SERING PINDAH SEKOLAH
Perlu dukungan agar ia mudah menyesuaikan diri di tempat baru.
"Capek amat, sih, Pa. Baru dua tahun di sini, pindah sekolah lagi!"
Keluhan seperti ini sering terdengar pada anak-anak yang kerap berpindah
sekolah karena mengikuti kepindahan tugas orang tuanya di lain kota.
Umumnya, hal ini dialami anak yang orang tuanya bekerja di instansi
pemerintah, aparat, atau perusahan swasta seperti kontraktor.
Biasanya anak tak punya pilihan, mau tak mau ia ikut pindah ke mana pun
orang tuanya ditempatkan. Ia pun harus beradaptasi kembali dari awal
dengan lingkungan baru, teman-teman sekolah baru, guru baru, hingga
suasana pembelajaran yang baru. Hal-hal inilah - di samping harus
meninggalkan teman-teman lama dan suasana pembelajaran di sekolah lama -
yang terutama memberatkan anak untuk pindah ke sekolah dan kota lain.
Pasalnya, terang Maria Herlina Limyati, Psi., anak di usia ini, waktunya
terbanyak dihabiskan di sekolah. Terlebih, jika dia termasuk anak yang
kurang pandai bergaul dan beradaptasi. Perasaan-perasaan tak enak,
stres, dan cemas pasti melandanya. "Itu wajar terjadi. Jangankan anak,
orang dewasa juga akan mengalami hal yang sama saat harus masuk dunia
kerja atau lingkungan kerja baru," papar psikolog dari Universitas
Kristen Krida Wacana ini.
Hanya saja pada anak, kalau dia tak bisa mengatasi perasaan tak enaknya
itu, bukan tak mungkin akan mengalami depresi. "Terutama bila ia harus
menghadapi hal tersebut sendirian, sementara ia tak kuat untuk
mengatasinya sendiri atau daya juangnya kurang." Kalau sudah seperti
itu, bisa saja pelajarannya menurun. Anak pun bisa menarik diri dari
lingkungan dan menjadi manusia yang sulit untuk bersosialisasi.
Itulah mengapa, kita tak bisa membiarkan anak berjuang sendirian. "Kita
harus beri ia semangat untuk mau dan berani bergabung dengan
teman-temannya yang baru." Sebab anak di usia ini belum bisa memahami
situasi secara menyeluruh. Paling tidak, dengan memberinya dukungan dan
semangat, anak yang tadinya tak merasa aman menjadi lebih siap untuk
berinteraksi dengan teman-teman kelas, guru, dan lingkungan sekolahnya.
Bukan berarti anak yang percaya dirinya tinggi bisa "dilepas" sendirian,
lo. "Tetap saja dia harus mendapat pendampingan dari orang tuanya saat
melakukan adaptasi dengan lingkungan baru. Sebab, namanya anak, bukan
tak mungkin dia malah dianggap terlalu percaya diri oleh teman-temannya.
Akibatnya, kan, malah dijauhi teman-temannya." Jadi, baik anak yang PD
maupun enggak, sama-sama harus diberikan pendampingan, ya, Bu-Pak!
 
Lamanya Adaptasi
Berapa lama anak bisa menyesuaikan diri di lingkungan baru, terang
Maria, sangat tergantung pada masing-masing anak. "Pada anak yang susah
bergaul dan beradaptasi, tentu cukup memakan waktu lama. Lain hal dengan
anak pemberani dan percaya dirinya tinggi, kemungkinan besar dia lebih
cepat berbaur dengan teman-teman di sekolahnya yang baru."
Untuk anak yang susah dalam penyesuaian diri, saat dia berada di sekolah
yang baru, ada kemungkinan anak akan lebih senang menyendiri dan menarik
diri dari lingkungan teman-temannya di sekolah. Malah bisa jadi ia akan
memilih tidak masuk sekolah. Untuk anak demikian, perlu kita bantu agar
bisa menyesuaikan diri di lingkungan barunya. Kalau tidak, bisa
berpengaruh ke prestasi belajarnya.
Walaupun, bisa juga dalam masa penyesuaian dirinya itu, teman-teman
barunya melihat kelebihan dirinya, misal, pintar, sehingga membantu si
anak untuk cepat bisa menyesuaikan diri di tempat barunya itu. "Karena
teman-teman di sekolah baru pun adakalanya mengajak si anak baru untuk
bergabung dengan mereka."
 
