MERENDAH
ITU INDAH
Posted by Gede Blue on 2004-09-15
Di satu kesempatan,
ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya
turis ini ketika masih hidup,
sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk memilih : surga atau neraka.
Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan sudah
teramat sering ditipu orang, maka
iapun meminta untuk melihat dulu
baik surga maupun neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu
dengan pendeta, kiai dan orang-orang
baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca
kitab suci. Di neraka lain lagi, ada banyak
sekali hiburan di sana. Ada penyanyi
cantik dan seksi lagi bernyanyi.
Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh lebih
dipenuhi hiburan dibandingkan surga.
Yakin dengan penglihatan matanya, maka turis tadi
memohon ke Tuhan untuk tinggal
di neraka saja. Esok harinya,
betapa terkejutnya dia ketika sampai
di neraka. Ada orang dibakar,
digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya. Maka proteslah dia pada petugas
neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang petugas terakhir menjawab : 'kemaren kan
hari terakhir pekan kampanye pemilu". Dengan jengkel turis tadi bergumam :
'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya, Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda memang tidak dilarang tersenyum asal jangan
tersinggung karena ini hanya lelucon. Namun cerita ini menunjukkan, betapa
kepercayaan (trust) telah menjadi komoditi yang demikian langka dan mahalnya di
negeri tercinta ini. Dan sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun
di mana kepercayaan itu mahal dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar
amat dan teramat sulit.
Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan
perusahaan dengan ribuan tenaga kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga
saja, kalau kepercayaan tidak ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam
sedikit, berujung dengan adu mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang
cemburu.
Di perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan
sudah menjadi kanker yang demikian berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi
bermula dari sini. Buruh yang mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga
diawali dari sini. Apa lagi krisis perbankan
yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal : trust
capital.
Bila Anda rajin
membaca berita-berita politik, kita dihadapkan
pada siklus ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi. Polan
tidak percaya pada Bambang. Bambang
membenci Ani. Ani kemudian berkelahi
dengan Polan. Inilah lingkaran ketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.
Dalam lingkungan seperti
itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah
diproduksi oleh manajemen dan tenaga
kerja Shangrila saja. Kita semua sedang memproduksi diri seperti itu.
Andaikan di suatu
pagi Anda bangun di pagi
hari, membuka pintu depan rumah,
eh ternyata di depan pintu ada
sekantong tahi sapi. Lengkap dengan
pengirimnya : tetangga depan rumah. Pertanyaan
saya sederhana saja : bagaimanakah reaksi Anda ? Saya
sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang.
Dan jawabannyapun amat beragam.
Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya ', menempatkan tahi sapi tadi sebagai
awal dari permusuhan (bahkan mungkin peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya,
mereka yang melengkapi diri dengan pikiran-pikiran
positif 'sabar, tenang dan melihat
segala sesuatunya dari segi baiknya'
menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan rumah. Bedanya
amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi sebagai
kotoran yang menjengkelkan.
Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk
tanaman halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan serupa dengan
tahi sapi. Ia tidak hadir
lengkap dengan dimensi positif dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian persoalan manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa
lambat. Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan berkuasa
dalam pikiran kita.
Cerita tentang tahi
sapi ini terdengar mudah dan indah, namun
perkara menjadi lain, setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan pikiran sayapun tidak seratus persen
dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul di
luar kesadaran.
Ini mengingatkan saya
akan pengandaian manusia yang mirip dengan sepeda motor yang stang-nya hanya berbelok ke kiri.
Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki, stang-nya hanya akan melihat
laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama bekerja di perusahaan yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat wajah pengusaha
sebagai penipu. Ini yang oleh banyak
rekan psikolog disebut sebagai pengkondisian yang mematikan.
Peperangan melawan keterkondisian,
mungkin itulah jenis peperangan yang paling menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana
pengalaman Anda, namun pengalaman saya hidup bertahun-tahun
di pinggir sungai mengajak saya untuk merenung.
Air laut jumlahnya jauh lebih banyak
dibandingkan dengan air sungai. Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut berani merendah.
Demikian juga kehidupan
saya bertutur. Dengan penuh rasa
syukur ke Tuhan, saya telah
mencapai banyak sekali hal dalam
kehidupan. Kalau uang dan jabatan
ukurannya, saya memang bukan orang
hebat. Namun, kalau rasa syukur
ukurannya, Tuhan tahu dalam klasifikasi
manusia mana saya ini hidup.
Dan semua ini saya peroleh, lebih
banyak karena keberanian untuk merendah.
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak-injak orang. Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun
melaju dengan kehidupan saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah
paham entah tidak tentang pilosopi
hidup saya seperti ini. Seorang
pengunjung web site saya mengutip Rabin Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'.
***
by Gede Prama