----- Original Message ----- 
From: ARMAN (GMAIL) 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, September 27, 2007 8:39 AM
Subject: [Milis_Iqra] Aku Tidak Lebih Dulu ke Surga


Aku Tidak Lebih Dulu ke Surga    

 

Aku tidak tahu dimana berada. Meski sekian banyak manusia berada 
disekelilingku, namun aku tetap merasa sendiri dan ketakutan. Aku masih 
bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini, dan buat apa semua manusia 
dikumpulkan. Mungkinkah, ah . aku tidak mau mengira-ngira. 

Rasa takutku makin menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak pernah kukenal 
sebelumnya mendekati dan menjawab pertanyaan hatiku. "Inilah yang disebut 
Padang Mahsyar," suaranya begitu menggetarkan jiwaku. "Bagaimana ia bisa tahu 
pertanyaanku," batinku. Aku menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang 
mencari perlindungan dari seseorang yang kukenal. 

Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar kemilauan. Bersamaan 
dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, 
hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya 
selama hidup didunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, 
surgakah yang akan dinikmati atau adzab neraka yang siap menanti. 

Aku semakin takut. Namun ada debar dalam dadaku mengingat amal-amal baikku 
didunia. Mungkinkah aku tergolong orang-orang yang mendapat kasih-Nya atau 
jangan-jangan . 

Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang menguasai hari 
pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang 
mengatakan, bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia-manusia yang akan 
menemani Rasulullah SAW di surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada 
keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infaq 
yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu didunia aku dikenal sebagai juru 
dakwah. "Kalaulah banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku," 
pikirku mantap.

 

Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku 
ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan 
perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah Muhammad SAW 
sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah melalui Jibril, 
bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam surga sebelum Muhammad masuk. 
Setelah itu tersebutlah para Assabiquunal Awwaluun. Kulihat Fatimah Az Zahra 
dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai wanita pertama yang ke surga, 
diikuti para istri-istri dan keluarga rasul lainnya. 

Para nabi dan rasul Allah lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir dan 
Sumayyah berjalan tenang dengan predikat Syahid dan syahidah pertama dalam 
Islam. Juga para sahabat lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul 
itu dengan bangga melangkah ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya. Yang 
aku tahu, salah satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah 
melihat wajah Allah. Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah 
bersyukur mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang 
bersama Muhammad menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin 
terdahulu dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah. 

Sementara itu, dadaku berdegub keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu 
melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati 
kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan 
tangannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Ya Allah, mereka anak-anak 
yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu 
menangis kelaparan dimalam hari sementara sering kubuang sebagian makanan yang 
tak habis kumakan. 

"Subhanallah, itu si Parmin tukang mie dekat kantorku," aku terperangah 
melihatnya melenggang ke surga. Parmin, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu 
pernah bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia kririmkan untuk ibu 
dan biaya sekolah empat adiknya. Parmin yang rajin sholat itu, rela berpuasa 
berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba, 
orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, "Parmin yang tukang mie itu 
lebih baik dimata Allah. Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain." Sementara 
aku, semua hasil keringatku semata untuk keperluanku. 

Lalu berturut-turut lewat didepan mataku, mbok Darmi penjual pecel yang 
kehadirannya selalu kutolak, pengemis yang setiap hari lewat depan rumah dan 
selalu mendapatkan kata "maaf" dari bibirku dibalik pagar tinggi rumahku. Orang 
disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak 
kulontarkan, "Mereka ihklas, tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian 
meski kau tolak." 

Masya Allah . murid-murid pengajian yang aku bina, mereka mendahuluiku ke 
surga. Setelah itu, berbondong-bondong jama'ah masjid-masjid tempat biasa aku 
berceramah. "Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau, 
terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan. Padahal, lebih banyak yang 
bisa dipelajari dengan mendengar dari pada berbicara," jelasnya lagi. 

Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan 
itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi sejauh ini, 
belum juga namaku terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu Allah 
dan berkata, "Ya Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah, aku bershodaqoh, 
banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke surgaMu." 

Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin 
menolaknya. Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara. "Ibadahmu 
bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu mendapatkan surga Allah, 
shodaqohmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan 
keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas 
untuk orang lain, tidak untukmu," bergetar tubuhku mendengarnya. 

Anak-anak yatim, Parmin, mbok Darmi, pengemis tua, murid-murid pengajian, 
jama'ah masjid dan banyak lagi orang-orang yang sering kuanggap tidak lebih 
baik dariku, mereka lebih dulu ke surga Allah. Padahal, aku sering beranggapan, 
surga adalah balasan yang pantas untukku atas dakwah yang kulakukan, infaq yang 
kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan perbuatan baik lainnya. Ternyata, aku tidak 
lebih tunduk dari pada mereka, tidak lebih ikhlas dalam beramal dari pada 
mereka, tidak lebih bersih hati dari pada mereka, sehingga aku tidak lebih dulu 
ke surga dari mereka. 

Jam dinding berdentang tiga kali. Aku tersentak bangun dan, astaghfirullah., 
ternyata Allah telah menasihatiku lewat mimpi malam ini.


Kirim email ke