati ini tersentuh saat berada di atas gunung, sementara angin berhembus sepoi menerpa pohon kasuarina dan bintang berkelip menembus atap gubuk hijau tipis. Tiada genting yang menghalangi kita dari tatapan langit yang ramah. Tiada tembok gelap yang menyesakkan kita. Di sini kkta bernafas lega dan bebas.” (Junghuhn di atas Gunung Kawi, 1844). Demikianlah Junghuhn dan gunung-gunung di Jawa, ia telah mencurahkan perhatiannya kepada 40 gunungapi di Jawa, yang didaki, dipetakan dan ditelitinya selama 13 tahun dari 1836-1848. Sebagai seorang botanist dan pendaki gunung, Junghuhn telah mengamati bagaimana jenis-jenis tumbuhan berubah sesuai ketinggian tempat mereka tumbuh. Geografi tumbuhan yang berasal dari Junghuhn ini sampai sekarang masih digunakan para peneliti. Belum ada lagi penyelidik botani dan gunung-gunung Jawa sekaliber Junghuhn yang telah mencurahkan hampir seluruh kariernya untuk Jawa, selama 29 tahun (1835-1864), ia meneliti, mengukur, menulis, dan berdebat. Ribuan halaman telah ia habiskan menulis tentang alam Jawa. Kita harus mengenal dengan baik dokter, botanist, geologist dan volcanologist ini. Semoga pameran tentang Junghuhn di Indonesia dalam rangka memperingati 200 tahun kelahirannya (1809-2009) telah cukup dimanfaatkan dan menginspirasi putra-putri Indonesia untuk mencintai alam raya. Dari Junghuhn, kita bisa belajar tentang kecintaan, kesungguhan, dan ketekunan kepada ilmu pengetahuan. “Hanya di ketinggian pegunungan, aku dapat bahagia !” (Junghuhn, dalam “Ruckreise” – Perjalanan Pulang). Salam, Awang
Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini! http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/