Sory gue tanggapi sedikit...
Saya pernah satu kali diskusi dengan seorang kapten angkatan darat, kebetulan 
beliau tahu sedikit ( mungkin lebih banyak tapi dirahasiakan karena bukan 
konsumsi sipil ) tentang kekuatan perang kita, dan akhirnya kita membahas 
tentang perang dengan negara2 tetangga.
 
" Sebelum tahun  1984 kalau kita dihadapkan dengan peperangan dengan negara 
tetangga,  kita pasti menang dalam hitungan paling lama 3 Bulan. ( Malaysia= 2 
bulan, australia= 3  bulan, singapura=1 bulan, vietnam = 3 bulan, thailand= 3 
bulan).bahkan katanya kalau 
Persekutuan negara2 jajahan inggris ( Malaysia, Australia, Singapura, Selandia 
Baru, dan Inggris sebagai Ketua ) bersatu, kita masih bisa kuasai paling tidak 
2-3 negara. Tapi setelah tahun 1984 semua hitungan itu naik 500%. karena 
kekuatan armada perang kita sudah mulai uzur (usang). ( Malaysia dalam hitungan 
tahun, singapura dalam itungan triwulan, dll)."

 
Nah makanya Seorang Soeharto pun sedikit ciut dengan fakta tersebut, apalagi 
kalau kita baca kompas minggu, 13 maret 2005 tentang kesepakatan dalam pakta 
inggris, yang isinya kalau salah satu dari 5 negara tersebut diserang, maka 
yang lainnya harus ikut membantu.
 
Dari peta kekuatan, Amerika pun takut kepada kita apabila, armada militer( 
pesawat, tank, kapal laut dll ) kita diperbaharui, terbukti dengan dibeli-nya 
Sukoi , Amerika langsung berbicara baik2 kepada Megawati waktu itu.
 
Oleh karena itu menurut saya, untuk mengembalikan harga diri bangsa, lebih baik 
kita perbaiki persenjataan kita dan berusaha membayar hutang2 negara kita. Satu 
usul saya yang cepat, kita beli dengan cepat 1 skuadron sukoi yang didatangkan 
paling lambat 1-2 bulan. Pasti mereka berpikir panjang bertempur dengan kita. 
 
Satu catatan: Angkatan Darat Kita termasuk salah satu yang ditakuti didunia.( 
Dengan catatan tambahan, kalau senjatanya seimbang)
THX
 
 
 

Handoko Cen <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Senin, 14 Maret 2005 

Terima Kasih Malaysia 

Oleh Riswandha Imawan

KETEGANGAN di wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia bisa menjadi
pengobat derita bangsa Indonesia. Kompleksitas nuansa krisisnya secara
efektif mampu "menampar" jati diri bangsa Indonesia. Ada arogansi negara
makmur ke negara melarat, ancaman imperialisme ekonomi, sampai ke kesempatan
untuk mengekspresikan "balas dendam" rakyat atas impitan masalah sosial,
ekonomi, dan politik selama ini. Namun, bila dikelola secara tepat, krisis
ini bisa menjadi awal kebangkitan bangsa Indonesia.

Bila benar pernyataan Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Jubir Deplu) Marty
Natalegawa bahwa pelanggaran wilayah sudah sering dilakukan Malaysia meski
sudah diprotes berulang kali (Kompas, 27/2/2005), sampai mengirim pesawat
pengintai B200T Super King terbang 300 kaki pada jarak 1000 yard di lambung
kiri buritan KRI Wiratno, ini pelecehan terhadap harga diri bangsa
Indonesia. Seharusnya pesawat yang masuk wilayah udara kita sejauh enam mil
laut pada 3 Maret 2005 itu ditembak.

Namun, kita tidak bereaksi. Akibatnya, penghinaan lebih serius terjadi. Saat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau lokasi 8 Maret 2005, dua
kapal Malaysia-KD Paus dan KD Pari-mendekati posisi kapal Presiden pada
jarak dua mil laut (3,2 km). Sekali lagi, tidak ada reaksi apa pun atas
insiden ini.

Mengapa Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bereaksi? Bukankah tugas TNI
menjaga kedaulatan wilayah negara? Kita sedih bila mengingat ganasnya aparat
keamanan terhadap rakyat sendiri. Menghadapi demonstrasi, tanpa sungkan
mereka menghajar rakyat dengan pentungan dan tendangan. Bahkan, tidak jarang
main tembak.

Sungguh ironi, aparat keamanan hanya berani terhadap rakyatnya sendiri yang
justru harus mereka lindungi. Saat berhadapan dengan lawan nyata, yang
sepadan, yang merugikan kehidupan rakyat, keberingasan dan ketegasan mereka
hilang entah ke mana.

Rasanya kita perlu menggaungkan kembali pernyataan yang sering dikemukakan
Presiden SBY saat menjadi Danrem Pamungkas: In crucial things, unity. In
important things, diversity. In all things, dignity. Apa pun yang terjadi,
jangan sampai mengorbankan jati diri. Sayang, semangat ultraliberal, yang
diyakini elite pengendali negara ini, membuat kehilangan jati diri seolah
ongkos sepadan bagi upaya perbaikan ekonomi kita.

LOKUS masalahnya kian terbuka. Ada tiga perusahaan minyak raksasa beroperasi
di sana. Shell dan UNOCAL (AS) serta ENI (Italia). Menarik disimak, Shell
awalnya ingin masuk kawasan Ambalat melalui Indonesia. Setelah ditolak,
mereka masuk melalui Malaysia. Artinya, di sini ada persaingan para
kapitalis untuk mengeruk 700 juta sampai satu miliar barrel minyak dan 400
triliun kaki kubik gas yang ada di sana. Fakta ini mengkhawatirkan.
Jangan-jangan ketegangan yang terjadi adalah antara kekuatan ekonomi
kapitalis yang (selalu) enggan berhadapan secara langsung.

Terlepas dari spekulasi ini, kekayaan sumber daya alam ini amat dibutuhkan
Malaysia untuk memelihara tingkat kemakmuranya. Faktor inilah yang membuat
Malaysia seakan bisa mendiktekan kehendak kepada elite Indonesia yang hilang
jati dirinya. Simak saja. Para pemimpin kita enggan membawa masalah ini ke
Mahkamah Internasional, enggan pula berperang.

Mengapa? Karena kemampuan diplomasi kita amat rendah. Masih segar dalam
ingatan gagalnya diplomasi mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,
maupun Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita
enggan berperang karena embargo peralatan militer yang dilakukan AS membuat
kita tidak yakin memiliki cukup amunisi untuk bertempur dalam waktu lama.

Realita ini menunjukkan, betapa lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini.
Bahkan membuktikan bahwa keruntuhan nasionalisme terjadi pada para elite,
bukan rakyat seperti gambaran selama ini. Saat para elite tidak berani
bersikap, rakyat justru tegas menyatakan siap berkorban demi keutuhan
wilayah NKRI. Tanpa senjata, hanya berbekal ilmu bela diri, rakyat siap
membela tiap jengkal Tanah Air kita.

Meski ada elite yang tertawa melihat reaksi rakyat, karena mustahil melawan
senjata modern hanya dengan ilmu bela diri, namun sikap rakyat adalah sikap
patriot yang tidak rela harga diri bangsanya diinjak-injak. Justru mereka
yang menertawakan reaksi rakyat itu yang bisa disebut-maaf-"pelacur politik"
yang tidak paham makna nasionalisme.

Lagu sendu yang didendangkan anak rakyat, seolah tak mampu menembus relung
kesadaran para elite akan perlunya mempertahankan dan memperkokoh wawasan
jati diri bangsa Indonesia. Anak rakyat bernyanyi, "Hamparan kebun kelapa
sawit di Sumatera, menjanjikan bekal hari esok, namun sayang bukan kami
punya. Hutan yang lebat di Kalimantan dan Papua, di mana flora dan fauna
yang eksotik berada menghibur hati, tapi bukan kami punya. Laut yang luas,
kaya akan ikan dan minyak bumi yang melimpah, itu pun bukan kami punya. Lalu
apa yang tersisa bagi kami untuk menapaki hari-hari ke depan?"

