Memaafkan?

oleh Samuel Mulia, Penulis mode dan gaya hidup

 

Dalam agenda hidup saya, kata ini lama sekali tak pernah ada. 

Kala pertama saya hendak memaafkan dengan sungguh- sungguh, susahnya luar
biasa.

 

Ada saja yang menghalangi saya berani melakukan tindakan yang mudah
diucapkan 

dan sulit dilakukan itu, terutama untuk mereka yang pernah menyakiti hidup
saya, 

yang menggosipkan saya bahwa saya tukang gosip hanya karena saya mengucapkan


sesuatu dari mulut, sementara mereka yang menggosipkan saya membicarakan
orang di dalam hatinya.

 

Jadi, yang kelihatan menjadi tukang gosip saya dan mereka yang mengumpat di 

dalam hati tetap terlihat seperti malaikat.

 

Pipi kiri dan pipi kanan

 

Jadi, rencana mulia itu selalu tertunda-tunda, sampai belasan tahun lamanya.


Saat saya sudah merasa siap, ada saja pikiran yang tiba- tiba muncul yang 

mengatakan mengapa harus memaafkan, lha wong mereka memang salah kok, mereka


memang yang jahat pada saya, mereka ini dan mereka itu. 

Dan, rencana itu senantiasa kandas di tengah jalan.

 

Apalagi kalau mengingat kalimat dalam ajaran agama saya yang mengatakan, 

orang menampar pipi kirimu berikanlah juga pipi kananmu.

Wah... itu benar tak masuk akal untuk saya. Kalau orang mencium pipi kiri
saya, 

maka saya tak hanya akan memberikan pipi kanan saya, tetapi semua area di
tubuh saya.

 

Memberikan pipi untuk ditampar? Ya, mending saya tampar balik dan tak hanya 

kedua pipinya kalau bisa. Maka, memaafkan menjadi sebuah hal yang tak masuk
akal. 

Terutama meminjam alasan teman saya yang "bijaksana" yang senantiasa
mengatakan, 

"Yah. kita kan manusia biasa, sangat normal kalau kita punya banyak
kelemahan dan susah memaafkan."

 

Awalnya saya sangat menyetujui pikiran teman saya itu. Saya ini kan tak
sempurna, 

jadi normal kalau yang tak sempurna menghasilkan sesuatu yang tak sempurna,
bukan? 

Yang tak normal adalah bila yang tak sempurna mampu menghasilkan yang
sempurna.

 

Namun, dengan berjalannya waktu, setelah dipikir-pikir lagi, bagaimana teman


saya bisa mengatakan saya manusia yang punya banyak kelemahan, termasuk
lemah syahwat, 

tetapi memiliki kekuatan menghina, mengejek, dan menjelekkan orang?

 

Saya pikir kalimat yang kelihatan bijaksana dari mulut teman saya itu
hanyalah 

alasan untuk tidak memberi kesempatan kepada dirinya memanfaatkan kekuatan
yang ada 

pada dirinya sendiri. Atau mungkin ia tak bisa lagi melihat ia punya
kekuatan karena 

seringnya mengatakan manusia punya kelemahan. Dengan kata bijaksananya itu
ia seperti 

ingin mengajarkan saya untuk tetap tinggal dalam kelemahan itu.

 

Pemadam kebakaran

 

Mengapa saya senantiasa memilih dan merasa nyaman untuk berdiri dan
mengaminkan 

saya punya banyak kelemahan, tetapi tak mau -- bukan tak mampu--mencoba
memberanikan 

diri meloncat ke sisi di mana saya punya kekuatan. Kalau saya punya kekuatan
untuk 

menghina dan menyakiti orang, mengapa saya tak menggunakan kekuatan itu
untuk memaafkan 

kembali mereka yang telah membuat hidup saya bertahun lamanya seperti
neraka?

 

Coba Anda perhatikan kalimat terakhir yang saya tulis di atas.

Mereka yang telah membuat hidup saya seperti neraka. Sekali lagi, saya masih
memilih 

berdiri di sisi kelemahan saya sehingga saya bisa menuliskan bahwa yang
membuat hidup 

saya sengsara seperti neraka bertahun lamanya adalah mereka yang menyakiti
saya.

 

Mari coba meloncat dengan saya ke sisi kekuatan yang ada dalam diri saya.
Kalau saja 

saya bisa berdiri di sisi kekuatan saya, maka saya akan menulis, yang
membuat hidup saya 

sengsara seperti nereka tak lain adalah diri saya dan bukan mereka.

 

Namun, saya membiarkan diri saya terus berdiri di sisi kelemahan saya
sehingga neraka 

kebencian itu terus menyala-nyala bertahun lamanya. Selamatnya saya tak jadi
gosong karena 

terbakar amarah dan ketersinggungan.

 

Saya sekarang baru mau mencoba meloncat ke sisi kekuatan yang ada pada diri
saya karena 

pada sisi yang baru ini saya akan seperti tim pemadam kebakaran yang siap
meluncurkan air 

lewat pipanya yang besar dan dengan kekuatannya yang dahsyat sehingga api
yang membakar 

diharapkan bisa dikalahkan. Diharapkan, karena belasan tahun lalu kantor di
mana saya bekerja 

terbakar dan tim pemadam kebakaran datang dengan pipanya yang besar, tetapi
tak punya kekuatan 

sehingga air yang keluar seperti orang buang air kecil.

 

Jadi, bila air saya bisa keluar dengan deras, saya tak perlu terbakar begitu
lamanya. 

Karena air yang memadamkan akan memadamkan pikiran negatif saya dan saya
siap memaafkan.

 

Orang lain bisa saja menjadi pencetus kebakaran, tetapi saya yang harus
bertanya apakah 

saya ingin mempertahankan kebakaran itu atau tidak. Kalau tidak, maka
sayalah yang harus 

berperan sebagai pemadam kebakaran dengan mempersiapkan kekuatan agar airnya
tetap bisa 

kelewi (keluar maksudnya) secara maksimal.

 

Artinya, saya memang punya kelemahan, tetapi saya tak bisa hanya berhenti di
situ dan 

merasa nyaman dengan kelemahan itu. Saya punya kekuatan, saya harus mampu
berdiri di 

sisi yang positif ini. Dan satu hal yang akan saya ingat terus, saya ini
anggota pemadam kebakaran.

 

"Hmm. fireman? ABCD dong," kata teman saya. "Ai bo, cakep deh."

 

Kalah atau Menang

 

1. Kalau Anda memutuskan memaafkan siapa pun, baik itu musuh, lawan politik
Anda, 

atau orang yang menyakiti Anda, maka ingatlah, tindakan Anda itu adalah
tindakan mulia. 

Bukankah ketika tiba saatnya Anda harus menghadap Sang Pencipta, maka
tindakan mulialah 

yang diperlukan? Maka, jangan sampai ketika datang waktunya yang tak seorang
pun tahu itu 

dan Anda tak bisa membuat janji terlebih dahulu seperti kebiasaan Anda
membuat janji dengan 

dokter gigi langganan, Anda malah sedang naik pitam dan menyimpan dendam di
lemari hati Anda.

 

2. Memaafkan adalah bukan soal kalah dan menang. Memaafkan adalah soal
keberanian dan 

kemauan menjadi seorang pemadam kebakaran atau tidak. Kalaupun Anda kemudian
mampu 

menjadi pemadam kebakaran dan Anda merasa menang karenanya, itu pun bukan
berarti 

Anda menang atas musuh Anda, tetapi Anda memenangi pertandingan melawan
kekerasan hati Anda. 

Itu yang membuat bila Anda mampu memaafkan, maka Anda akan memiliki perasaan
yang luar biasa 

bak pemenang, bukan sebagai manusia kalah perang.

 

3. Suatu hari teman ibu saya bercerita suaminya mempunyai musuh bebuyutan
sejak mereka masih muda. 

Kebencian itu bahkan nyaris berakhir dengan bentrok fisik. Suatu hari,
setelah puluhan tahun 

dendam itu bersarang di hati keduanya, suami teman ibu saya itu menghadiri
sebuah acara perkawinan 

dan kebetulan musuh lamanya juga hadir di acara itu. Suami teman ibu saya
duduk bersama teman- 

temannya. Datanglah si musuh bebuyutan ini ke meja itu dan ia hanya
menyalami teman-teman lainnya 

dan tidak suami teman ibu saya itu.

 

Pada akhir acara, sebelum para undangan pamit pulang, suami teman ibu saya
itu memutuskan 

untuk meninggalkan acara itu terlebih dahulu. Setelah menyalami
teman-temannya dalam satu meja, 

ia mendatangi meja di mana musuh bebuyutannya itu duduk dan menyalaminya,
menanyakan kabarnya, 

kemudian pamit pulang. Nah, kalau Anda ada pada kondisi seperti itu, Anda
mau menjadi seperti 

suami teman ibu saya atau tetap menjadi si musuh bebuyutan?

 

4. Memaafkan sama sekali bukan sebuah tindakan yang sulit. Anda mau atau
tidak, itu masalahnya. ***

 

Sumber: Memaafkan? oleh Samuel Mulia, Penulis mode dan gaya hidup

 

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]


Kirim email ke