KH Bisri Syansuri, Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat (13)

Bismillahirrahmanirrahiim

Pasca G-30-S

Di saat-saat penuh kesulitan setelah terjadinya percobaan penggulingan
kekuasaan pemerintahan oleh G-30-S/PKI di tahun 1965, dengan
pertumpahan darah luar biasa besarnya serta perpindahan kekuasaan
pemerintahan dari Orde Lama kepada Orde Baru, Kiai Bisri sering harus
meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di
lingkungan Nahdlatul Ulama mengenai masalah-masalah nasional, karena
Kiai Abdul Wahab sudah banyak sekali menghadapi 'udzur. Dalam periode
setelah wafatnya Kiai Abdul Wahab di tahun 1972 dan pengangkatan Kiai
Bisri sebagai Ra'is 'Am, semakin jelas beratnya tanggung jawab
memimpin Nahdlatul Ulama. Organisasi itu semakin nyata membuktikan
diri sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki kekuatan jumlah
anggauta (manpower) dan kekuatan kejiwaan (daya tahan) begitu besar di
hadapan banyak perkembangan yang menguji kelangsungan hidupnya
sendiri.

Segera setelah Nahdlatul Ulama meleburkan fungsi politiknya ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan dan kembali kepada fungsinya semula
sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat non-politik (jam'iyah),
terlepas dari keberatan yang dirasakan Kiai Bisri terhadap cara-cara
peleburan itu dilakukan, tidak dapat juga ia berpangku tangan melihat
tantangan demi tantangan yang dihadapi. Tantangan besar yang pertama
adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara
keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama,
sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Tindakan
pertama yang diambil Kiai Bisri adalah mengumpulkan sejumlah ulama
daerah Jombang, untuk membuat sebuah rancangan tandingan atau RUU
Perkawinan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat itu. Setelah
rancangan tandingan itu selesai dibuat, ia diajukan ke dalam
lingkungan Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama, dan diterima secara
aklamasi. Rancangan tandingan itu kemudian diajukan kepada sidang
Majlis Syura Partai Persatuan Pembangunan, yang menerimanya dan
kemudian memerintahkan Fraksi Persatuan Pembangunan untuk
menjadikannya dasar bagi satu-satunya rancangan undang-undang yang
dapat diterima oleh partai tersebut. Setelah melalui proses negosiasi
berbelit-belit dan diselingi oleh kerusuhan oleh sejumlah pemuda di
gedung lembaga perwakilan rakyat, rancangan tandingan itu diterima
sebagai Undang-Undang Perkawinan yang disahkan dengan sedikit
perubahan di sana-sini.

Tantangan berat lain setelah itu terjadi menjelang pemilihan umum
tahun 1977, ketika terjadi tekanan dari berbagai kalangan agar Partai
Persatuan Pembangunan tidak menggunakan gambar Ka'bah sebagai lambang
dalam pemilihan umum tersebut. Tampak jelas sekali pada akhirnya,
bahwa hanya Kiai Bisri seoranglah yang dapat menahan tekanan-tekanan
politik itu secara mantap, dan partai tersebut dapat mengikuti
pemilihan umum tetap dengan tanda gambar ka'bah.

Dalam masa persiapan menjelang dan selama berlangsungnya Sidang Umum
Majlis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1977, kembali
terjadi perbedaan tajam dengan pihak-pihak lain mengenai beberapa
rancangan ketetapan lembaga tersebut. Terutama dalam persoalan
pemberian status kepada aliran kepercayaan, cara berpikir yang semata-
mata dilandaskan pada hukum fiqh telah membuat Kiai Bisri menolak
gagasan tersebut, dan pendapat itu tidak berubah sama sekali dalam
proses tawar-menawar politik yang terjadi. Keteguhan pendirian itu
akhirnya membawa kepada sikap meninggalkan sidang (walk out) ketika
lembaga permusyawaratan itu tetap memutuskan memberikan status formal
kepada aliran kepercayaan.

Sikap serba keras seperti itu menyembunyikan sebuah kenyataan penting
yang tidak pula luput dari pengamatan orang banyak: Kiai Bisri
sebenarnya telah banyak mengambil pendekatan yang dilakukan Kiai Abdul
Wahab semasa hidupnya. Seolah-olah terjadi metamorfose dalam dirinya,
sewaktu ia memikul beban yang tadinya dipikul sang ipar. Kiai Bisri
lalu menjadi orang yang bersedia melihat persoalan dari berbagai-bagai
sudut pandangan, sebelum diambil keputusan terakhir. Sikap yang hanya
mau mencari sumber pengambilan keputusan literatur fiqh saja
ditinggalkannya, karena hal itu sudah tidak sesuai lagi dengan peranan
yang dijalaninya. Sebelum itu, pendekatan monolinear kepada fiqh itu
dilakukannya untuk mengurangi sejauh mungkin pemudahan persoalan yang
timbul dari pendekatan yang dipakai Kiai Abdul Wahab, seolah-olah
penjaga gawang yang harus menjaga jangan sampai kebobolan. Tetapi
dengan beban yang harus dipikulnya sendiri, Kiai Bisri harus mampu
menggabungkan kedua jenis pendekatan semula itu, untuk memungkinkan
pengambilan keputusan yang mengandung unsur kebijaksanaan yang tinggi,
seperti terlihat dalam kasus Keluarga Berencana.

Kiai Bisri berpulang ke rahmatullah dalam usia yang lanjut, tetapi
tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan
perubahan metamorfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan
watak semula dari kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada
fiqh sebagai sumber pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk,
kesetiaan seperti itu kepada hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri
Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan hidupnya, dan menentukan sikapnya
dalam semua persoalan. Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai
penuh, utuh dan kaya dengan dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu
tidak lain adalah pencerminan dari penerimaan mutlak atas hukum fiqh
sebagai pengatur kehidupan secara nyata.


Bersambung ke bagian 14...

[*] Dari Buku [KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat]

Kirim email ke