Menikah Membuatku Jadi Kaya

*Oleh Azimah Rahayu*
13 Jun 2006 06:59 WIB

Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, "Ke mana saja uangmu
selama ini?" Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja
uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga
puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi
untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku
kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau
dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi
pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan
menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit
ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku,
waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup
besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan
traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia
berkata, "Gajiku jauh di bawah gajimu...". Kata-kata suamiku -ketika masih
calon- itu membuatku terperangah. "Yang benar saja?" sambutku heran. Dengan
panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah
tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih
malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun
hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah
rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak
memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang
yang bersih, bahkan "tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas." Fakta
bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat
dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. "Mana lagi baju, Mas?" tanyaku pada
suami yang tengah berbenah. "Udah, itu aja!" Aku mengernyit. "Itu aja?
Katanya kemarin baju Mas banyak?" tanyaku lebih lanjut. "Iya, banyak kan?"
tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras.
Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga
pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk
baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren,
dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan
dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari.
Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali
lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita
biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi
isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama,
pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja
uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan
organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja
pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak
untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat
harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu,
pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu
makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip
ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan
susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam
sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk
makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang
kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak
pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan
siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi
jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan
puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu
sebulan hanya untuk makan? Ups!

Baru sebulan menikah.
"De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?"
"Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah
saranaku mengerjakan amanah di organisasi." Si mas pun mengangguk. Tapi
ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu,
itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding
dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi
berikutnya, untuk berangkat aku *nebeng* motor suamiku hingga ke jalan raya
dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah
saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu
rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari
kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas
menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas
jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu *mepet*, aku sering naik bajaj.
Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh
ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu?
Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran
ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
"Ke ITC, yuk, Mas?" Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi
menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. "Oke, tapi
buat daftar belanja, ya?" kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke
sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas
selalu langsung menarik tanganku dan berkata,"Kita selesaikan yang ada dalam
daftar dulu?" Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris
setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan
sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa
ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan "Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?"
Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami
dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan
oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
"Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu..." Aku ingat, tadi pagi seorang
tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada
tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada
si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat
itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit.
Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang
untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!

***

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata.
Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah
(meski masih termasuk kategori *low end*). Namun selama ini, setiap kali
melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa
memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku
yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu
akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang
kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri.
Pakaian dan jilbabku masih dapat di-*rolling* untuk sebulan. Sejak menikah,
aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke
mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya:
perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan
kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan
tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa
depanku nanti.

Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah
pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi
berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan
oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

DIKUTIP DARI www.eramuslim.com
Salam,

Yantie


-- 
Salam,
Yantie


[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/iPMolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke