http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/6/7/o3.htm

Permasalahan Imunisasi Polio
Oleh Dr. Widodo Judarwanto, Sp.A.

DINAS Kesehatan DKI Jakarta telah mendata bayi berusia di bawah lima tahun (balita) untuk diimunisasi pada 31 Mei lalu dan 26 Juni 2005 mendatang. Jumlah balita itu mencapai 700 ribu orang. Tampaknya Departemen Kesehatan telah melakukan antisipasi dengan cepat untuk mencegah merebaknya kasus polio. Kegelisahan masyarakat Indonesia mungkin bukan hanya timbulnya kembali kasus polio, tetapi bagaimana cara pencegahan penyakit Poliomielitis dan akan banyak lagi pertanyaan tentang permasalahan imunisasi polio.



Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Departemen Kesehatan mengeluarkan rekomendasi pemberian imunisasi polio termasuk imunisasi yang diwajibkan atau masuk Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah diberikan sejak lahir sebanyak empat kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang usia 1 tahun, 5 tahun dan usia 15 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah.

Imunisasi untuk orang dewasa sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberikan tiga dosis berturut-turut OPV dua tetes dengan jarak 4-8 minggu. Semua orang dewasa seharusnya divaksinasi terhadap poliomielitis dan tidak boleh ada yang tertinggal. Dosis penguat untuk orang dewasa tidak diperlukan, kecuali mereka yang dalam risiko khusus, misalnya, bepergian ke daerah endemis poliomelitis atau saat terjadi epidemik, petugas-petugas kesehatan yang kemungkinan  mendapatkan kontak dengan kasus poliomielitis.

Dalam keadaan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) polio, maka dilakukan mopping up. Artinya, strategi untuk memberikan ulangan polio pada semua anak di bawah usia 5 tahun di daerah tersebut meskipun imunisasi sebelumnya telah lengkap. Vaksin polio terdiri atas dua jenis, yaitu Vaksin Virus Polio Oral (Oral Polio Vaccine = OPV) dan Vaksin Polio Inactivated (Inactived Poliomielitis Vaccine). 

Oral Polio Vaccine (OPV)

Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan  melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri atas virus polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak dua tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.

Virus dalam vaksin ini setelah diberikan dua tetes akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan memberikan perlindungan jangka panjang.

Virus polio ini dapat bertahan di tinja hingga enam minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran virus vaksin selama enam minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru diimunisasi harus menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.

Sehingga, bila ada seorang kontak di rumah yang dalam keadaan kondisi tubuh sedang turun, seperti pengobatan kortikosteroid (imunosupresan) atau pengobatan radiasi umum,  penyakit kanker atau keganasan yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (seperti limpoma, leucemia, penyakit hodgkin), anak dengan mekanisme imunologik terganggu misalnya hipogamaglobulinemia dan penderita infeksi HIV atau AIDS, sebaiknya menghindar dari bayi atau anak yang divaksinasi polio paling tidak selama enam minggu sesudahnya.

Anggota keluarga yang belum pernah diimunisasi polio atau belum lengkap imunisasinya dan mendapat kontak dengan anak yang mendapat vaksin OPV, sebaiknya ditawarkan imunisasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut.

Vaksin ini sangat stabil, namun sekali dibuka akan kehilangan potensi karena perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departemen Kesehatan menganjurkan bahwa vaksin polio yang telah dibuka botolnya pada akhir sesi imunisasi massal harus dibuang.

Vaksin OPV dapat disimpan beku. Apabila akan digunakan vaksin beku tersebut dapat dicairkan dengan cepat, dengan ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda sebagai indikatoir pH. 

Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)

Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)  belum banyak digunakan. IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun  diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah. Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid.

Selain itu, dalam jumlah sedikit terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin B. IPV harus disimpan pada suhu 2 - 8 derajat C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam empat kali berturut-turut dalam  jarak dua bulan.

Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV.  Demikian pula bila ada seorang kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk    menggunakan IPV.

Kejadian Ikutan pasca Imunisasi

Pada umumnya reaksi terhadap vaksin dapat berupa reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain berupa efek farmakologi, efek samping, interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi dan reaksi alergi. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur, teknik pelaksanaan dan faktor kebetulan.

Kejadian ikutan pascaimunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi. Kejadian ikutan pascaimunisasi polio memang jarang ditemukan. Setelah pemberian vaksinasi OPV sebagian kecil penerima akan mengalami gejala pusing-pusing, diare ringan dan sakit pada otot. Lebih jarang lagi, diperkirakan setiap 2,5 dosis OPV yang diberikan dapat mengalami kasus Paralitik Poliomielitis (Vaccine-Associated Paralytic Poliomyelitis atau VAPP). VAPP merupakan kejadian lumpuh layu akut (AFP) 4 - 40 hari setelah diberikan vaksin OPV dengan sekuele neurologis susulan yang mirip dengan polio setelah 60 hari. Sementara itu, kasus VAPP kontak terjadi ketika virus yang berasal dari vaksin OPV (VDPV) diekskresikan dan menyebar kepada anak-anak yang tidak diimunisasi atau anak-anak yang belum menerima OPV secara lengkap.

Kejadian ikutan pada janin belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat alasan mendesak misalnya bepergian ke daerah endemis poliomielitis. Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virus hidup lainnya, tetapi tidak boleh diberikan bersama vaksin tifoid oral. Bila BCG diberikan pada bayi, tidak perlu memperlambat pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi dengan cara replikasi dalam usus.

Di dalam vaksin polio OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimisin, streptomisin) namun hal ini tidak merupakan kontra indikasi kecuali pada anak yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan. Pascaimunisasi pada pemberian OPV sebaiknya secara cermat memperhatikan indikasi kontra penggunaan vaksin tersebut.

Penulis, dokter pada Rumah Sakit Bunda Jakarta

-------------------------------

Keadaan yang tidak boleh divaksinasi OPV

* Penyakit akut atau demam (suhu lebih 38,5 C)

* Muntah atau diare

* Sedang menerima pengobatan kortikosteroid (imunosupresan) dan pengobatan radiasi umum (termasuk kontak penerima)

* Penyakit kanker atau keganasan (termasuk kontak penerima) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (seperti limpoma, leucemia, penyakit hodgkin) dan anak dengan mekanisme imunologik yang terganggu misalnya hipogamaglobulinemia.

* Penderita infeksi HIV atau AIDS (termasuk kontak penerima)



Menurut Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan Committees on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatric (AAP)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke