Ass.Wr.Wb.
Berita dari Republika di bawah ini yang kemarin Sabtu Pak Djarot
sampaikan ke saya. Just for your info ...
 
Wass / Jaerony.-
 
 
----- Original Message -----
From: Ambon

REPUBLIKA
Jumat, 10 Juni 2005


Teror Bagi Gerakan Islam

Fahmi AP Pane
Pengamat Masalah Politik

Rangkaian operasi besar dan sangat rahasia kembali meletupkan satu teror kecil bagi aktifis dan gerakan Islam setelah sebuah ledakan berdaya rendah terjadi di halaman rumah Muhammad Iqbal atau Abu Jibril, 8 Juni 2005. Namun, menyangka bahwa korban dan organisasi Islam yang dipimpinnya, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebagai sasaran utama dan menganggapnya tidak terkait dengan perpolitikan domestik dan internasional rasanya kurang tepat.
Ironisnya, sebagaimana kasus-kasus teror lain selalu ada upaya mengaburkan jalan penyelidikan. Kelompok petualang telah dituding sebagai pelaku potensial. Barangkali, testimoni kunci beberapa tetangga korban ikut menyebabkan munculnya hal itu. Warga setempat menyatakan beberapa orang mengamati rumah korban dan masjid di sekitarnya sejak beberapa hari sebelum kejadian. Disinyalir mereka pengamat terlatih.

Harian Republika (9 Juni 2005) menulis, menurut warga penemuan barang-barang berbau militer di halaman rumah korban karena sang pemilik adalah pemasok barang militer. Yang lebih menguatkan adanya operasi sangat rahasia untuk target besar adalah berita di detik.com (9 Juni 2005) bahwa polisi memeriksa laptop (komputer jinjing), 300-an VCD, dan 30 kaset rekaman video korban. Keluarga korban sendiri protes atas operasi polisi itu. Perkembangan berikut, mungkin kasus ini dinyatakan terkait dengan Alqaidah serta terutama Dr Azahari dan Noordin Mohd Top. Padahal, Azahari diduga menjadi agen intelijen Inggris, Amerika Serikat, Malaysia dan mungkin juga di sini. Bagaimanapun, kemampuan merakit bom didapatnya setelah belajar di Inggris, sementara seorang kapten Angkatan Diraja Malaysia, Yazid Sufaat, terbukti terlibat dalam jaringan pengebom.

Pengalihan isu?
Namun, teror itu terlalu kecil untuk bisa menghentikan semangat dakwah seorang aktifis dan MMI. Sebab, kekuatan terbesar setiap pejuang Islam seharusnya bukan pada dirinya, melainkan akibat adanya keterikatan permanen mereka dengan Allah, dan kekuatan itu pula yang membuat umat Islam Indonesia berani berada di baris terdepan untuk memerdekakan dirinya dan menghadapi kaum komunis. Namun, pesan teror itu bisa sampai pada orang-orang dekatnya, termasuk pada tokoh-tokoh politik Indonesia yang dengan MMI mereka saling mendekati. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan beratnya medan dakwah bisa kendor, bahkan ketakutan berhubungan dengan aktifis MMI dan yang sepertinya. Apalagi, MMI pernah dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, yang begitu diinginkan Amerika Serikat (AS), Australia dan sekutunya dipersepsikan sebagai teroris dan narapidana abadi.

Sebenarnya, berbagai teror bom telah dikaitkan dengan upaya meredam kasus-kasus korupsi dan suap menyuap pejabat-pengusaha. Kasus bom Tentena 29 Mei misalnya, dianggap untuk mengalihkan perhatian publik dari proses penyelidikan kasus-kasus korupsi di sana yang kemudian dicoba dilekatkan dengan Wapres Jusuf Kalla. Meskipun sepintas tudingan itu masuk akal, namun rasanya itu terlalu gegabah bila dilakukan Jusuf. Beliau pasti paham rakyat tidak lagi selugu seperti era Orde Lama dan Orde Baru. Apalagi, rakyat telah belajar banyak bahwa berbagai teror dan konflik sejak jatuhnya Soeharto, dimana tidak ditemukan otak pelakunya, telah dianggap sebagai cara mengalihkan perhatian publik, atau membentuk memori umum tentang jahat tidaknya seseorang dan suatu gerakan politik. Juga akan terlalu mudah ketahuan karena walaupun Kalla mungkin telah mendalami ilmu rekayasa politik dan sosial selama berkiprah puluhan tahun di partai, termasuk paham bagaimana membangun relasi mutualistis dengan pejabat, namun itu tentu tanpa teror dan operasi sangat rahasia yang bersenjata.

Figur pemrakarsa dan pemimpin perundingan Malino I dan II yang sukses meredam konflik di Maluku dan Sulawesi Tengah itu memang sedang dihadang ujian berat. Tidak sedikit anggota keluarga dan orang dekatnya tersangkut kasus kredit macet di Bank Mandiri dan lain-lain. Namun, keadilan wajib ditegakkan karena seperti sabda Rasulullah SAW bahwa awal kehancuran suatu umat dan bangsa adalah bila mereka membiarkan kejahatan orang-orang besar, namun menerapkan hukum sangat ketat bagi rakyat kecil.

Namun, seberapapun beratnya masalah tadi, itu tidak bisa menutupi fakta bahwa beliau relatif dekat dengan Islam, setidaknya dalam ibadah dan hal-hal yang telah dipahami luas sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan, beliau pernah menegaskan ''tidak menentang penegakan syariat'' walau itu harus didalami kembali karena tergantung pada pemahaman seseorang soal Islam kaffah. Apalagi, ada pernyataan yang dipopulerkan bahwa keimanan dan syariat tidak tergantung bupati. Ini terkait dengan semangat penegakan syariat di Sulawesi Selatan, misalnya di Kabupaten Bulukumba, dan daerah-daerah lain.

Yang jelas, relasi Jusuf dengan aktifis dan organisasi Islam kian kuat, terlepas dari motivasinya. Itu begitu disorot, terutama oleh Barat dan pihak-pihak domestik yang tidak menyenanginya. Relasi itu kian kuat setelah terjadi tragedi gempa-tsunami Aceh, dimana banyak bantuan dikelola organisasi Islam, termasuk MMI. Radio Nederland (14 Januari 2005), misalnya, secara khusus menanyakan bantuan-bantuan Kalla untuk Aceh lewat MMI, dan jubir MMI mengakuinya bantuan itu cukup besar. Media massa Australia, seperti Sydney Morning Herald (8 Januari 2005) juga mengangkat pernyataan salah seorang pemimpin FPI (Front Pembela Islam) bahwa mereka beraudiensi dengan wapres dan KSAD (saat itu), serta selalu berkoordinasi dengan MMI, dan organisasi Islam lain semacam Hizbut Tahrir, dalam menghempang laju westernisasi di Aceh.

Agaknya, kesamaan visi dan perasaan tanggung jawab menjaga akidah umat dan negeri dari intervensi asing membuat wapres dan organisasi-organisasi Islam itu sepakat mengontrol lembaga-lembaga kristenisasi yang berkedok bantuan kemanusiaan, serta tentara asing dalam berkiprah di Aceh. Bahwa wapreslah yang menegaskan batas waktu tentara asing di Aceh selama tiga bulan, walau kemudian seperti diralat presiden. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun pihak domestik dan asing yang suka dengan pembatasan yang pertama kali dikemukakan wapres itu. Apalagi, eksistensi dan kiprah organisasi-organisasi Islam yang luar biasa dalam membantu saudara-saudara seimannya. Bahkan, MMI pun sempat ditertibkan dengan meminta mereka segera keluar dari kawasan Lanud Iskandar Muda, Aceh, meski saat itu tidak sedikit organisasi asing bermarkas di sana. Ada pihak-pihak yang merasa terancam organisasi-organisasi Islam itu, bahkan mencapnya sebagai teroris-teroris. Barangkali, kita masih ingat bahwa terhadap ketidakadilan itu kemana MMI ingin mengadu?

Multidimensi
Situasinya akan kian jelas bila kemudian muncul wacana bahwa teror ledakan untuk mengalihkan perhatian dari pengungkapan kasus korupsi di KPU, dimana sahabat wapres yang menjadi anggota KPU diperiksa pada hari kejadian peledakan di rumah Abu Jibril. Namun, agaknya berbagai teror dan rekayasa klandestine itu tidak cuma untuk melemahkan posisi seseorang dan memiliki tujuan multidimensi.

Posisi dan anggaran dinas intelijen memang ingin ditingkatkan, sementara pembahasan APBN-Perubahan 2005 sedang dilakukan. Tanggal 16 Agustus nanti presiden akan menyampaikan Pidato Kenegaraan sekaligus Nota Keuangan untuk pembahasan APBN 2006. Lembaga-lembaga intelijen sedang diperluas hingga ke daerah-daerah yang membuatnya kian mirip dengan situasi Orde Baru sebelum ICMI berdiri tahun 1990. Kasus bom Tentena juga menjadi alasan memasukkan tentara dalam day to day pemberantasan terorisme, tidak lagi porsi polisi semata.

Yang pasti, ada keinginan kuat menyukseskan program bantuan pendidikan dan pelatihan militer internasional (IMET), serta perluasan IMET (E-IMET). IMET dan E-IMET masih terganjal di parlemen AS, walau Presiden AS Bush sangat berkepentingan untuk itu. Kepentingan terbesar AS adalah menciptakan tentara-tentara yang berpikir dan merasakan segala sesuatu sesuai dengan prinsip hidup dan nilai-nilai AS. Ini ditegaskan Ketua Gabungan Kepala Staf AS Jenderal AU Richard Myers ketika berkunjung ke Uzbekistan, negara sekutu kunci AS di Asia Tengah. Situs Dephan AS (12 Agustus 2004) mengutip Myers yang menyatakan when I was in the Pacific in 1997, we had a very close relationship with the military leadership in Indonesia. Because of similar circumstances (to those surrounding Uzbekistan), we now have virtually no relationship. We don't know the next generation of officers. They've not been to the United States to be trained. They haven't seen the values of the United States.

Hingga kini, mereka terbukti cukup berhasil dalam bekerja sama dengan personil Polri. Agaknya, telah ada polisi-polisi yang bertindak dengan nilai-nilai dan pandangan politik America dan Australia, wakil sherif Amerika di Asia Pasifik. Bayangkan, dua kali teror terhadap KBRI di Australia dan sekali ke aparat hukum di Bali, tapi belum pernah ditegaskan bahwa itu terorisme, apalagi sampai memunculkan travel warning ke sana.

Sungguh, AS tidak berkepentingan agar serdadu dan polisi Indonesia, sebagaimana negeri-negeri Muslim lain, untuk menjadi tangguh sehingga mampu menjaga teritorial dan warga negaranya. Bila mereka menginginkan itu, maka sejak lama embargo senjata telah diangkat. Mereka pun akan bersedia menjual F-16 seri tercanggih, seperti yang mereka jual ke Singapura dan Israel. Mereka pun pasti mau mentransfer teknologi dan radar mata-mata agar sebagian wilayah timur dan tenggara Pulau Sumatera tidak lagi di bawah kekuasaan radar Singapura hingga pesawat-pesawat TNI AU harus minta izin dulu ke negeri pulau itu bila ingin terbang dari home base di Pekanbaru ke Bangka Belitung dan sekitarnya. Mereka pun pasti enggan mencampuri proses peradilan di Indonesia.

Namun, masalahnya menjadi berbeda ketika mereka melihat ada penghalang kristenisasi, westernisasi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, serta sekularisasi Indonesia. Barat pasti paham bahwa hanya Islam dan para pejuangnya yang bisa menghambat mereka, serta tokoh-tokoh yang dekat dengannya, apalagi menoleransi meluasnya pengaruh agama Allah itu, padahal mereka harapkan ikut menjadi agen-agen mereka.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke