Pacet, Bandung, Kebumen, Bohorok Rangkaian Bencana Alam Yang Menjadi Mulai
Membosankan

Bagian terbesar ahli geologi di Indonesia alumni ITB, UPN, Trisakti dan (UGM
beebrapa periode lalu), juga mungkin beberapa perguruan tinggi yang ada
sekarang pernah merasakan  kawah candradimuka yang namanya Laboratorium Alam
Karang Sambung, di Kabupaten Kebumen, dimana musibah longsor menelan ratusan
rumah baru-baru ini. Dengan kata lain sebagain besar komunitas geologist
dalam proses memahami fenomena kebumian pernah berada di Kebumen dimana
rangkaian genesa/mulajadi bumi berikut proses lanjutannya terpampang dengan
demikian jelas, termasuk besarnya potensi longsor.

Penulis mengamati fenomena Pacet, dimana penggundulan hutan akibat
penjarahan maupun kebakaran (bisa jadi alami) merupakan salah satu komponen
terjadinya aliran masa pekat ketika hujan dengan klasifikasi besar (badai?)
terjadi, dari pengamatan dilapangan secara jelas terbuka nampak dimata kami
"jejak" aliran arus purba sungai Cumpleng baik berupa akibat maupun
dimensinya di "masa lalu".

Menjadi jelas bahwa yang terjadi adalah kesalahan kita semua, karena mata
air panas yang ada bukan oleh mata air yang disebabkan perbedaan
permeabilitas lapisan batuan melainkan keluar disela-sela rekahan /patahan
struktural berada ditengah sungai, supaya air panas bisa dimanfaatkan, tidak
digelontor aliran sungai reguler (aliran permukaan yang suhunya dingin) maka
dilakukan pembelokan arah aliran air dingin tersebut. Celakanya, mata air
panas tadi ditampung di kolam yang posisinya di "bawah" elevasi mata air
panas dan masih berada ditubuh sungai dimana sekali lagi indikasi pola
aliran arus purbanya jelas sekali menunjukkan bahwa sewaktu-waktu route itu
akan terpakai.

Rekan dari Lapan juga memaparkan  bahwa pergerakan awan badai bencana Pacet
"sebenarnya" terpantau jam demi jam dari citra satelit.

Penulis diundang LIPI untuk hadir di Karang Sambung sekitar Agustus dalam
kursus mitigasi bencana alam untuk aparat pemda di Jawa Tengah dimana studi
ekskursinya adalah salah satunya ke daerah Ayah dimana bencana longsor
Nopember terjadi.

Judul diatas "mulai membosankan" berangkat dari kenyataan bahwa sedemikian
jelas tandanya, gejalanya, sedemikian banyak korbannya, begitu besarnya
kesedihan kita tapi langkah kita masih saja reaktif, selimut, tenda, beras,
supermi, pengerahan masa, teknik penanganan partial (peledakan tak efektif,
penggunaan arat berat yang justru membawa korban baru), bukannya tidak perlu
tapi langkah reaktif saja tidak cukup, sekali lagi tidak cukup bahkan bisa
disebut tidak pantas bila masalahnya hanya karena kita ternyata tidak mampu
dan mau mengintegrasikan segenap potensi yang ada hingga menjadi bentuk
persiapan antisipatif maupun penanganan bencana secara komprehensif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar komunitas ahli kebumian di tanah
air "lari" kedunia perminyakan, pertambangan maupun pendidikan yang lebih
menjadikan secara finansial dan hanya sebagian kecil yang menggeluti geologi
dinamik yang karena sering tidak dianggap perlu, tidak banyak diminati
karena kenyatan permintaan pasar memang belum ada.

Dari satu sisi mungkin perlu difikirkan akan adanya alternatif kurikulum
dengan titik berap proporsional aspek geologi teknik, dengan tingkat kajian
tidak saja kualitatif tapi kuantitatif.

Dari pengalaman pemaparan aspek bencana alam di jajaran pimpinan Jawa Timur,
kursus ilmu kebumian untuk pecinta alam di Bromo, pemaparan pendapat IAGI
akan RUU SDA di Jakarta, diskusi dengan banyak ahli disiplin ilmu terkait
dan banyak catatan (disidik polres suatu daerah) kejadian, betapa partialnya
cara berpikir kita semua, hingga begitu sebuah bencana terjadi yang pertama
kali kita lakukan adalah mencari kambing hitam. Alam amat sangat fair dalam
berprilaku, semua ada awalnya, ada tandanya, ada petunjuknya, ada
rekamannya, tidak ada istilah curang, "menddak", "nyolong petek", masalahnya
"cuma" kita sering tidak arif, tidak mau mendengar, tidak mau bekerja sama
bahkan ada yang sedemikian tega mengambil keuntungan dari musibah.

Musibah di Bohorok yang memilukan sekaligus menimbulkan kemarahan
(setidaknya dari penulis), karena meskipun belum pernah kesana, penulis
punya keyakinan kuat dari visualisasi media, bahwa karakteristik sungainya
sangat mungkin muncul sistem arus pekat, bahwa ini bukan pertama kalinya
sungai tersebut mengalami hal yang sama. Susahnya periode kejadiannya bisa
cukup panjang hingga sering dilupakan, diabaikan dan justru disepelekan
potensi bencananya dengan mengembangkan fasilita umum yang bersifat
permanen. Dari citra pengindraan jauh pola lekuk aliran sungai akan
teramati, detail arus purba bisa diteliti dan diukur dari struktur sedimen
yang dibentuk, jejak dan dimensi bencana dimasa lalu bisa dilacak tandanya,
mobilitas awan badai bisa dipantau dan dilakukan peringatan dini, penempatan
aktifitas manusia yang bersifat permanen harus berada diluar kemungkinan
teknis jangkauan bencana yang bisa diperhitungkan manusia.

Kalaupun semua yang bisa diusahakan  sudah dilakukan tetapi bencana tetap
datang juga yang muncul mungkin hanya keprihatinan mendalam, bukan
kemarahan.
Perlu kita sadari sepenuhnya bahwa kita berada di daerah yang ditakdirkan
rawan terhadap tidak saja tanah longsor namun juga kemungkinan letusan
gunungapi, aliran lahar, semburan gas berbahaya, gempa tektonik, hantaman
tzunami, pergerakan aktif patahn batuan yang semuanya bisa dieliminir akibat
nehatifnya bila dilakukan pendalaman, kajian, perencanaan dan kerja sama
sungguh-sungguh dari semua pihak utnuk tidak abai. Dalam banyak hal semua
gejala tersebut diatas dengan perkembangan teknologi saat ini bisa dilakukan
pendekatan kuantitatif dan terukur.
Mungkin langkah awal pemanfaatan alam harus selalu mengacu pada potensi
dasar alamiahnya yang selalu bisa dikenali, didekati dan digunakan selalu
dalam batas toleransi dinamisnya.


Surabaya 5 Nopember 2003
M. Soffian Hadi
Anggota IAGI (2794)


IAGI SECRETARIAT
Geologi & Sumberdaya Mineral Building, 4th Floors
Jl. Prof. Soepomo, No.10
JAKARTA-12870, INDONESIA
Phone/Facs : (62-21) 8370-2848 / 2577
email : [EMAIL PROTECTED]

 

 

Kirim email ke