oleh Frans
(Gogo) Prayoga (BBC)
|
![](giffvs3Be6Egc.gif)
|
Sekitar tiga bulan yang
lalu, sepucuk surat tiba di meja saya. Surat itu ditulis oleh
pejabat yang mengurusi proses pensiun.
Diingatkan dalam surat
ber-kop BBC, bahwa hari-H pensiun saya akan tiba dalam tempo tiga bulan.
Konsekuensinya, saya
akan harus berhenti bekerja sebagai penyiar BBC - dan .. dalam lembar
berikutnya ada penjelasan betapa uang saya dapatkan akan kurang dari separoh
dari gaji saya selama ini.
Setelah berpuluh tahun 'menikmati' gaji utuh, saatnya segera tiba bagi
saya dan keluarga untuk menerima kenyataan, bahwa puluhan tahun mendatang
(semoga diberi umur panjang, tentunya) kami harus bisa 'survive'.
Dari sudut lain, mulai
tiga bulan yang lalu, saya sudah membayangkan bagaimana kami akan menjalani
hari-hari tanpa tugas dan tanggungjawab kantor.
"Kita akan bisa
menikmati liburan tanpa batas, lho!" demikian celetuk istri saya ketika
saya tunjukkan kepadanya surat BBC itu.
"Tetapi mampukah
kita berlibur terus-terusan ... Mengisi hari-hari dengan kebingungan dan
kekosongan tugas. Menganggur terlalu lama justru mempercepat proses
penuaan," jawabku.
Masih ada sederet 'enak
dan pahitnya' berpurnakarya, yang hanya dicapai dengan syarat 'usia sudah cukup tua' untuk berhenti bekerja yang
resmi.
Bayangan
dan kegalauan tersebut, saya simpan dan saya
bawa ke Indonesia.
Saya ceritakan kepada sejumlah rekan, pemerhati dan pegiat dalam
urusan ke-usia-lanjutan.
Manis-pahit
Ada
yang dengan hati gembira berkisah tentang enaknya menjadi pensiunan.
Ibu Irna Hadisuwito,
yang terakhir menjadi dosen di Fakultas Sejarah, Universitas Indonesia, dan
berpuluh-puluh tahun menikmati kehidupan sebagai istri pegawai tinggi
Pertamina, dengan ceria meladeni tamu-tamunya di kedai Pecel Madiun di
kawasan Gondangdia, Jakarta.
Sedangkan Ibu Tumpuk,
bekas penyapu jalan di Semarang, mengaku "rejeki jangan dikejar dengan ngoyo ... Kita harus 'nrimo pandum' (menerima bagian) dengan
iklas. Dapatnya segitu yang diterima, segini ya ndak apa-apa. Cukup nggak cukup ... kalau dihitung-hitung ya nggak
pernah cukup".
Pak Wahyudi di
Surabaya, Romo Henrich Bollen di Maumere, Ibu Bowo yang mantan guru di
Semarang, dan Pak Pranowo yang 'mudik ke Jawa Tengah dari kerjanya di
perkebunan di Lampung' adalah sebagian dari mereka yang dengan cerdik - dan
beruntung - menyiapkan diri baik-baik pensiun mereka.
Pasangan suami-istri,
Bapak dan Ibu Yudhi di Semarang, memutuskan untuk pensiun dini dari pekerjaan
mereka di sebuah perusahaan rokok. Alasannya: situasi dan kondisi kerja
sangat buruk.
"Lebih baik kami
keluar dan menghadapi masa depan kami dengan cari-cari kegiatan swasta .. Dan ternyata jalan juga," demikian
kata pasutri yang memang pernah sekantor itu.
Veteran
Yang menjerit karena
merasa ditinggalkan pada hari tuanya adalah sejumlah veteran.
Pak Sadad di Surabaya
menjerit karena dirinya dan banyak rekan-rekannya ditelantarkan.
"Bahkan ada rekan
kami yang terpaksa tidur di bedeng-bedeng atau menduduki tanah maupun rumah
tak resmi. Sementara kaum muda yang tidak ikut perang, banyak yang
bermewah-mewah lewat korupsi," ujarnya.
Pak Suwarno, yang sudah
menjelang 80 tahun, mengaku ikut berjuang di Jawa Timur. Kini dia dengan
istrinya menunggui gubug di sudut kantor kelurahan Bibis Karah, Surabaya.
Ia sempat menangis ..
Meratapi nasibnya, nasib veteran dan perjuangannya dulu.
Pak Sukardjo - dulu
adalah pelatih team volleyball nasional Indonesia. Sekarang dia menderita
tujuh macam penyakit yang membahayakan - termasuk jantung, ginjal, kanker dan
liver.
Namun, Pak Kardjo
tabah. Dia menghabiskan masa pensiunnya dari Universitas Negeri Surabaya
dengan jualan rempeyek, krupuk dan makanan kering di bekas kampusnya dan
sekolahan tempat istrinya bekerja.
"Nggak malu,
pak?" tanyaku.
"Ngapain malu ...
Itu juga atas dorongan teman-teman, dan seratus persen bebas korupsi
kok," katanya dengan nada tinggi.
Usia Emas
Usaha
meringankan kaum usial lanjut - atau istilah lainnya 'usia emas' - dilakukan oleh Komunitas Kencana.
Ibu
Jackie Ambadar, sebagai salah satu penggeraknya,
menguraikan bahwa 'kebersamaan dan pengisian kegiatan - termasuk di dalamnya,
berkumpul di desa kencana, berolah raga, berdarmawisata, 'sharing' mengenai
pengalaman menjadi pelaku usia kencana
dan bermain bersama-sama.
Sebuah
usaha untuk memberi tampungan dan tumpangan bagi para orang
tua agar bisa hidup bersama dalam satu kumpulan
dengan tingkat yang cukup sejahtera diluncurkan oleh Ibu Evy
Mardiyanto, istri Gubernur Jawa Tengah.
Panti Werdha di Lerep,
Ungaran, disiapkan dengan cukup megah. Tampaknya
secara fisik sangat nikmat. Tetapi sampai kini ternyata kosong penghuni.
"Mungkin terlalu jauh dari keramaian .. Mungkin juga
keluarga dari orang tua bersangkutan
belum merasa 'sreg' menyerahkan orang tua mereka
di panti werdha. Ini menyangkut
budaya orang Jawa," keluh Ibu Evy Mardiyanto.
Jompo
Kecenderungan
untuk menitipkan orang tua di
panti werdha - sebuah hal yang sudah lumrah dipraktikkan di negeri-negeri barat - menurut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku
Buwono X, pada akhirnya akan menguat di Indonesia.
"Pada saat orang tua
semakin perlu bantuan, anak-anaknya juga semakin sibuk dengan keluarganya sendiri, dengan kariernya dan kesibukan lainnya ..
Bahkan mungkin pisah jauh di
luar negeri. Kemana lagi kalau
tidak menitipkannya ke panti werdha,"
kata Sri Sultan, yang juga
mendirikan semacam panti yang kini dihuni, antara lain oleh pengarang novel NH Dini.
"Asal jangan
samakan panti werdha dengan panti jompo!"
Saya kembali ke London
dari Indonesia dengan bayangan dan kegalauan yang sudah dikombinasikan dengan
berbagai penuturan mereka (dan juga lainnya).
Saat
anda membaca tulisan ini, saya sudah mulai
menjalani masa pensiun.
|