Siapkan Jauh-Jauh Hari
Menurut Maria, anak harus diberi tahu jauh-jauh hari sebelumnya akan
kepindahannya itu. "Nak, bulan depan kamu akan pindah sekolah, karena
Ayah pindah tugas ke luar kota," misalnya. Dengan pemberitahuan awal
ini, anak pun bisa melakukan antisipasi. Setidaknya anak tak terlalu
kaget saat tiba hari H, di mana ia harus pindah.
Anak pun harus diberi tahu mengenai suasana hingga kultur budaya atau
adat istiadat di tempat baru tersebut. Tujuannya, supaya anak punya
gambaran mengenai tempat baru yang akan ditempati. "Malah, perlu juga
diberi tahu mengenai kenapa ia harus pindah, di mana akan bersekolah
nantinya, juga seperti apa situasi anak-anak di sana."
Akan jauh lebih baik jika anak pun diajak melihat langsung keadaan
daerah tempat tinggal barunya. "Begitu pula untuk sekolah, jauh lebih
baik jika anak melakukan survei terlebih dahulu ke tempat dia akan
bersekolah."
Idealnya, anaklah yang memilih dan menentukan di mana ia akan
bersekolah. Namun, karena anak masih terbatas kemampuan dan
pengetahuannya, maka dalam memilih yang bagus di antara sekolah yang
ada, tetap orang tua yang mempertimbangkan dan memutuskannya.
"Jadi, orang tua memilihkan beberapa sekolah terbaik untuk anak, baru
kemudian tawarkan pada anak dan biarkan anak untuk melihat
sekolah-sekolah tersebut sendiri dan langsung." Selanjutnya, biarkan
anak menentukan sekolah yang dia mau atau yang dia rasa pas bagi
dirinya. Dengan demikian, anak akan lebih kerasan untuk sekolah.
Jika keadaan dan fasilitas di sekolah baru ternyata tak memuaskan anak
sehingga anak malah memilih untuk tak pindah sekolah, tentunya tak perlu
dituruti. Namun, anak harus diberi pengertian dan jawablah complain anak
dengan bijaksana. Umpamanya, "Nak, jika kamu belajar giat dan rajin,
kamu pasti tetap akan pintar dan menjadi anak yang maju, sekalipun
fasilitas di sekolah tak seperti sekolah lama. Lagi pula, kalau kamu
tetap ingin sekolah di sekolah lama, dengan siapa kamu akan tinggal?
Kan, Ayah dan Bunda sekarang sudah di sini semua."
 
Adaptasi Di Lingkungan Rumah
Bukan hanya di sekolah, di sekitar rumah pun anak harus bisa
menyesuaikan diri. "Seperti halnya penyesuaian di sekolah, anak pun
harus mendapat dukungan dan pendampingan dari orang tua," bilang Maria.
Kalau tidak, bukan tak mungkin anak akan lebih senang bermain dan diam
di rumah alias jadi kuper (kurang pergaulan, Red.).
Karena itulah, saat kita berkenalan dengan para tetangga, jangan lupa
mengajak anak. Terlebih bila si tetangga punya anak seusianya. "Kalau
sudah dikenalkan begitu, biasanya anak lama-lama akan menjalin hubungan
pertemanan." Terlebih di usia sekolah ini anak sedang senang berteman.
"Jadi anak sudah mempunyai dorongan alamiah untuk selalu berteman dan
ingin punya teman, di mana pun dan kapan pun."
 
