"Mengetahui" Keinginan Manusia selalu di warnai dengan keinginan, apapun bentuknya. Manusia tanpa keinginan adalah manusia yang tidak bisa mewarnai hidup, kata seorang teman. Mungkin ada benarnya, bahwa keinginan bisa memacu semangat untuk berusaha, seperti keinginan untuk mendapatkan rumah, mobil, anak dan lainnya. Salah seorang teman yang sudah cukup matang dalam usia sewaktu di masjid di tanya tentang keinginannya, dia menjawab ingin menjadi orang yang bertaqwa. Ada lagi seorang bapak yang hanya memiliki seorang anak, ketika di tanya tentang keinginannya dia menjawab kalau dia ingin melihat anaknya 'semata wayang' itu bahagia.
Memasuki tahun ajaran baru, orang tua yang memiliki anak yang baru masuk sekolah akan mulai di sodorkan berbagai keinginan anak dalam memenuhi tuntutan pendidikan yang cukup mahal. Sekolah memang gratis tetapi untuk pakaian seragam dan buku sekolah orag tua harus merogoh kantong cukup dalam. Kita ingin bahkan menuntut anak kita untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan sebaliknya pendidikan pun menuntut kita biaya yang cukup tinggi. Artinya keinginan sering mengejar dan memaksa kita untuk di wujudkan. Dan pada akhirnya ada sebagian orang yang menanggalkan keimanan untuk mewujudkan keinginannya tersebut." Keinginan itu harus berlandaskan dengan keimanan" kata Pak Amin disela-sela waktu sehabis maghrib. Saya tidak mengerti dengan maksudnya karena sering kali orang mudah mengatakan sesuatu yang dinilainya secara subjektif, seperti keinginannya merayakan sunatan cucunya secara meriah dengan mengundang panari, entah dimana muatan keimanan dari keinginannya tersebut. Belakangan ini muncul trend baru yaitu keinginan-keinginan tampak sholeh. Pengajian-pengajian banyak di serbu, perlehatan-perlehatan akbarpun sering terselenggara. Pawai kendaraan dengan " pakaian taqwa" sering kali memadati jalan sampai susah lewat karena iring-iringan harus di beri kesempatan terlebih dahulu, maklumlah mereka " serdadu Tuhan". Lain lagi dengan seorang penceramah yang turun dari sebuah mobil yang bagi "orang bawah" di nilai mewah menganjurkan hidup sederhana seperti cara Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam yang walaupun seorang khalifah atau raja untuk ukuran sekarang Beliau tetap hidup dalam keadaan kekurangan. " Kita harus mencontoh Beliau !" kata penceramah itu, "Kita" disitu maksudnya yang mendengarkannya. Seorang teman melihat keadaan ini pernah berujar " Saya mau cari ustadz yang kehidupannya sehari-harinya seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam untuk belajar agama , ada gak ya di Jakarta ini ?". Mungkin ada, cuma kita tidak tahu , karena orang-orang seperti itu jarang pernah mau menonjolkan diri. Keinginan-keinginan sering kali telah bercampur dengan dunia beserta atributnya sehingga sering ayat-ayat Tuhan di sesuaikan dengan keinginan sang pelaku baik itu mengenai sesuatu yang di hajatkan, waktu maupun tempat. Bekerja dan berusaha jika diniatkan karena Allah adalah ibadah, lalu apa yang membedakan bekerja pada jaman Rasulullah, atau jaman sahabat atau jaman tabi'in dengan bekerja pada saat sekarang ? Seorang teman sering mengeluh dengan penghasilannya perbulan yang tidak sesuai dengan pengeluarannya, " Kenapa ya, rezeki saya pas-pasan padahal semuanya untuk menafkahi keluarga dan itukan ibadah" katanya seperti bertanya kapada diri sendiri sambil memegang buletin masjid bertajuk " Berserah diri Kepada Allah ". Apakah ibadah itu sesuatu yang di dapatkan atau sesuatu yang dipersembahkan ? . Mengetahui, memahami dan mengalami adalah sesuatu yang berbeda. Seiring dengan bertebarannya buku-buku agama, kitab-kitab hadist, dan berbagai tafsir kita sedang mengalami uforia " Mengetahui". Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa sampai pada tahap memaknai apa yang telah kita alami, agar bisa memahami makna berserah diri kepada Allah. Salam David Sofyan