TERIMA kasih Malaysia. Tindakan Anda menyatukan kesadaran bangsa Indonesia
yang terkoyak-koyak. Tatkala bangsa yang besar ini harus rela melihat anak
rakyatnya dicambuki, dikejar bak binatang liar. Saat anak bangsa datang ke
Malaysia dalam kemiskinan dan pulang dalam kemelaratan, ditimpa impitan
kehidupan yang kian keras mengikuti kenaikan harga BBM saat kembali dari
pengusiran. Tatkala aparat hanya berani memerangi rakyat sendiri. Maka
sadarlah kita, mengharap perubahan datang dari kalangan elite sama dengan
mengharap matahari terbit dari barat.

Temuan Prof Tadjudin Noer Effendi membuktikan, kekerasan sosial tidak
terjadi di saat negeri kita tepat di titik pusar krisis ekonomi, karena
kemampuan rakyat menciptakan lapangan kerja secara mandiri. Artinya, para
elite harus menyadari, pemerintahlah yang tergantung kepada rakyat, bukan
sebaliknya. Tetapi haruskah kesadaran ini datang setelah "ditampar"
Malaysia?

Negara jiran yang pernah demikian takut akan sikap ekspansionis Indonesia
karena mengenal konsep kekuasaan Mandala telah menggugah kesadaran bangsa
Indonesia akan pentingnya pembangunan ekonomi di daerah terpencil, khususnya
perbatasan dengan negara lain. Ketimpangan kemakmuran antara Jakarta dan
daerah, khususnya di perbatasan, mengisyaratkan rendahnya kemampuan
manajerial pemimpin mengurus negara.

Karena itu, di balik arogansinya menginjak-injak harga diri bangsa
Indonesia, Malaysia menyisakan pesan, "Indonesia bukan sekadar Jakarta".
Inilah titik tolak membangun Indonesia baru yang memiliki dignity.

Meski demikian, mengapa hal sepele ini harus datang dari Malaysia dengan
cara yang tidak kita sukai?

Riswandha Imawan Guru Besar Fisipol UGM










[Non-text portions of this message have been removed]



=========================
STOP PRESS: Members AKI di Friendster sudah mencapai 162 orang!!!
-------------------------
FYI: Join Milis AKI di www.Friendster.com, caranya tinggal add email address
[EMAIL PROTECTED] di bagian User Search. Anda bisa melihat profile
Members, biodata dan komentar2 dari teman2 mereka.
-------------------------
Setting Milis AKI :

Digest: [EMAIL PROTECTED]
Normal: [EMAIL PROTECTED]

Untuk meminta bantuan, pertanyaan, perkenalan email kirim ke:
[EMAIL PROTECTED]


Yahoo! Groups Links








-- 
www.ITCENTER.or.id - Komunitas Teknologi Informasi Indonesia 
Info, Gabung, Keluar, Mode Kirim : [EMAIL PROTECTED] 
::: Hapus bagian yang tidak perlu (footer, dst) saat reply! ::: 
## Forum: ITCENTER.or.id/forum ## Jobs: ITCENTER.or.id/jobs ## 


Yahoo! Groups Links








                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Mail - Helps protect you from nasty viruses.

[Non-text portions of this message have been removed]



-- 
www.ITCENTER.or.id - Komunitas Teknologi Informasi Indonesia 
Info, Gabung, Keluar, Mode Kirim : [EMAIL PROTECTED] 
::: Hapus bagian yang tidak perlu (footer, dst) saat reply! ::: 
## Forum: ITCENTER.or.id/forum ## Jobs: ITCENTER.or.id/jobs ## 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ITCENTER/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke