*Islam Rahmat untuk Seluruh Alam*

Nabi Muhamad saw bersabda: "Aku diutus Allah hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak yang luhur." HR Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal.

Untaian hadits di atas tertuang dalam *Al-Muwaththa* karya Malik bin Anas,
Kitab: Husn al-Khuluq, Hadits nomor 1609, juz II, halaman 904, dan *
Al-Musnad* karya Ahmad bin Hambal, juz II, halaman 381.

Hadits ini merupkan penegasan kembali dari firman Allah yang tertuang dalam
QS al-Anbiya'/21:107:

"Aku utus kamu (Muhammad) hanya untuk menyebarkan rahmat Tuhan pada alam
semesta." (*Wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-aalamîn*).

Dari hadis di atas sebenarnya kita dapat memahami bahwa sesungguhnya Nabi
Muhammad dengan ajaran Islam hendak memberikan rahmat untuk seluruh alam
semesta tanpa terkecuali, karena hal itu merupakan amanah yang diberikan
oleh Allah swt kepadanya.

Dengan pernyataan Nabi Muhammad tersebut kita juga dapat mengatakan secara
lebih konkret bahwa cita-cita al-Quran sesungguhnya adalah tegaknya
kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan
universal (*humanisme universal*). Karena *al-akhlaq* adalah bentuk plural (
*jama'*) dari kata *al-khuluq* yang memiliki akar kata yang sama dengan *
al-khalq* (penciptaan), *al-khaliq* (pencipta), dan *al-makhlûq* (yang
diciptakan).

Dalam pandangan Kiai Husein Muhammad (2001: 16), pengasuh Pondok Pesantren
Dar at-Taqwa, Arjawinangun Cirebon, Jawa Barat, prinsip-prinsip kemanusiaan
itu antara lain diwujudkan dalam upaya-upaya penegakan keadilan, kesetaraan,
kebersamaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap orang lain, siapapun dia.

Ini semua berlaku secara universal. Semua orang di mana pun di muka bumi
ini, kapan pun dan dengan latar belakang apa pun, mencita-citakan hal-hal
tersebut. Pernyataan-pernyataan mengenai prinsip-prinsip ini dapat kita
jumpai dalam banyak tempat di dalam al-Quran.

Menurut Husein, sebagai cita-cita atau visi, semua prinsip di atas haruslah
menjadi dasar bagi pikiran, pandangan, dan aktivitas kita ketika melakukan
kajian terhadap ayat-ayat al-Quran yang membicarakan persoalan-persoalan
yang lebih spesifik dan detil.

Dalam arti lain, ayat-ayat yang membicarakan mengenai suatu persoalan yang
terjadi dalam masyarakat ketika ayat-ayat itu dihadirkan haruslah dipandang
sebagai suatu petunjuk belaka tentang bagaimana mengimplementasikan
cita-cita di atas dalam realitas sejarah yang menyertainya.

Sebut saja soal *hudud *(hukum pidana Islam)*, *rajam*, qishash *(hukuman
setimpal bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana), potong tangan, dan
sebagainya, yang secara terang dipaparkan dalam  al-Quran oleh sebagian
besar umat Islam dipandang sebagai ayat-ayat yang *qath'i *(pasti), tidak
dapat diubah dalam implementasinya.

Tetapi, bagi sebagian umat Islam, ayat-ayat semacam itu juga merupakan suatu
petunjuk belaka untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Artinya, *hudud*, rajam, *qishash*, dan potong tangan hanyalah alat yang
bisa jadi efektif untuk dapat dilakukan ketika masa itu (Kenabian Muhammad),
tetapi belum tentu efektif jika kita implementasikan dalam konteks
keindonesiaan dan kekinian.

Wacana seperti ini dapat dipahami secara jelas dengan merenungkan alasan
mengapa al-Quran tidak diturunkan secara sekaligus, melainkan secara
bertahap. Cara penurunan wahyu seperti itu memang sangat indah dan
mengagumkan. Ini merupakan bentuk kearifan Allah yang luar biasa. Dengan
cara seperti ini, al-Quran yang dibawa Nabi berhasil merealisasikan misinya
untuk menegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai
nilai-nilai kemanusiaan.

Al-Quran telah berhasil membawa kehidupan masyarakat Arab dalam
nuansa-nuansa yang sangat sesuai dengan ruang dan waktu yang dibutuhkan.
Tentu tidak mengherankan jika dalam tempo yang teramat singkat al-Quran dan
Nabi Muhammad saw telah mengubah dunia Arab dari kondisi sebelumnya yang
suram, muram, dan kelam menjadi cerah dan beradab.

Tantangan kita (umat Islam) dewasa ini adalah bagaimana cita-cita sekaligus
keberhasilan yang sudah ditorehkan oleh Nabi SAW dapat terus
diimplementasikan di tengah masyarakat yang majemuk. Apalagi di tengah
stigma bahwa Islam adalah agama yang berwajah sangar dan garang beberapa
waktu terakhir belum juga pupus.

Kini saatnya kita tampilkan wajah Islam yang ramah, mendamaikan, mencerahkan
serta membebaskan seluruh umat manusia, sebagai tanggung jawab untuk
mewujudkan misi Islam sebagai agama *rahmatan li al-alamiin, *rahmat bagi
semua makhluk di alam ini*. Wallahua'lam.*[]

*Ustadz Nurcholish*

Kirim email ke