Pak Sangam,
   
  Betul Pak Sanggam, dia orangnya yang menerjemahkan Bible ke dalam bahasa 
Batak, itu terjadi tahun 1851. Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894) 
orangnya nyentrik dalam hidup sehari-harinya. Di Batak, dia hidup seperti orang 
Batak, di Bali dia hidup seperti orang Bali (namanya bahkan jadi Gusti Dertik 
saat dia di Bali). Dia, seperti Douwes Dekker dan Sicco Roorda, dua Belanda 
nyentrik lainnya, malahan menyerang moral borjuis Belanda. 
   
  Tetapi, yang terkenal dari van der Tuuk adalah bahwa ia adalah perintis 
penelitian-penelitian bahasa di Nusantara ini, sehingga Prof. H.Kern, ahli 
bahasa besar Indonesia dan Asia Tenggara, menjuluki van der Tuuk : Ahli 
terbesar mengenai bahasa-bahasa di Indonesia" Dia menguasai dan membuat kamus 
banyak bahasa-bahasa suku di Indonesia. Bahwa bahasa Malagasi dan bahasa 
Austronesia serumpun adalah anatara lain hasil penelitian van der Tuuk.
   
  Akan halnya penerjemahan Bible (Alkitab) ke dalam bahasa Batak, sebenarnya 
van der Tuuk tak tertarik dengan isi Bible itu sendiri, bahkan dia cenderung 
atheis orangnya, dia hanya tertarik dengan bahasa suku di Indonesia kalaupun 
dia mau menerima menerjemahkan Bible ke dalam bahasa Batak. Berbeda dengan 
Lutuij Nomensen, bule pertama lain yang datang ke tanah Batak yang memang 
tujuannya untuk menyebarkan agama Kristen di sana.
   
  van der Tuuk sebenarnya mahasiswa hukum, tetapi ia drop out sampai sarjana 
muda sebab ia lebih tertarik dengan bahasa-bahasa timur. Dalam waktu luangnya 
ia mempelajari bahasa Arab, dan menjadi sangat mahir berbahasa Arab sebelum 
umurnya 20 tahun. Lalu ia masuk ke Univ Leiden dan mempelajari bahasa Ibrani, 
Sanskerta, dan Arab. Karena keahliannya terkenal, lalu oleh Lembaga Alkitab 
Belanda dia ditawari pergi ke Indonesia ke tanah Batak untuk menjadi peneliti 
lapangan bahasa Batak untuk keperluan penerjemahan Alkitab. Suatu tawaran yang 
berani sebab van der Tuuk saat itu belum memiliki gelar apa pun dalam 
bahasa-bahasa timur. Tahun 1851 ia tiba di Batak dan langsung hidup sefisik dan 
sejiwa dengan orang-orang Batak. Kawan-kawan Bataknya banyak dan dia dengan 
tekun mempelajari bahasa Batak dari mereka, bakatnya yang luar biasa dalam 
bahasa membuatnya segera menguasai bahasa setempat dengan baik dan ilmiah. van 
der Tuuk juga melaporkan ke Lembaga Alkitab Belanda tentang
 mental2 borjuis pejabat Belanda di Indonesia, ini satu laporannya 
(diterjemahkan dari Rob Niewenhuijs : Oost Indische Spiegel)
   
  "Bila pemerintah ingin memajukan orang-orang pribumi maka para pejabat 
hendaklah menyapa hati mereka, dan ini tidak mungkin selama para pejabat 
Belanda itu masih mempergunakan bahasa Melayu pasaran..."
   
  van der Tuuk juga mengamati dengan tajam kemajuan ekonomi daerah terjajah dan 
daerah tidak terjajah oleh Belanda dan mengungkapkannya dengan sarkastik. 
Menurutnya wilayah terjajah lebih miskin (tentu saja...)
   
  "Tidak tahukan mereka (orang Belanda) bahwa daerah2 Batak merdeka seperti 
Silindung, Toba Na Sae, pedalaman Baros, dan Singkel padat sekali penduduknya, 
sedangkan daerah Mandailing  (yang dikuasai Belanda) sangat kecil jumlah 
penduduknya ? Pernahkan mereka melihat perbedaan antara rumah-rumah adat 
orang-orang Batak Toba yang megah dengan gubug-gubug di daerah Mandailing ? 
Tidak tahukah mereka bahwa di daerah Toba merdeka masih dibuat buku-buku, 
sedangkan di daerah Mandailing tulisan-tulisan pada kulit pohon sangat sedikit 
?..."
   
  Setelah enam tahun hidup di tanah Batak, van der Tuuk kembali ke Belanda pada 
tahun 1857 untuk mengolah segala bahan yang telah dikumpulkannya. Sebelas tahun 
kemudian, tahun 1868, ia menerbitkan sebuah kamus, tata bahasa, buku bacaan, 
dan Alkitab berbahasa Batak. van der Tuuk adalah peletak dasar penelitian 
bahasa Batak. Selesai dengan urusan bahasa Batak, yang digelutinya selama 17 
tahun, tahun 1868  van der Tuuk kembali ke Indonesia, kali ini ke Bali, sebagai 
utusan Lembaga Alkitab Belanda untuk urusan yang sama saat ia ditugaskan ke 
tanah Batak. Kali ini, van der Tuuk lebih nyentrik lagi, 25 tahun dia 
menggeluti bahasa Bali dan Kawi, hidup sebagai orang Bali di sebuah gubug 
Buleleng. Dia menjadi semacam ketua adat, tempat orang Bali bertanya soal2 adat 
dan bahasa. Raja Badung pernah berkata : di Bali hanya ada satu orang yang 
mengerti bahasa Bali : yaitu Gusti Dertik alias van der Tuuk. Tahun 1894, saat 
dia meninggal di Surabaya karena disentri, kamus Kawi-Bali yang
 disusunnya telah mendekati 4000 halaman (!) Usaha maharaksasa ini hampir 
membuatnya gila dan semakin membuatnya nyentrik. 
   
  Itulah contoh prestasi luar biasa seseorang yang tanpa gelar tetapi 
menghasilkan adikarya yang sungguh menakjubkan. Sekembali dari Batak, van der 
Tuuk ribut dengan Prof. Dr. Taco Roorda, seorang gurubesar di Delft dan Leiden. 
Saat itu, Prof. Roorda dipuja-puja dan diperdewa sebagai satu-satunya ahli 
bahasa Jawa. Dua alasan membuat van der Tuuk menyerang Roorda : (1) Roorda 
pernah menjelek-jelekkan namanya saat dia di Batak, (2) Roorda berpendapat 
bahwa bahasa Jawa adalah induk semua bahasa suku di Indonesia. Sungguh 
keberanian yang luar biasa di mana seorang yang tak bergelar bahasa menyerang 
seorang dewa bahasa. Pertarungan Roorda dan van der Tuuk dimenangkan oleh van 
der Tuuk dan dia mengeluarkan suatu hukum dari pertarungan ini yang kemudian 
dikenal sebagai Hukum van der Tuuk, hukum ini kemudian diikuti dan diteruskan 
oleh peneliti2 selanjutnya di Indonesia : Brandes, Adriani, dan Brandstetter. 
Kita juga pernah mempelajarinya saat kita belajar bahasa Indonesia di
 sekolah menengah, semoga kita masih mengingatnya.. Utrecht memberi gelar 
doctor honoris causa kepada van der Tuuk atas usahanya di Batak dan 
pertarungannya dengan Roorda.
   
  Begitulah van der Tuuk, suatu teladan ketekunan dan keberanian yang tiada 
taranya.
   
  "Seorang yang ingin memahirkan salah satu bahasa hendaklah ia turut berpikir 
dengan rakyat pengguna bahasa tersebut" (van der Tuuk, Buleleng,  15 September 
1872, sepucuk surat ke Lembaga Alkitab Belanda)
   
  salam,
  awang

sanggam hutabarat <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Pak Awang
   
  pengen konfirmasi..apakah Dr. Van der Tuuk orang yang sama yang pernah ke 
tanah Batak dan juga mempelajari bahasa setempat dan mentranslate bible ke 
bahasa Batak?
   
  yang saya tau orang Betawi memang akomodatif dengan kebudayaan orang 
pendatang (sunda, jawa, bugis, arab, cina,..) membuktikan siapa penduduk asli 
Jkt mungkin jadi 'agak' sulit untuk didefinisikan 
   
  ...wah menarik dan salut atas pengetahuan sejarah Pak Awang!
   
  salam
  Sanggam
  --

oki musakti <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Tambahan sedikit mas Awang,
  Pendapat bahwa Fatahillah adalah Fadhillah Khan (FK) dan bukannya Sunan 
Gunung Jati (SGJ) juga dianut oleh Imam Tantowi dan Chaerul Umam, dua sutradara 
yang secara bersama membesut film Fatahillah, sesaat sebelum runtuhnya orde 
baru.
   
