Kabar Dari New York

"Jordie Rosenbaum, Putri Yahudi"
 
Sejak tragedi 9/11 banyak masyarakat AS memeluk Islam termasuk wanita
yahudi
Katherine adalah seorang Amerika keturunan Spanyol, ayahnya seorang
pengusaha dan aktivis Yahudi. Begitu pula mamanya. Tapi ia lebih memilih
Islam. 
 
Siang itu the Islamic Cultural Center of New York agak sepi. Beberapa
jamaah shalat zuhur sudah berdatangan, tapi adzan sendiri belum
dikumandangkan. Saya masih menanda tangani beberapa berkas perkawinan
untuk dikirimkan ke City Hall untuk mendapatkan "marriage certificate"
bagi pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan di Islamic Center.

 
Tiba-tiba telpon saya berdering dan di seberang sana ada suara
resesiionis menyampaikan bahwa ada seorang wanita yang ingin ketemu
dengan saya. "Who is she?", Tanya saya. "Probably she wants to know
about Islam," jawabnya singkat. 
 
"Let her sit in the conference room," pintaku.
 
Saya kemudian segera menyelesaikan menandatangani berkas-berkas
perkawinan itu, lalu menuju ruang rapat. Di sana sudah menunggu seorang
gadis yang masih relative muda berambut pirang. Nampak seperti asli
Eropa. Dengan ramah, saya mengucapkan "selamat siang!". "Morning sir!",
jawabnya singkat. Rupanya memang belum siang karena jam masih menujukkan
pukul 11:53 pagi.
 
"How are, and what I can do for you?", Tanya saya memulai percakapan
siang itu.
 
"Hi, I am sorry that I am coming without an appointment?", katanya
singkat.
 
"Oh no, not at all! You don't need to take an appointment to come to our
mosque," jawab saya.
 
Dia kemudian seperti menarik napas, memperkenalkan dirirnya "my name is
Jordie!". Dia kemudian bercerita panjang. Dia mulai mengatakan bahwa
orang tuanya adalah petinggi agama Yahudi di kota New York . "My father
is a businessman, and a board member of many Jewish congregation
institutions or synagogues" , katanya terus terang.
 
 
 

Sejak tragedi 9/11 banyak masyarakat AS memeluk Islam termasuk wanita
yahudi
Ibunya sendiri adalah seorang philanthropist, dan menurutnya menjadi
kontributor besar pada acara-acara pengumpulan dana komunitas Yahudi.
Juga anggota pada berbagai organisasi sosial dan wanita di kota New York
.
 
"And so, what makes coming here today?", pancingku.
 
Sekali lagi, dia bercerita panjang. Saya menangkap darinya bahwa dia
adalah seorang gadis "brilliant" dan pemberani. "I am a graduate student
at the NYU", and also a Jewish activist", katanya.
 
Dia menceritakan bagaimana kegiatannya di kampus, termasuk
kegiatan-kegiatannya dengan kelompok agama lain, termasuk dengan pelajar
Muslim. Salah satu yang selalu dia ingat adalah ketika kelompok
mahasiswa Yahudi dan Muslim melakukan kerjasama bakti sosial di New
Orleans setelah terjadi musibah badai Katherina ketika itu. "I really
enjoyed the accompany of my Muslim friends at that time", jelasnya.
 
"Are U still connected with your Muslim friends?" tanyaku.
 
"Yes, in fact I learned a lot from them about Islam", jawabnya.
 
"And so, who direct you to come to the Center?" tanyaku lagi.
 
Dia kemudian menjelaskan bahwa salah seorang teman kelasnya, sama-sama
mengambil sosiology, bernama Katherine. Saya bercanda, asal bukan
Katherine temannya "hurricane?" (badai).
 
Ternyata Katherine adalah seorang Amerika keturunan Spanyol, masih
non-Muslim dan saat ini belajar di Islamic Forum for non Muslims.
Setelah mereka berdua terlibat perbincangan tentang Islam, dan keduanya
banyak merasakan nilai positif dari agama ini, Katherine menganjurkan
kepadanya untuk menemui engkau. "She is a big fan of you", candanya.
 
"Oh no! I am just a regular guy, employed by this Center", kata saya.
 
Saya kemudian menanyakan beberapa hal tentang agamanya, Yahudi. Setiap
kali menyebutkan konsep-konsep ketuhanan, saya menimpali dengan
ayat-ayat Al Quran. "Really? That's amazing!", serunya.
 
Dia belum pernah membayangkan betapa Islam dan Yahudi hampir mirip dalam
konsep ketuhanan. Sehingga setiap kali ada poin yang dikemukakan
mengenai Tuhan, saya cuma membacakan ayat-ayat dari Al-Quran.
 
Saya katakan, Al-Quran itu salah satunya berfungsi sebagai "musoddiqan"
(untuk menegaskan kitab-kitab suci sebelumnya.
 
Setelah berputar-putar dengan berbagai konsep ketuhanan, kami kemudian
mendikusikan hubungan Ibrahim dengan kedua anaknya. Dalam benak dia,
memang Ishak itu memiliki status sebagai Nabi, tapi Ismail tidak
diangkat sebagai Nabi Tuhan. Diskusi cukup inten dan hangat, bahkan
sesekali terlibat perdebatan yang dalam.
 
Alhamdulillah, pada akhirnya setelah kita sama-sama merujuk ke Kitab
Suci tentang para Nabi, dia mengakui bahwa memang ada sikap "prejudice"
(curiga) dan diskriminatif dalam ajaran Yahudi. Bahwa yang mulia dalam
konsep Yahudi hanya satu kelompok manusia yang digelari "Israelis"
(Israelites). Manusia lain tidak terhormat, dan seharusnya menjadi
hamba-hamba Israel .
 
Tanpa terasa adzan zuhur dikumandangkan. Kami berhenti sejenak. Tapi
tiba-tiba Jordie nampak tersenyum dan mengatakan, "Jujur saja, Islam
adalah yang benar!", akunya.
 
"Saya sudah aktif di sinagog semenjak masih kecil, tetapi saya tidak
pernah melihat satupun orang berkulit non-putih datang ke sinagog,
jelasnya".
 
"If Judaism is really God's religion, why it has to discriminate people
on the basis of races?", tanyanya.
 
Tanpa terasa, Jordie mempertanyakan berbagai hal mengenai agamnya.
 
"Jordie, how do you see the Prophets of God?" tanyaku.
 
"They must be the best people to receive and convey the revelation. Not
only to convey, but they themselves lived by the revelation", jelasnya.
 
Saya kemudian menjelaskan berbagai tuduhan Taurah terhadap Nabi-nabi
Allah, termasuk Daud, Sulaeman, dll. Saya katakana, dalam Al-Quran tidak
satupun Nabi dikisahkan dengan kisah-kisah yang menyakitkan. Justeru
para nabi itu adalah orang-orang yang berjuang untuk meluruskan prilaku
manusia. "Is it rational that the Prophet David slept with his
neighbor's wife, and plotted to kill him?", tanyaku.
 
"Of course, not", jawabnya.
 
"But Sister, it is there in Torah!", jelasku.
 
Sejenak, nampak Jordie diam, memandang ke saya seperti terheran-heran.
 
"So, what do you think?", tanyaku.
 
"Wow, I read those, but never realized that it's so bad!" akunya.
 
Saya kemudian menjelaskan bahwa memang terkadang kita membaca Kitab Suci
kita dan "we take it for granted". Seolah semua sudah diterima begitu
saja, dan tidak ada lagi keinginan untuk menyelami dan memahaminya.
Selain karena sudah diterima sebagai "keyakinan" dan sudah menjadi
"dogma", juga karena keberagamaan kita bersifat turunan.
 
Jordie terdiam. Tiba-tiba saja dia angkat kepala dan tersenyum "Wow, I
really did not realized that I have been trapped in that" (ikut
membuta).
 
"So what do you think about Islam?" saya memancing kembali.
 
Dengan sedikit pelan dia mengatakan "I think this is the true religion".
Kali ini sepertinya dia tidak seagresif sebelumnya.
 
"Jordie, can I ask you something?" tanyaku.
 
"We are in the winter. You know what kind of cloth we need. If you have
only on you, and in front of you a thick jacket, will you stay frozen or
will you take the jacket to cover your self?", tanyaku.
 
"Of course I must take the jacket", jawabnya singkat.
 
"I know you have your religion. But your religion does not fit to save
you, Jordie. Here Islam, the religion you believe as the true religion
is to save you. Would you like to take it?", tanyaku.
 
Dengan sedikit pelan, nampak agak ragu, tapi kemudian dengan tegas
mengatakan "yes". 
 
Alhamdulillah! Tanpa saya sadari saya ucapkan itu. Rupanya Jordie juga
sudah tahu betul tradisi itu.
 
Saya meminta agar Jordie berwudhu. Ditemani oleh seorang jamaah wanita
Jordie mengambil wudhu, dan sebelum shalat dimulai (iqamah), Jordie yang
nama akhirnya "Rosenbaum" itu saya bimbing mengikrarkan: "Laa ilaaha
illa Allah-Muhammadan Rasul Allah." 
 
Pekik takbir para jamaah dilanjutkan dengan iqamah, dan Jordie pun
memulai shalatnya yang pertama kali. Allahu Akbar!
 
New York, Maret 2008
 
 
 
 
 
 

Kirim email ke