Sabtu, 10 Februari 2007

Meladeni Musibah 

Oleh : Ahmad Rifa'i 


Cara manusia meladeni musibah sangat beragam. Syaikh Utsaimin 
mengklasifikasikannya menjadi beberapa kelompok. Pertama, berkeluh kesah, baik 
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sikap pertama ini sangat merugikan 
pelakunya. Di satu sisi ia rugi karena keluh kesahnya sama sekali tak akan 
membawa manfaat, selain semakin menambah kesusahan. Yang kedua dan yang lebih 
berbahaya adalah keluh kesah itu mencerminkan ketidakridhaannya pada takdir 
Allah.

''Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. 
Maka, jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Dan jika ia 
ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan 
di akhirat yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.'' (Al Hajj: 11)

Kedua adalah bersabar. Orang yang bersabar hakikatnya tidak menyukai musibah 
yang sedang menimpanya, tapi ia tidak melampiaskannya. Ia menahan diri dari 
berkeluh kesah karena meyakini bahwa semua itu terjadi berdasarkan kehendak 
Allah. Dan di balik semua itu tersimpan mutiara hikmah yang tak ternilai 
harganya.

Ketiga adalah ridha. Tingkatan ini lebih tinggi daripada sebelumnya. Pada 
tingkatan ini seseorang melihat antara musibah dan kenikmatan sama saja. Sebab, 
keduanya merupakan takdir Allah yang sarat dengan hikmah dan kebaikan. Wajar 
jika ulama sekaliber Zainal Abidin (cucu Rasulullah) kadang kebingungan, mana 
yang harus lebih disyukuri antara musibah dan kenikmatan.

Yang keempat adalah bersyukur. Orang yang berada pada tingkatan ini melihat 
musibah sebagai anugrah. Ketika musibah menyambanginya ia merasa mendapatkan 
kenikmatan. Alur logikanya adalah karena melalui musibah itu ia bisa menghapus 
dosa dan mengais pahala.

Rasulullah bersabda, ''Tidaklah seorang mukmin ditimpa musibah dengan kesusahan 
dan kesulitan dan sesuatu yang lain kecuali Allah menghapus dosanya dengan 
musibah itu sampai pada duri yang menusuknya.'' (HR Bukhari dan Muslim). Dan 
inilah sebenarnya kenikmatan terbesar dalam hidup, yaitu ketika kita bisa 
menghapus dosa dan mengumpulkan pahala yang besar. Wallahu a'lam bish-shawab. 



Kirim email ke