Hari Senin pagi 5 Februari 2007, perjalanan dari Lebak Bulus ke
kawasan Blok M relatif lebih lancar daripada biasanya. Mungkin karena
sebagian orang masih mendapat kesulitan untuk keluar rumah menuju
kantor, akibat banjir besar yang melanda Jakarta sejak hari Kamis yang
lalu.

Biasanya, saya berangkat dari rumah ke kantor melalui jalan Tebah, di
belakang Pasar Mayestik lalu masuk ke jl Bumi dan Jalan Kerinci lalu
keluar di Jalan Pakubuwono VI. Namun pagi ini, saya sengaja melintasi
jalan Pati Unus untuk berbelok ke arah Jl. Paukubuwono VI karena ingin
membeli pisang terlebih dahulu.

Di depan rumah makan Warung Daun ada penjaja pisang barangan. Di
situlah saya biasa membeli pisang setiap minggu. Perempuan penjajanya
sudah tahu bahwa saya akan membeli 3 sisir pisang. Satu sisir matang
dan 2 sisir lainnya mengkal atau terkadang masih kehijauan. begitu
juga rencananya pagi ini. Saat saya menghentikan mobil, dengan sigap
dia memilih-milih pisang dan menyodorkannya kepada saya. Saya
mengeluarkan uang selembar 50 ribu. Itulah lembaran yang ada di dalam
dompet di samping beberapa lebar ribuan di dalam kotak uang untuk
pembayar ongkos parker, yang tak cukup untuk membayar 3 sisir pisang.
Agak ragu perempuan itu menatap saya ;

"Ibu . apa bisa diberikan uang pas saja?" tanyanya.

Saya melihat isi dompet dan tas... ternyata sama sekali tidak ada.
Maklum awal bulan begini, isi dompet sedang sekarat. Kosong setelah
digunakan kewajiban rutin, dari belanja bulanan, membayar gaji
pembantu sampai dengan uang sekolah anak.

"Aduh maaf ... nggak ada uang pas...!"

"Saya tukar di warung dulu ya bu..." pintanya, meminta kesediaan saya
menunggu. Saya melirik di sekitar jalan raya tersebut. Tidak ada
warung sama sekali. Tentu saya harus menunggunya agak lama, sampai dia
kembali dengan uang tukarannya. Dan saya merasa enggan menunggunya.
Apalagi jalan Pakubuwono VI di pagi hari cukup ramai.

"Kalau nggak ada kembalinya, saya ambil dua sisir saja ya ... saya
punya uang kecil untuk itu...", usul saya menutupi keengganan
menunggunya mencari tukaran uang. Cepat saya hitung uang receh di
mobil yang terdiri dari uang kertas dan koin. Semuanya berjumlah enam
belas ribu. Masih kurang dua ribu.

"Nah... lihat deh, uang saya nggak cukup. Saya ambil dua sisir saja ya..."

"Jangan bu .... , ambil saja semuanya. Ibu kan besok lewat lagi, jadi
besok saja bayar kekurangannya! " begitu katanya, seraya mengembalikan
lembar uang 50 ribu kepada saya.

"Aduh ... saya belum tentu lewat sini lagi lho besok. Jadi biar saya
ambil 2 sisir saja. Saya bisa mampir kapan-kapan kesini."

"Nggak apa-apa bu ... kapan ibu lewat saja, bayarnya.... ..", sahutnya.

Saya mengambil lembaran uang tersebut dan segera berlalu darinya. Di
belakang sudah banyak mobil menunggu.

Tiba di kantor, sambil menunggu komputer menyala baru saya sadari,
betapa lugu dan naifnya penjaja pisang itu. Dia rela mengambil resiko
"kehilangan" keuntungan sebesar dua ribu rupiah. Bayangkan seandainya
saya tidak lagi lewat tempatnya berjualan. Dua ribu memang kecil
nilainya dibandingkan dengan pengembalian uang sebesar 32 ribu yang
harus diberikannya kepada saya. Tetapi saya yakin, uang dua ribu itu
begitu besar artinya bagi seorang penjaja pisang di pinggir jalan. Toh
dia rela dan ikhlas "kehilangan" sementara uang tersebut dan begitu
mempercayai saya, perempuan yang kebetulan secara rutin membeli
dagangannya. Sementara saya, tidak ikhlas menunggunya menukarkan uang
atau bersikap seperti yang dilakukannya Apalah susahnya mengatakan ....

"Ambil saja dulu uang itu. Besok saya lewat lagi dan kembalikan saja
uang saya, besok"

Ternyata saya sama sekali tidak memiliki keikhlasan dan kepercayaan
kepadanya seperti apa yang diperlihatkannya kepada saya. Malu rasanya
menyadari hal itu. Padahal dulu, sebelum pindah ke Lebak Bulus, saya
selalu mempercayai penjaja sayur yang biasa datang ke rumah atau
pembantu rumah. Setiap hari, saya selalu meletakkan uang di kotak yang
tersimpan di atas lemari es, untuk belanja sehari-hari, yaitu sayuran
dan bumbu dapur serta ongkos transport Muslimin ke sekolah. Tanpa
sekalipun meminta rincian pengeluaran. Saya mempercayai mereka
sepenuhnya. Kalau pembantu mengadu bahwa Muslimin mengambil uang lebih
dari jatahnya, saya dengan enteng berkata :

"Biar saja... uang itu tidak akan membuat Muslimin menjadi kaya raya
mendadak atau saya menjadi jatuh miskin. Yang pasti, orang yang
mengambilnya tidak akan mendapat berkah Allah SWT"

Sekarang, saat tinggal di Lebak Bulus, saya menitipkan uang belanja
sayuran kepada ibu saya. Entah bagaimana beliau mengurusnya. Saya
tidak lagi menaruh uang di atas kulkas untuk belanja. Mungkinkah
karena hal kecil itu saya menjadi kehilangan sensitifitas untuk
mempercayai orang kecil? Astaghfirullah ... betapa picik dan
sombongnya saya.... Ampun Tuhan..... Sungguh saya menyesal hari ini...
saya sudah terjerat pada fenomena low trust society .... tidak
memberikan kepercayaan kepada lingkungan sekitar. Selalu memandang
curiga kepada orang lain.

Besok saya harus lewat dan membayar kekurangan uang itu. Dua ribu yang
relatif tidak bernilai buat saya, tapi betul-betul sudah membuat
martabat saya "terjerembab" ke dasar jurang... Sungguh saya malu...
selama ini saya selalu berpegang teguh untuk selalu menjaga martabat
diri. Selalu berusaha untuk tidak berlaku dzalim atau mencurangi orang
lain. Ternyata apa yang saya lakukan masih sebatas artificial yang
dengan sangat mudah dipatahkan oleh perempuan sederhana itu....

Kalaupun esok[1] saya ikhlas memberikan uang lebih besar daripada uang
yang harus saya kembalikan, tetapi saya merasa yakin bahwa keikhlasan
itu tidak lagi bernilai dimata Allah SWT. Saya sudah kehilangan
momentum yang baik untuk meraih "nilai positif" di mata Allah SWT.
Pada hari ini, saya sudah menampik kesempatan untuk meraih pahala dan
berkah Allah. Sungguh, kesempatan itu selalu datang dalam bentuk dan
pada waktu yang sama sekali
tak terduga.

Ampuni saya ya Allah.... Jadikan hal tersebut yang pertama dan
terakhir. Sungguh, berikan saya kesempatan untuk selalu menjadi
golongan orang-orang yang senantiasa rendah hati dan ikhlas serta
dijauhkan dari kesombongan. Amien....!



[1] Hari ini, selasa, saya lewat Jl Pakubuwono dan berniat melunasi
hutang saya. Seperti yang saya takuti sejak semalam, perempuan penjaja
pisang itu tak terlihat. Dia tidak menggelar dagangannya. Duh . Itulah
akibat dari "menampik kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk
memperoleh pahala dan berkah.

** cerita hati nurani seorang sahabat

E-Shop VCD Belajar Hypnosis dan NLP -->
http://pengobatan-alternatif.blogspot.com
Milis Yg Ngebahas Pengobatan Medis dan Alternatif -->
http://grops.yahoo.com/group/pengobatan-alternatif


Kirim email ke