Kalo boleh kasih masukan sedikit, bagaimana jika
dari pihak Ar-Royyan mengusulkan kepada pengurus RW untuk mengadakan dana sosial
kematian bagi warga. Dana ini nantinya digunakan dari mulai pengurusan jenasah +
pengurusan pemakaman. Saya rasa dana ini sangat membantu sekali + meringankan bagi
warga yang mengalami musibah kematian (tanpa memandang status orang tsb berada
atau tidak semua sama)
Kisaran dana kematian sekitar Rp.1000an per KK
misalnya, dan dana ini dikelola oleh RW dengan perpanjangan tangan RT tentunya.
Dengan adanya Dana sosial kematian ini mudah mudahan
tidak terjadi lagi kejadian khaerunisa2x lain di perumahan BDB ini.
Salam,
-----Original
Message-----
From: IHB Jakarta - Jaeroni
Setyadhi [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, June 15, 2005
8:59 PM
To: jamaah@arroyyan.com
Subject: [Ar-Royyan-1655] Jakarta
dan Kematian Khaerunisa
Ass.Wr.Wb.
Siapa
yang harus menyantuni Khaerunisa-khaerunisa yang lain ...........?
Wass /
Jaerony.-
-----
Original Message -----
MEDIA INDONESIA
Kamis, 16 Juni 2005
Jakarta dan Kematian Khaerunisa
Endang Srihadi, peneliti The Indonesian Institute, Jakarta
'Air mata bercucuran peluh terus bersimbahan. Ayah dan abangmu akan mencari
kuburan tapi tak akan ada kafan untukmu. Tak akan ada kendaraan pengangkut
jenazah hanya matahari mengikuti memanggang luka yang semakin perih tanpa
seorang pun peduli. Aku pun bertanya sambil berteriak pada diri benarkah ini
terjadi di negeri kami'? (Dikutip dari puisi Kisah dari Negeri yang Menggigil
untuk adinda Khaerunisa karya penyair cilik Abdurahman Faiz)
Faiz dan kita memang tidak sedang bermimpi. Kisah pilu yang mengilhaminya
menulis puisi tersebut terjadi pada Minggu 5 Juni 2005 lalu. Supriyono, seorang
pemulung, harus menggendong jenazah Khaerunisa (putrinya yang berusia tiga
tahun) menumpang kereta rel listrik jurusan Jakarta - Bogor karena tak mampu
sewa mobil jenazah. Dia berniat memakamkan jenazah putrinya di Bogor karena
tidak mampu membayar biaya pemakaman umum di Jakarta. Ketiadaan biaya untuk
berobat di rumah sakit pula yang menyebabkan nyawa putrinya tidak
terselamatkan.
Meskipun niat Supriyono akhirnya diurungkan, dan berkat bantuan warga
jenazah putrinya dapat dimakamkan dengan layak, kisah ini kembali menyibakkan
persoalan serius bahwa banyak rakyat miskin di negeri ini tidak memperoleh
manfaat maksimal dari pelaksanaan pembangunan.
Pembangunan, logikanya memiliki dua implikasi: terkadang menyejahterakan
rakyat dan terkadang sebaliknya. Problemnya, praktik pembangunan terutama di
negara dunia ketiga, lebih banyak menyengsarakan dan memiskinkan masyarakat
ketimbang menyejahterakan mereka. Problem ini dapat dipahami karena pembangunan
lebih dominan dimaknai sebagai proses mekanis belaka. Mesti dilakukan dengan
mengikuti langkah-langkah tertentu untuk mencapai target-target tertentu pula.
Potret rakyat miskin yang terpinggirkan karena proses pembangunan jelas
tampak dalam kisah Supriyono, dan berjuta rakyat miskin di negeri ini. Siapa
yang seharusnya memberi perlindungan sosial kepada mereka di saat roda
pembangunan terus menggilas?
Kebijakan perlindungan sosial negara ini tidak pernah tegas berpijak pada
pendekatan jaminan sosial yang mana. Dalam UUD 1945 disebutkan, "Fakir
miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara," seolah-olah negara ingin
mewujudkan welfare state. Kenyataannya, kisah Supriyono, rangkaian kasus bunuh
diri anak sekolah karena ketiadaan biaya pendidikan dan merebaknya kasus gizi
buruk menjadi bukti bahwa negara tak jua menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Di sisi lain, negara justru berkehendak agar masyarakat dan sektor swasta
lebih terlibat dalam jaminan sosial, berarti ada keinginan untuk mewujudkan
welfare pluralism. Hal ini tampak dalam prosesi pemakaman mendiang Khaerunisa
yang seluruh biayanya ditanggung oleh anggota masyarakat. Tidak tampak peran
negara di dalamnya.
Bagi pemerintah, jaminan sosial sebatas dimaknai pada perlindungan terhadap
sektor-sektor formal seperti jaminan sosial terhadap tenaga kerja, asuransi
sosial dan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), asuransi kecelakaan
penumpang dan lalu lintas dalam perjalanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(UU SJSN), konteks jaminan sosial masih sebatas pada jaminan kesehatan,
kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Padahal, dalam wacana
tentang perlindungan sosial kontemporer semakin meluas mencakup isu di sekitar
perlindungan terhadap sektor informal perkotaan, pendidikan, penyediaan air
bersih dan sehat, serta perumahan.
UU SJSN ini menjelaskan bahwa program jaminan sosial dijalankan berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan pesertanya adalah setiap orang (pekerja formal)
yang telah membayar iuran. Karena itu, setiap pemberi kerja wajib memungut
iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan
membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Askes,
Jamsostek, Taspen, Asabri, dan lain-lain) secara berkala.
Dalam hal kepesertaan umum bagi rakyat miskin, pemerintah berkewajiban
membayar iurannya. Dalam Pasal 17 disebutkan bahwa iuran program jaminan sosial
bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah.
Konsekuensinya, sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah untuk mendanai
iuran rakyat miskin. Belum lagi, manfaat yang diperoleh rakyat miskin sebatas
untuk program jaminan kesehatan. Itu pun harus melalui prosedur administratif
yang lumayan merumitkan.
Melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM bidang kesehatan yang
diintegrasikan menjadi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin
(JPKMM) pemerintah menjanjikan bahwa semua rakyat miskin akan memperoleh
layanan kesehatan gratis di puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Untuk
memperoleh manfaat program ini, setiap rakyat miskin harus tercatat sebagai
peserta program dan terdaftar sebagai penduduk resmi yang ditandai dengan
memiliki kartu tanda penduduk. Masalahnya, aparat di tingkat lokal memiliki
kesulitan dalam menentukan warganya yang miskin karena belum ada indikator
kemiskinan yang baku. Belum lagi, banyak individu miskin yang tidak tercatat
sebagai penduduk resmi di negeri ini.
Akhirnya, mereka yang bernasib seperti Supriyono yang hanya mampu tinggal
di jalan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap sangat memungkinkan tidak
tercakup sebagai peserta program. Ketidakberdayaan dalam mengakses informasi
seputar program perlindungan sosial yang menjadi hak rakyat miskin turut
melengkapi persoalan. Yang terjadi kemudian, ketika berupaya mengobati penyakit
anaknya, Supriyono tidak memenuhi persyaratan administrasi apa pun untuk
mengakses pelayanan kesehatan gratis.
Jika kita merefleksikan kembali kisah Supriyono, harus diakui bahwa
pemerintah gagal menyediakan perlindungan sosial bagi rakyatnya. Model jaminan
sosial yang diusung pemerintah sebatas dimaknai pada tataran formal dan tidak
mengedepankan nilai-nilai humanisme yang mampu mengalahkan batas-batas
prosedural administratif yang menjadi hambatan rakyat miskin untuk memperoleh
jaminan sosial.
Sejatinya, dengan mengutamakan nilai-nilai humanisme, kebijakan
perlindungan sosial yang ada harus menyentuh kelompok masyarakat termiskin dari
yang miskin. Karena bila rakyat termiskin seperti Supriyono tidak merasakan
manfaat kebijakan tersebut, maka efektivitas kebijakan dikatakan minimal dalam
hal pencapaian tujuannya.
Hal terpenting adalah bagaimana nilai-nilai humanisme terus melekat di
setiap individu negeri ini, terutama para perumus dan pelaksana kebijakan
publik. Selayaknya kita dapat belajar dari Abdurahman Faiz yang masih berusia
delapan tahun, namun telah mampu menunjukkan bagaimana nilai-nilai humanisme
tumbuh di hati setiap insan.***
[Non-text portions of this message have been removed]