Kata-kata Haji Mahbub****

** **

[image: mahbub junaidi.jpg]****

****

1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi menghembuskan nafas terakhir. Enam belas
tahun Mahbub meninggalkan kita, batang hidungnya tak akan pernah muncul
kembali. Tapi kata-katanya masih hidup. Siapa yang hendak belajar bahasa?
Mahbub salah satu rujukannya.****


BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal ada kategori lima
orang esais terbaik dalam sejarah Indonesia, saya ngotot menominasikannya
sebagai salah satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia membuat
pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub adalah contoh sempurna.****

** **

Gagasan dan kejutan yang diajukan dalam esai-esainya sulit dibayangkan bisa
di tulis dalam gaya penulisan lain. Pendek kata, bagi saya Mahbub adalah
penyihir kata-kata.****


Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu bagaimana
menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu banyak sisi positifnya,
gara-gara birokrasi logika modern, sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal
tak terjelaskan secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra
seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian adanya, macam apa
mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal yang jadi kekuatan dalam esai-esainya?
****


Cara pandang terhadap realitas****


Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir di tiap kolom dia
menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya. Sekurang-kurangnya membahas
dampak kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang model begini
amat banyak jumlahnya. Namun yang membedakan dengan penulis lain adalah cara
Mahbub memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi rakyat
berhadapan dengan negara.****


Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat dan negara di
atas kertas, menggunakan kerangka teoretik ideal. Teorinya, negara merupakan
organisasi yang dibangun demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur
tata negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi, mustahil
pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan secara keseluruhan orang per
orang. Maksimal, negara hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin
kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa hal harus mengerti
jika negara yang tugasnya masya Allah banyak itu, kadang belum sanggup
memuaskan mereka.****

** **

Namun posisi teoretik Mahbub ini boleh dibilang unik. Ia tak pernah
mengungkapkannya dengan bahasa yang teknis. Untuk kepentingan ini
digunakanlah cerita, anggapan umum, peristiwa populer, humor, atau
macam-macam perabot lainnya, yang dalam hal ini perlengkapan Mahbub amat
lengkap. Sama sekali tak berpretensi ilmiah.****

** **

Silakan cek esai Dinamisasi via Binatang yang ditulisnya menyambut ide
Menteri Agama Mukti Ali untuk memodernisasi pesantren lewat pemberian
binatang ternak. Pada awalnya Mahbub seperti mengikuti jalan pikiran Mukti
Ali, bahkan terkesan menjelaskannya. Namun belakangan, ia justru bertanya,
kenapa cuma pesantren yang dituding sekadar konsumen? Bukankah perilaku
institusi pendidikan lainnya juga kurang-lebih demikian adanya?****

** **

Sekarang silakan teliti juga esai berjudul Demokrasi: Martabat dan
Ongkosnya. Dalam esai ini akan terjelaskan bagaimana Mahbub bisa memiliki
cara pandang demikian. Sumbernya tak lain keluguan. Dia menceritakan perihal
rancangan kenaikan anggaran buat anggota DPR sambil menceritakan betapa
logisnya alasan mereka mengusulkan hal tersebut, persis orang awam yang
hanya paham perkara teknis tanpa menangkap motif lainnya. Mendadak di
paragraf akhir, setelah kita diajak tamasya sambil tertawa-tawa, lewat
pergeseran perspektif yang sublime, ia meledek dengan lembut, bahwa tuah hak
Budget legislatif tiada gigi.****

** **

Dalam esai, aku-esai yang mewakili pengarang bercerita lewat medium bahasa,
terwujud dalam cara pandang, cara mengajukan gagasan, cara ajukan
pertanyaan, cara menyimpulkan, dan hal-hal lain yang bersifat unik.
Sebagaimana dimaklumi dalam filsafat bahasa mutakhir, tak ada realitas di
luar bahasa. Secara umum boleh dikatakan bahwa kemampuan seseorang untuk
berpikir logis dan jernih, akan terefleksi dalam tulisannya, dalam
bahasanya. Hal yang demikian bias kita lihat pada Mahbub.****

** **

Mahbub pernah bilang, dirinya lebih senang digantungi merk sebagai
sastrawan. Kenyataannya memang demikian. Tapi perkara ini di luar fakta
bahwa ia pernah menulis beberapa novel. Perspektif keluguan membuatnya bisa
mengeker kenyataan dengan perspektif unik, sebagaimana umumnya dipraktikkan
para sastrawan. Bertebaranlah di esai-esainya, pameran hasil pengamatan yang
sering bikin kita terlonjak keheranan. Ada dikatakan orang yang selalu
membicarakan cuaca tak ubahnya orang Inggris. Dia menyebut perihal
berisiknya orang Cina, karena empat orang yang berkumpul sanggup berbicara
bersama-sama. Di lain waktu, ia menceritakan anak-anak di bulan puasa yang
mulai siang tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar
hingga hampir maghrib. Satu dua ada juga yang diam-diam menggigit mangga
muda di belakang kakus.****

** **

Dengan pengamatan sekuat ini, tak heran Mahbub seperti tukang dongeng yang
bisa menggubah peristiwa apa saja menjadi cerita yang mengesankan. Saya
menduga kemampuan mendongeng ini diwariskan Mahbub dari khazanah tradisi
Betawi yang melahirkan beberapa tukang cerite yang legendaris, seperti Zahid
bin Muhammad.****

** **

Dalam khazanah sastra Indonesia, tradisi menulis dengan gaya kocak dan lugu
ini bisa dilacak dalam karya-karya Idrus, sebagaimana terlihat dalam
kumpulan cerita terbaiknya, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Saat ini
kemampuan Mahbub mendongeng barangkali hanya bisa disejajarkan dengan
sastrawan Putu Wijaya. Dengan kemampuan mendongeng ini, Pak Haji Mahbub
mampu menyajikan persoalan dengan ringan. Pembaca paham duduk persoalan
tanpa melewati penjelasan konseptual yang bikin kepala serasa berlipat.****


Pemberontakan literer****


Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya kedudukan
istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan dalam licentia poetica.
Singkatnya, dengan istilah yang konon pertama kali diajukan oleh Aristoteles
ini, dimaksudkan bahwa demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan
boleh mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir mesin. Dalam
hemat saya ini merupakan mantra Mahbub selanjutnya.****

** **

Mahbub sepertinya tak pernah ambil pusing apakah istilah dan kata-kata yang
digunakannya masuk hitungan kebakuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Makanya
kita bisa capek sendiri menghitung pelanggaran EYD yang dilakukan dalam
esai-esainya. Biasanya ia memakai istilah dan struktur bahasa Betawi yang di
Indonesia sering dipakai dalam bahasa percakapan. Beberapa kali ia juga
memakai istilah dari bahasa Jawa. Alih-alih ditegur karena kebandelannya,
Goenawan Mohamad yang dikenal apik berbahasa malah memujinya sebagai
penerobos bahasa. Ya, boleh jadi dalam hal ini Mahbub memang keblinger, tapi
justru dari sinilah esai-esainya mencerminkan karakter yang khas. Dia
menemukan sendiri capaian estetikanya.****

** **

Kebandelan Mahbub dalam berbahasa bukanlah sembarang pelanggaran. Jika
ukurannya adalah pencapaian estetik, ia sanggup memenuhi tagihan sertifikat
licentia poetica dengan impas, barangkali berikut bunganya. Barangkali sifat
sastrawi dalam karya-karya Mahbub bukanlah yang melankolis, sensitif,
mendayu-dayu sifatnya. Tapi, toh, John Steinbeck yang menulis cerita-cerita
yang menyanyikan humor dan kesintingan pun akhirnya harus datang ke
Stockholm, Swedia, buat menerima Nobel Sastra sambil ditepuktangani banyak
orang.****


Humor****


Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub ketimbang
humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet kencing lantaran membaca
tulisan-tulisannya. Saya sih tak ekstrem begitu. Paling-paling hanya
menyebabkan durasi membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi
cekikikan dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering terbawa
ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi orang yang kurang
paham duduk persoalannya menganggap saya sinting atau semacamnya.****

** **

Mahbub sering menyajikan humor satir. Hal ini bisa kita simak antara lain
pada Sepatu, di mana ia mengejek banyaknya koleksi sepatu Imelda Marcos.
Kadang ia bercerita yang baik-baik saja perihal lembaga negara atau individu
dengan demikian sempurnanya, sampai-sampai pembaca akhirnya sadar bahwa
Mahbub nyata-nyata tengah mengejek dengan menyebut nilai-nilai yang justru
tak dimiliki pihak bersangkutan. Hal yang demikian, misalnya muncul pada
Kota.****


Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora dan celetukan yang
bukan alang-kepalang mengejutkannya. Silakan disimak sendiri sebagian kecil
contoh berikut:****

** **

**-              **Futurolog itu…semacam dukun juga, tapi keluaran sekolahan
****

**-              **Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak
anjing ras****

**-              **Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko terpelanting,
apalagi jadi bendaharawan****

**-              **Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca
iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang yang meninggal itu,
sekadar membanding-bandingkan dengan umurnya sendiri****

**-              **Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng****

**-              **Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar****

**-              **Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet
seperti sekandang burung parkit****

**-              **Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk
yang ranum…punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret
begitu saja dari laci****

** **

Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim semacam inilah
yang menurut hemat saya menjadi kekuatan utama dari esai-esai Mahbub. Teknik
metafor ini dipadukan dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya,
membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa asosiasi ditumpuk
sekaligus dalam satu pernyataan.****

** **

Tak jarang demi memberi tempat buat dorongan humornya, Mahbub harus
melenceng barang sebentar dari persoalan utama. Sering juga berlama-lama.
Tapi memang kerapkali pada karya-karya bermutu tinggi, irisan-irisan
“ketidaksempurnaan” semacam inilah yang justru membumbui estetika. Coba
Saudara simak musikus-musikus hebat yang secara teoretik bakal lebih bagus
lagunya didengarkan di hasil rekaman, karena celah-celahnya telah
disempurnakan lewat bantuan teknologi. Tapi pendengar musik yang paham duduk
persoalan bakal lebih memilih mendengarkan suara live-nya di panggung, meski
lewat medium perantara.****


MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya, adalah seorang
generalis. Ia mencomot sembarang persoalan yang menarik perhatiannya buat
dibahas, tanpa peduli batas-batas spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub
mau bicara spesialisasi, wong sarjana saja bukan?****

** **

Ia memang unggul dalam hal menyajikan persoalan dengan sederhana melalui
generalisasi yang cerdas. Tapi untuk itu kadang ia tak sempat menengok ke
celah-celah persoalan, menakar barang sebentar, barangkali ada satu hal atau
dua yang tak masuk dalam kategori generalisasinya. Ia juga sering membahas
masalah hanya dari aspek spesifik tertentu. Dengan begini, ia tak pernah
membahasnya untuk menyajikan solusi dengan tuntas, mulai ujung kepala sampai
jempol kaki.****

** **

Tapi kelihatannya memang bukan pembahasan lengkap model demikian yang
diinginkan Mahbub. Ia ikut berbaur dengan berbagai macam manusia, lengkap
bersama pluralitas persoalannya, tanpa bermaksud menarik sebuah rumus
deduktif buat setiap masalah. Tapi jangan sekali-kali menganggap Mahbub tak
bisa menulis dengan gaya konvensional, artinya nirbumbu-bumbu humor di
sembarang tempat, tanpa hilang kejernihan. Kalau tak percaya, sila dibaca,
"Soal Pilihan".****


Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik menulis demikian
lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru yang tidak memungkinkan orang
mengkritik dengan keras. Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi
perbedaan-perbedaan pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali anggapan
ini ada benarnya.****

** **

Tapi bagi saya sih, peduli setan! Dengan atau tanpa Orde Baru, Mahbub
tetaplah Mahbub yang menyihir kita lewat kata-kata. Dan kata-kata Mahbub,
masih hidup.****

** **

Ahmad Makki, Kontributor Majalah Historia Online****



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

<<image001.jpg>>

Kirim email ke