Gazali Solahuddin
 
"DUH, PINDAH LAGI, PINDAH LAGI!"
Kalau anak harus ikut orang tua pindah-pindah kota dalam rangka tugas,
apa yang harus dipersiapkan agar dampak negatifnya bisa diminimalkan?
Tak pernah terbayang dalam benak Ade, sebut saja begitu, kalau ia harus
menyelesaikan jenjang pendidikan SD-nya di empat kota berbeda: Medan,
Salatiga, Lombok, dan terakhir Bandung. Itu semua merupakan konsekuensi
sebagai anak tentara yang mengharuskan ayahnya berpindah-pindah tugas
dari satu kota ke kota lain. "Sebenarnya terpikir juga untuk menitipkan
Ade di rumah neneknya di Jakarta. Paling tidak sampai dia tamat SD, tapi
mau gimana lagi habis Ade enggak mau pisah sama kami, ayah-ibunya sih,"
tutur sang ibu.
Tak hanya Ade yang mengalami "nasib" seperti itu. Banyak juga anak PNS
(Pegawai Negeri Sipil), seperti dokter dan profesi lain yang
mengharuskannya berpindah-pindah kota mengikuti penempatan dinas orang
tua mereka. Adakah dampaknya bagi anak? "Tentu saja ada. Untuk anak-anak
yang pada dasarnya sulit beradaptasi, berpindah-pindah kota akan
membuatnya merasa lebih sulit lagi menjalani masa kanak-kanaknya," jawab
Yanesthi Hardini, S.Psi.
Dampak lain yang dirasakan adalah munculnya rasa cemas dan tidak aman.
"Apalagi kalau orang tua tidak mencoba memahami apa yang dirasakan anak,
dampaknya bisa lebih parah, seperti anak jadi kurang percaya diri dan
sebagainya," lanjut Yanesthi.
Selain itu, hubungan pertemanan yang hanya terjalin relatif singkat akan
membuat anak tak mampu meresapi arti persahabatan. "Bukan tidak mungkin
dalam jangka panjang anak akan enggan membina persahabatan. Soalnya ia
berpikir toh sebentar lagi akan kehilangan sahabatnya karena akhirnya
harus pindah kota."
Kualitas sekolah yang tidak sama, bobot materi pelajaran yang mungkin
berbeda antara sekolah dulu dengan sekarang sedikit banyak juga akan
mengganggu prestasi belajarnya. Contohnya bila sebelumnya anak
bersekolah di sekolah yang lebih bagus dan materi pelajaran yang
diterimanya lebih cepat, besar kemungkinan di sekolahnya sekarang ia
jadi malas. Sebaliknya, kalau sekolah barunya lebih bagus mutunya dan
pelajaran yang diterimanya jauh lebih sulit, si anak pasti akan
keteteran.
ADA UNTUNGNYA JUGA
Tentu saja bukan cuma dampak negatif yang diterima anak akibat sering
pindah kota. Dampak positifnya juga ada. Yang jelas, papar Yanesthi,
anak akan menguasai beberapa bahasa daerah dan memahami beragam adat
serta budaya lebih banyak dibanding anak yang tidak pernah pindah kota
sama sekali. Selain itu, wawasan dan pengetahuan umumnya pun lebih
berpotensi untuk berkembang karena lebih banyak hal yang bisa ia
saksikan dan alami secara langsung.
Yang juga patut diingat, beberapa hal yang bagi anak tertentu berdampak
negatif bisa memberi dampak positif pada anak yang lain. Contohnya, anak
bisa punya banyak kenalan dan teman, serta berkesempatan terus menjalin
korespondensi dengan mereka yang tinggal di kota terdahulu. Untuk anak
yang ekstrover dan punya kemampuan adaptasi yang baik, hal ini jelas
sangat menguntungkan.
ANTISIPASI PENOLAKAN
Satu hal yang ditekankan Yanesthi, orang tua sebaiknya terbuka pada
anak. Caranya dengan menyampaikan rencana kepindahan tersebut jauh-jauh
hari sebelumnya. "Berikan pemahaman sesuai usianya mengapa keluarganya
harus berpindah-pindah," ujar Yanesthi mengingatkan. Gunanya adalah
sebagai langkah antisipatif, sebab tidak tertutup kemungkinan anak
menolak, marah, atau sedih. Nah, dengan banyaknya waktu yang tersisa,
orang tua masih bisa mengupayakan berbagai cara kalau sampai muncul
