Mengingakan kita pada 'semangat merdeka' dari posting2 sebelumnya,
beberapa kawan super semangat, ada yang super pesimis, ada juga yang
menganjurkan supaya mulai berdialog dengan wakil rakyat dsb ingat judul
: Stiglitz: Negosiasi Ulang Kontrak Pertambangan. Saya pernah mencoba
ditengah kesibukan saya dan istri, istri pernah bertemu dengan seorang
teman sebagai wakil rakyat, saya titipkan kopi dari posting teman2 di
iagi.net  ini, saya SMS kepada 'beliau', sampai sekarang belum ada
respon atas tawaran untuk bisa bertemu dengan kalangan profesi
kebumian/pertambangan. Lain waktu saya coba lagi. Padahal spanduknya di
banyak tempat di Jakarta ini mengatakan: "Selamatkan Aset-aset negara
dari penjarahan asing" (anda tahu kan yang dimaksud? Dari orpol
mana?...orpol lain mungkin lebih parah lagi...sama deh...gitu2 doang
kalau kagak ade sponsor, rahayat dicuekin). Slogan tinggal slogan,
harapan tinggal harapan............... See what Next

 

Agus Sutoto

 

-----Original Message-----
From: Andri Subandrio [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, September 07, 2007 4:36 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: [iagi-net-l] Tanah Air ditukar Shukoi

 

Rekan-rekan netter yang budiman,

 

Apa yang terjadi sekitar 30-40 tahun yang lalu di Erstberg, Jayapura,
tidak 

lama lagi akan terjadi lagi di tempat-tempat lainya di Indonesia. Harga 

beberapa komoditi mineral logam yang sedang naik daun, menjadi
"primadona" 

bagi sebagian besar daerah yang mempunyai prospek tambang untuk menjual 

"tanah-air" begitu saja. Pertemuan SBY dengan Putin kemarin memungkinkan


"BARTER" jutaan ton "aluminium-bauxite" dengan pesawat Shukoi! Kapan
kita 

bisa mengolah bauxite hingga bisa menjadi "panci" atau pesawat "TETUKO
dan 

CN-235 ? Bagaimana industri "MATERIAL" dibagian hilir dinegri kita ?
Adakah 

kabel produksi Indonesia dari tembaga di Freeport Papua dan Newmont 

Batuhijau ? Adakah di Indonesia komoditi dan industri "STRATEGIS" yang
tidak 

begitu saja dijual dalam bentuk gelondongan "TANAH AIR"! Mestinya
industri 

berbasis mineral bisa memakmurkan rakyat, koq dinegeri kita malah
sebaliknya 

?

 

salam

Andri SSM

 

----- Original Message ----- 

From: "Awang Harun Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>

To: <iagi-net@iagi.or.id>

Sent: Friday, September 07, 2007 2:04 PM

Subject: [iagi-net-l] 1967 : Ertsberg Ditukar dengan Belasan Parang dan 

Efeknya Kini

 

 

Tahun lalu dan beberapa bulan yang lalu, teman sebangsa kita dari Papua

melakukan unjuk rasa di mana-mana menuntut penutupan Freeport. Tuntutan

tentu tak bisa dipenuhi sebab Pemerintah Indonesia sudah terlanjur

terikat kontrak dengan perusahaan besar asal Amerika ini. Bila ditutup,

Pemerintah bisa diadukan ke Mahkamah Internasional dan bisa dipastikan

Pemerintah kita bakalan kalah. Tahun2 lalu pun kita suka mendengar

penyanderaan orang2 (asing) Freeport oleh suku2 setempat, atau ada

beberapa anggota suku yang ditembak, dsb..dsb..pendeknya bisa dikatakan

penuh konflik. Konfliknya memang ada, tetapi ada juga yang

memanfaatkannya untuk dipolitisasi. Mengapa bisa begitu ? Barangkali

cerita di bawah bisa sedikit menerangkan mengapa generasi muda Papua

marah, cerita diramu dari berbagai publikasi. Walaupun peristiwa ini

terjadi 40 tahun lalu, saya yakin kita masih bisa belajar daripadanya

bagaimana mengatur investasi di Indonesia, di wilayah yang begitu

beragam kemajuan masyarakat dan budayanya, agar kelak tak terjadi

konflik.

 

 

 

Diceritakan kembali berdasarkan sebuah artikel dari Kompas 11 Juni 1969.

"Eksplorasi Tembaga di Ertsberg, Irian Jaya" (oleh Adjat Sudradjat)

 

 

 

Tahun 1967, 40 tahun lalu, Tim Freeport sedang berusaha mengebor bagian

dari Gunung Bijih untuk mendapatkan sampel-sampel bijih guna penelitian

kadar mineralisasinya. Konon, para pembor itu dipilih dari yang pernah

berpengalaman di Kutub Utara dan Alaska sebab mereka mesti melawan suhu

sedingin 0-4 Celsius, kabut, dan hujan. Mereka mendirikan kemah di

pelataran Cartensz Weide. Mereka diterbangkan ke situ dari Timika

menggunakan helikopter selama 40 menit.

 

 

 

Sementara itu, tiga orang kepala suku berhiaskan bulu burung, kalung

merjan, dan tusuk hidung merayap menuju Ertsberg tiga hari tiga malam

bersama bala tentaranya tanpa selembar benangpun melekat di badannya,

tak peduli hawa sedingin es pun. Akhirnya, mereka sampai di perkemahan

para pembor tersebut. Suasana tidak menyenangkan terjadi sebab tidak ada

saling pengertian di antara tim Freeport dan suku setempat, maklum tidak

ada yang saling mengerti bahasa masing2. Orang2 Indonesia di tim

Freeport pun tak mengerti bahasa mereka sebab sebagian besar datang dari

luar Papua.

 

 

 

Keesokan harinya, saat para pekerja bangun tidur, mereka menemukan

perkemahan sudah dipagari tonggak seperti salib digantungi berbagai

bunga dan daun. Di tengah kecemasan itu, untung terpikir untuk memberi

suku-suku Papua itu makanan. Makanan diterima dan suku2 itu pulang.

Keesokan harinya datang lagi, tetapi kali ini untuk membantu tim

mengangkati batu-batu dari Ertsberg. Lalu mereka pulang.

 

 

 

Kedatangan yang berikutnya, suku2 ini membawa seorang anak bernama Karel

didikan misionaris. Anak ini bisa berbahasa Indonesia walaupun

patah-patah. Akhirnya, terungkaplah bahwa keinginan suku2 ini yaitu

mereka minta ganti rugi atas gunung mereka yang telah digali. Tentu saja

suku2 ini tidak tahu bahwa di Jakarta kontrak pertambangan antara

Pemerintah Indonesia dan Freeport telah ditandatangani setahun

sebelumnya, 1966.

 

 

 

Minta ganti rugi ? Dengan serentak, sang superintendent Freeport tanpa

segan-segan memberikan berbilah-bilah parang sebagai ganti Ertsberg.

Ternyata, belasan parang itu diterima dengan sangat sukacita oleh para

anggota suku. Seorang kepala suku lalu menyerahkan sebilah pisau batu

kepada si "pembeli gunung" sebagai hadiah tanda sukacita. Lalu, si

kepala suku menari-nari di depan tim Freeport sambil mengeluarkan bunyi

seperti ribuan burung. Tangannya mencabut bulu cenderawasih di kepalanya

dan mengacungkannya ke depan. Upacara ini diikuti dengan khidmat oleh

seluruh anggota suku. Ketika ditanyakan kepada Karel apa arti upacara

itu, dijawabnya bahwa itu adalah upacara agar Sang Hyang merelakan

gunungnya digali dan sekaligus memberikan berkat kepada para pembeli

gunung itu. Tak lama kemudian para suku pulang.

 

 

 

Dan, kita tahu Ertsberg yang menjulang pun digali habis tidak sampai 20

tahun (Adjat Sudradjat, 1996).

 

 

 

-------------------------------------

 

 

 

Andre Vltchek, Rossie Indira mewawancarai Pramoedya Ananta Toer (2004)

 

 

 

 "Selama masa Soekarno, modal asing sulit masuk ke Indonesia. Setelah

kudeta di tahun 1965, Soeharto membuka pintu lebar-lebar untuk modal

asing....termasuk investasi Freeport di tambang emas di Papua....Pada

awalnya Freeport mengatakan bahwa mereka akan melakukan eksplorasi

tambang tembaga, ternyata kemudian seorang dokter dari Bandung yang

bekerja di sana menemukan bahwa yang mereka tambang adalah emas. Dia

membuat laporan mengenai hal ini agar pemerintah bisa menyelidikinya,

tapi tak lama kemudian dia dipecat, rumahnya diobrak-abrik orang dan

seluruh dokumennya dicuri. Dokter ini pada akhirnya harus lari ke luar

negeri...Irian sekarang sudah hancur. Perusahaan tambang emas ini saja

sudah menghancurkan tiga bukit di sana."  (demikian jawaban Pram atas

pertanyaan Andre Vltchek dan Rossie Indira dalam bukunya "Saya Terbakar

Amarah Sendirian").

 

 

 

-------------------------------

 

 

 

Saya trenyuh membaca artikel di Kompas 38 tahun yang lalu itu yang

ditulis oleh Pak Adjat Sudradjat (mantan Dirjen Geologi dan Sumberdaya

Mineral, gurubesar Geologi Unpad). Pak Adjat kala itu adalah pegawai

Direktorat Geologi dan merupakan  salah satu anggota Indonesia dalam tim

Freeport.  Pak Adjat menulis apa yang disaksikannya.

 

 

 

Selama pemerintahan ORBA memang Freeport termasuk pembayar pajak paling

besar di Indonesia, tetapi adakah yang sampai ke generasi keturunan para

suku yang dulu pemilik gunung2 di Jayawijaya ? Kucuran hasil pajak ini

memang urusan pemerintah ORBA. Generasi penerus suku ini telah tahu

bahwa gunungnya itu bernilai jutaan dolar atau lebih, tetapi hanya

ditukar dengan belasan parang ! Bisa dipahami mengapa mereka marah.

 

 

 

Semoga tidak pernah terjadi lagi hal seperti itu. Hak-hak suku harus

dihormati.

 

 

 

Kini sebaliknya terjadi, para suku memberikan dukungan eksplorasi migas

di wilayahnya di beberapa blok di tanah Papua; apa daya wilayah2 itu

masuk ke hutan yang secara nasional dan internasional harus dilindungi,

dan Pemerintah pusat tak memberikan izin eksplorasi di wilayah2 seperti

itu. Maka, kini investor2 asing itu terpaksa mencari wilayah2 pengganti.

 

 

 

salam,

 

awang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

------------------------------------------------------------------------
----

Hot News!!!

EXTENDED ABSTRACT OR FULL PAPER SUBMISSION:

228 papers have been accepted to be presented;

send the extended-abstract or full paper

by 16 August 2007 to [EMAIL PROTECTED]

Joint Convention Bali 2007

The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and
Exhibition,

Bali Convention Center, 13-16 November 2007

------------------------------------------------------------------------
----

To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id

To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id

Visit IAGI Website: http://iagi.or.id

Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:

Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta

No. Rek: 123 0085005314

Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)

Bank BCA KCP. Manara Mulia

No. Rekening: 255-1088580

A/n: Shinta Damayanti

IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/

IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi

---------------------------------------------------------------------

 

 

Kirim email ke