  Di film ini, jelas-jelas digambarkan bahwa FK berbeda 1 generasi (lebih muda) 
dari SGJ. Kalau tidak salah ingat bahkan dikatakan bahwa FK adalah menantu dari 
SGJ.
  Mungkin memang film Fatahillah mengacu pada pendapat Prof Slamet Mulyana.
   
  Salam
  Oki
  (Lebih senang nonton ketimbang baca......)

Awang Harun Satyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
                22 Juni, hari ini, adalah hari ulang tahun kota Jakarta. 
Tanggal tersebut ditentukan sejak tahun 1956 ketika hasil penelitian Mr. Dr. 
Soekanto, ahli sejarah, diterima Pemerintah dan badan legislatif saat itu. 
Gubernur Jakarta Sudiro pada tahun 1954 meminta Mr. Mohammad Yamin (negarawan 
dan ahli hukum), Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan senior Jakarta), dan Mr. Dr. 
Soekanto (ahli sejarah) meneliti kapan sebenarnya kota Jakarta lahir. Tahun 
1527, tahun saat Fatahillah mengalahkan Portugis di Teluk Jakarta telah 
dianggap sebagai asal Jakarta (Jayakarta sebenarnya), tinggal hari tepatnya 
kapan yang belum diketahui. Lalu, dari ketiga tokoh itu, Sukanto mengumumkan 
hasilnya : 22 Juni 1527. Sukanto mempublikasikan hasil penelitiannya ke dalam 
buku berjudul, “Dari Jakarta ke Jayakarta : Sejarah Ibukota Kita” (Soekanto, 
1954).
   
  Hasil penelitian Sukanto segera direspon oleh para ahli sejarah lain. Yang 
merespon antara lain tak kurang dari Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat, doktor 
pertama Indonesia, yang sejak 1913 telah menjadi doktor sejarah melalui 
disertasinya yang terkenal tentang sejarah Banten : “Critische Beschouwing van 
de Sedjarah Banten” (Haarlem, 1913) – (Tinjauan Kritis Sejarah Banten). Argumen 
Hoesin Djajadiningrat atas penelitian Soekanto dimuat di Majalah “Bahasa dan 
Budaja” volume V no. 3 tahun 1956-1957, hal 3-9. Hoesin Djajadiningrat 
berkesimpulan bahwa hari lahir kota Jakarta (Jayakarta) adalah 17 Desember 
1526. Argumennya adalah bahwa hari itu adalah hari kemenangan Falatehan 
(Fatahillah) di Jakarta atas Portugis yang konon bertepatan dengan hari 
kemenangan Nabi Muhammad dalam perang merebut Mekkah. Falatehan adalah seorang 
ulama yang tawakal, maka sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, ia 
mengucapkan ayat Al Quran “Inna fatahna laka fathan mubinan” seperti yang yang
 diucapkan Nabi Muhammad ketika berhasil merebut Mekkah.
   
  Lebih menarik lagi adalah argumentasi dari Prof. Dr. Slamet Muljana (ahli 
sejarah naskah kuno yang kerap hasil penelitiannya mengejutkan). Slamet Muljana 
menyerang pendapat Soekanto dan Hoesin Djajadiningrat dalam rangkaian tulisan 
ilmiah populer di Koran Suara Karya pada April-Mei 1979. Kemudian, seri tulisan 
ini dibukukan ke dalam buku berjudul : “Dari Holotan ke Jayakarta” (Yayasan 
Idayu, 1980) - sebuah buku Slamet Muljana yang kalah populer dibandingkan 
bukunya yang kontroversial “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya 
Negara-Negara Islam di Nusantara” (Bhratara, 1968). Di buku terakhir tersebut, 
Slamet Muljana berkesimpulan bahwa Majapahit runtuh oleh dominasi Islam, dan 
bahwa hampir seluruh wali dari Wali Sanga adalah berasal dari Cina atau 
keturunan Cina. Maka, karena saat itu Pemerintah ORBA sedang anti-Cina, buku 
Slamet Muljana langsung dilarang, tak sampai setahun sejak penerbitannya. Tiga  
puluh lima tahun kemudian, 2003, buku terlarang ini diterbitkan
 kembali oleh sebuah penerbit di Yogyakarta dan segera laku keras serta susah 
dicari di toko-toko buku kalau terlambat membelinya.
   
  Sebagai seorang pecinta buku dan punya kegemaran bermain-main di tukang loak 
buku, saya punya buku2 baik tulisan Soekanto (1954), Hoesin Djajadiningrat 
(1913), dan Slamet Muljana (1968, 1980). Tulisan ini terutama didasarkan kepada 
empat buku tersebut, didukung buku-buku lain yang berhubungan.
   
  Kembali ke buku “Holotan”. Slamet Muljana berargumen dan menolak 
tanggal-tanggal kelahiran Jakarta dari Soekanto maupun Hoesin Djajadiningrat, 
bahkan Slamet Muljana mengeluarkan kesimpulan yang mengejutkan : bahwa 
Falatehan atau Fatahillah itu tidak sama dengan Sunan Gunung Jati, salah 
seorang wali dari Wali Sanga. Saya cek buku-buku sejarah Jawa dari pelajaran SD 
sampai buku-buku besar seperti tulisan Dennys Lombard yang terkenal itu (“Le 
Carrefour de Javanais” – Jawa : Silang Budaya) semua menyebutkan bahwa 
Falatehan = Fatahillah = Sunan Gunung Jati. Tahun 1968, Slamet Muljana pun 
berkesimpulan seperti yang lain, tetapi di buku “Holotan” (1980) dia 
berkesimpulan bahwa Falatehan atau Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati. Itu 
didasarkannya kepada penelitian naskah-naskah kuno, keahliannya.
   
  Argumen Slamet Muljana terutama didasarkan kepada naskah “Purwaka Tjaruban 
Nagari” tulisan Pangeran Arya Tjarbon (1720). Ini adalah naskah sejarah (babad) 
lokal wilayah Cirebon. Naskah ini sudah diterjemahkan langsung dari bahasa 
aslinya ke dalam bahasa Indonesia oleh Sulendraningrat, penanggung jawab 
Sejarah Cirebon, dan diterbitkan oleh Bhratara (1972).
   
  Naskah Purwaka Caruban Nagari menguraikan dengan jelas bahwa Panglima Demak 
yang berasal dari Pasai dan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kalapa pada 
tahun 1526 dan 1527 bernama Fadillah Khan. Slamet Muljana mengatakan bahwa 
Falatehan ialah transliterasi (pergantian huruf dan bunyi) dari nama asli 
Fadillah Khan. Nama aslinya adalah : Maulana Fadillah Khan Ibnu Maulana Makhdar 
Ibrahim al-Gujarat. Kemudian, naskah Purwaka Caruban Nagari pun sama sekali tak 
menyinggung pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta seperti diberitakan 
di banyak buku sejarah ketika Falatehan menduduki Sunda Kalapa dan mengusir 
Portugis. Nama Sunda Kalapa tetap dipakai sampai akhir tahun 1500-an. Tahun 
1628, ketika pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia yang saat itu 
sudah diduduki Belanda (nama Batavia dipakai sejak  tahun 1613), naskah Purwaka 
menyebut nama Jayakarta. Artinya ada pergantian nama dari Sunda Kalapa ke 
Jayakarta, tetapi itu terjadi sekitar akhir 1500-an dan awal
 1600-an, bukan sejak 1527.
   
  Slamet Muljana pun berargumen bahwa Falatehan itu adalah ulama sekaligus 
panglima perang Islam yang pernah hidup di Pasai , Demak, dan Banten sebelum ke 
Sunda Kalapa. Bagi ulama Islam seperti Fadillah Khan, nama Arab lebih cocok 
daripada nama Sanskerta. Seandainya ia mau mengganti nama Sunda Kalapa saat 
didudukinya, tak mungkin nama Sanskerta yang berbau Hindu seperti “Jayakarta” 
yang akan dipilihnya. Setelah menaklukkan Sunda Kalapa, Falatehan diangkat 
menjadi bupati Sunda Kalapa oleh Susuhunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati). 
   
  Lalu, dari mana asal nama Jayakarta kalau itu bukan mengartikan “kemenangan 
(jaya) Falatehan atas Portugis di Sunda Kalapa” ? Dalam hal ini, Jayakarta 
bukanlah toponim (asal nama geografi), tetapi itu adalah nama seorang pangeran 
dari Banten yang ditugaskan menjadi penguasa Sunda Kalapa, yaitu Pangeran 
Wijayakarta/Jayawikarta/Wijayakrama. Ayah pangeran ini adalah Ki Bagus Angke, 
menantu Sultan Hasanuddin penguasa Banten pada tahun 1550-an (Sultan Hasanuddin 
adalah anak Sunan Gunung Jati). Ki Bagus Angke ditugaskan Hasanuddin menjadi 
bupati di Sunda Kalapa. Kemudian, Ki Bagus Angke digantikan Pangeran Jayakarta. 
Begitulah, sebelum Belanda menguasai Jakarta, saat itu Pangeran Jayakarta 
tengah menjadi penguasa di Sunda Kalapa. Falatehan menetap di Cirebon sejak 
1546 dan ia berkawan dengan seniornya – Sunan Gunung Jati.
   
  Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayattullah adalah dua 
orang yang berbeda. Kedua orang ini memang dua sahabat sebagai sesama ulama 
Islam.  Ini dua orang yang berbeda karena di atas gunung Sembung, sebuah bukit 
di sekitar Cirebon, tempat makam para leluhur Cirebon ditemukan baik makam 
Sunan Gunung Jati maupun makam Fadillah Khan. Sunan Gunung Jati wafat pada 
tahun 1568, sedangkan Fadillah Khan (Falatehan/Fatahillah) wafat pada tahun 
1570. 
   
  Lalu, dari mana nama Jakarta sendiri ? Dari Piagam Banten yang bertarikh awal 
1600-an., sesudah 1602, yaitu sesudah VOC dibentuk sebab di dalam Piagam Banten 
itu termuat satu kata bukan asli Sunda-Banten. Dr.  van der Tuuk (1870), ahli 
bahasa dan sejarah, menyebutkan pemuatan kata “Jakarta” itu. Ini adalah kutipan 
dari Piagam Banten (van der Tuuk, 1870)
   
  “Lamon ana wong Djaketra angambil daon atawa kaju atawa angambil wiru, iku 
aweja ruba-ruba adjen-adjen sarejal; lamon sih wong Djaketra iku ora anggawa 
tjap dalem lan surate kumendur, iku tjegahen patjuwun den wehi mandjing ing 
muwara Putih; lamon maksa ora kena den tjegah, den gelis-gelis matura ing Bumi 
olija den sih”
   
  (Jika ada orang Jakarta mengambil daun, atau kayu atau nipah, supaya 
memberikan uang pengganti. Jika orang Jakarta itu tidak membawa cap istana dan 
surat dari komandan, supaya ditolak dan dimasukkan ke dalam muara sungai Putih. 
Jika ia memaksa dan tidak mau ditolak, supaya segera memberitahu Mangku Bumi).
   
  Laporan Cornelis de Houtman (dalam de Jonge, 1862 : De opkomst van het 
Nederlandsche gezag in Oost-Indie 1595-1610 – ‘s Gravenhage) pada tanggal 14 
November 1596 menyebut nama Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta) sebagai 
“koning van Jacatra” (raja Jakarta). Ternyata, bahwa nama Jakarta sudah muncul 
sejak akhir 1500-an.
   
  Begitulah, berdasarkan uraian di atas, tahun kelahiran Jakarta bukanlah 1527, 
tetapi 50 atau 60 tahun sesudah itu; bukan mulai pada saat Falatehan menduduki 
Sunda Kalapa (Sunda Kalapa kala itu adalah pelabuhan Kerajaan Pakuan yang 
beragama Hindu) pada tahun 1527, tetapi pada masa Pangeran Jayakarta menjadi 
bupati di Sunda Kalapa, yaitu sesudah tahun 1570.
   
  Tetapi, tokh Pemerintah DKI Jakarta masih tetap mengakui 22 Juni 1527 sebagai 
hari lahir Jayakarta-Jakarta sekalipun banyak naskah kuno menunjukkan 
kesimpulan-kesimpulan lain. Mengutip sebuah tulisan : 
   
  “Historical reality is often too bitter to swallow or too hot to stand. 
History is a large mirror that reflects the facts of the past, and all that has 
been etched into the glass of history can never be erased. If you don't like a 
particular historical fact, you may try to cover it up or forget it, but you 
can never remove it. A  historical fact can be interpreted in a variety of 
ways, but regardless of the interpretation, the fact will never change.”
   
  Semoga bermanfaat. “Selamat ulang tahun Jakarta-ku !” Semoga kau segera 
mendapatkan gubernur yang baik.
   
  Salam,
  awang


    
---------------------------------
  Sick sense of humor? Visit Yahoo! TV's Comedy with an Edge to see what's on, 
when. 

  Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 


       
---------------------------------
Looking for a deal? Find great prices on flights and hotels with Yahoo! 
FareChase.

Kirim email ke