reaksi negatif dari anak.
Langkah berikut, libatkan anak dalam persiapan pindah dengan cara yang
menyenangkan. Misalnya tugas mengepak barang dilakukan bersama dan
dikemas menjadi permainan yang menarik. Yanesthi menyontohkan untuk
membuat gulungan kertas seperti kocokan arisan yang isinya adalah tugas
bagi anak. Tentu saja pilihan tugas yang ada harus sesuai dengan
kemampuan anak, seperti memasukkan pakaian ke dalam koper atau
membereskan koleksinya. Melibatkan anak sejak awal saat bebenah akan
membantunya menata hati sebelum hari "H" tiba.
SESAMPAI DI KOTA BARU
Berikut beberapa hal yang disarankan Yanesthi:
* "Berkenalan" dengan rumah barunya
Sesampai di rumah baru, kembali libatkan anak untuk menata sendiri
kamarnya dan membantu membereskan rumah. Tentu saja aktivitas ini
dilakukan dengan cara yang menyenangkan seperti yang sudah dicontohkan
di atas. Dengan mendapat kepercayaan mengatur kamarnya sendiri,
diharapkan anak segera merasa betah dengan rumah barunya.
* Berkenalan dengan tetangga baru
Ajak anak untuk berkenalan dengan tetangga kiri-kanan. Upaya ini akan
lebih mudah kalau ada teman sebaya di sekitar tempat tinggal yang baru.
Kalaupun tidak ada, orang tua bisa menyiasatinya dengan mengikutkan anak
pada kegiatan yang disukainya di tempat baru tersebut. Contohnya, jika
anak hobi menggambar, orang tua bisa mendaftarkannya ke kursus
menggambar di kota yang baru. Dengan begitu anak akan segera menemukan
teman yang punya minat sama dengannya.
* Berkenalan dengan sekolah baru
Hari pertama masuk sekolah baru merupakan saat-saat yang cukup berat
bagi anak. Untuk menghindari hal-hal yang dapat memperparah keadaan,
mintalah anak datang lebih awal. Orang tua juga amat disarankan untuk
menemaninya berkenalan dengan lingkungan dan anak-anak di sekolah
barunya, semisal di mana letak kamar mandinya, kantin, perpustakaan,
tempat ibadah, dan sebagainya. Setelah itu kenalkan anak pada para guru
sekolah barunya.
Satu hal yang juga harus dipahami orang tua adalah bila prestasi belajar
anak menurun. Ini wajar terjadi sebab proses penyesuaian diri anak
dengan lingkungan barunya masih terus berlangsung. "Dampingi anak. Ajak
dialog apa yang menjadi kesulitan baginya di sekolah baru tersebut. Bila
memang pelajarannya lebih sulit, bantulah dengan mengikutkannya les
khusus untuk beberapa mata pelajaran yang tertinggal," anjur Yanesthi.
* Ajak menikmati kota
Mengajak anak menikmati kota bisa menjadi pengalaman pertama yang
menyenangkan. Misalnya anak yang sebelumnya tinggal jauh dari pantai dan
kebetulan kota tersebut terletak di pinggir pantai, maka jangan
sia-siakan kesempatan emas tersebut. Bukan tidak mungkin keindahan kota
barunya inilah yang akhirnya membuat si anak jadi betah.
 
TIP-TIP UNTUK ORANG TUA
* Bila anak cemas, takut, atau tidak nyaman dengan tempat tinggal dan
sekolah barunya, tunjukkan sikap bahwa kita memahaminya.
* Teruskan rutinitas keluarga yang selama ini sudah berlangsung.
Misalnya Minggu pagi joging bersama atau nonton VCD/DVD bareng setiap
akhir minggu dan sebagainya.
* Bila anak terlihat belum mampu beradaptasi, tunjukkan kesabaran kita
sambil memberinya dukungan.
* Orang tua harus jadi model yang baik. Anak akan merasa nyaman bila
orang tuanya juga terlihat nyaman di tempat barunya.
 
Marfuah Panji Astuti. Ilustrator: Pugoeh



[Non-text portions of this message have been removed]






=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




SPONSORED LINKS
Station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke