AHLI HADITS, AHLI FIQHI, DAN SUFI Ahli Hadits: Ahli hadis sangat bergantung pada lahiriah hadis Rasulullah saw. Tatkala mendapat seruan dalam Qur`an, QS. Al-Hasyr:7 mereka melakukan pengembaraan ke berbagai negari dan kota untuk mencari para perawi Hadis dan berguru sehingga mampu merekam (menukil) Hadis-hadis Rasulullah saw., mereka kumpulkan Hadis dari para sahabat dan tabi`in. kemudian menulis perjalanan hidup, perilaku, mazhab-mazhab, perbedaan pendapat dalam ketentuan hukum, perkataan, perbuatan, ahlak dan kondisi mereka, mereka menyeleksi Hadis shohih dari pada perawinya dengan cara mendengar dan hapalan, mengoreksi sumber yang bisa dipercaya, mereka garap dengan cermat dan teliti. Dalam hal itu mereka juga tidak sama tingkatan dan kedudukannya, sehingga ada diantara mereka karena kelebihannya dalam ilmu yang dimiliki, kecermatan dan kuat hafalannya ia berhak untuk diterima kesaksiannya dimata ulama dalam hal `adl dan tajrih (adil dan cacatnya dalam kesaksian). Ahli Fiqhi: Adapun tingkat para ahli fiqhi (fuqaha) sebenarnya mengungguli kelompok Ahli Hadis, karena mereka bisa menerima ilmu yang dimiliki para ahli Hadits, dimana mereka sama dengan ahli Hadis dalam berbagai makna keilmuan dan cirri mereka. Namun mereka memiliki ciri khusus dalam memahami dan penggalian (istinbath) hukum fiqhi dari Hadis, memahami secara mendalam dengan analisa dan pemikiran yang sangat serius dalam menyusun dan mengurutkan hukum-hukum, batas-batas ketentuan agama dan pokok-pokok ajaran syariat, mereka jelaskan semua dengan sempurna, mereka jelaskan dengan hukum pengganti (nasikh) dengan hukum yang diganti (mansukh), antara yang khusus dengan yang umum dengan menggunakan Al-Qur`an dan Sunnah, Ijma` dan Qiyas. Mereka jelaskan mana yang hukumnya telah diganti, namun lafalnya tetap tertera, mana yang lafalnya telah dihapus namun hukumnya masih berlaku, mana lafalnya yang bersifat umum namun dimaksudkan khusus (khas), atau sebaliknya lafalnya khusus namun maksudnya umum, atau bentuk seruan (khitab)-nya umum namun maksudnya individu, atau khitab-nya satu namun maksudnya umum. Kaum Sufi: Tingkatan kaum sufi sama dengan tingakatan para ahli Hadis dan Ahli Fiqhi dalam keimanan dan akidah mereka. Kaum sufi bisa menerima ilmu mereka dan tidak berbeda dalam makna dan pengertian serta ciri-ciri mereka. Barang siapa diantara para sufi yang tingkat keilmuan dan pemahamannya belum sampai pada tingkatan para ahli Hadis dan ahli Fiqhi, sementara keilmuannya belum mampu memahami dan menguasai apa yang mereka kuasai, maka ketika ia mendapatkan kesulitan hukum syariat atau batasan-batasan ketentuan agama, ia wajib merujuk pada ahli Hadis dan ahli Fiqhi Akan tetapi apabila dikalangan mereka terjadi perbedaan pendapat maka kaum Sufi hendaknya mengambil hukum yang terbaik, paling utama dan paling sempurnya demi lebih berhati-hati dalam menjalankan syariat agama dan demi mengagungkan apa yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-NYA dan menjauhi apa yang dilarang-NYA. Dalam Mazhab kaum sufi tidak ada aturan untuk mengambil rukhshah (keringanan hukum) dan melakukan takwil-takwil (interpretasi) untuk pembenaran terhadap hukum, condong pada kemewahan dan menuruti hal-hal yang syubhat. Sebab hal itu merupakan pelecehan terhadap agama dan meninggalkan sikap lebih berhati-hati. “Musuh engkau yang paling besar adalah hawa nafsu yang ada dalam dirimu sendiri.” (HR. Al-Baihaqi). “Ingatlah!! Hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar:3) Ahli Hadits: Ahli Hadits jika mendapatkan kesulitan dalam ilmu Hadits, cacat (illat) yang ada pada Hadits dan tentang perawinya, tidak akan merujuk Pada Ahli Fiqhi. Ahli Fiqhi: Ahli Fiqhi jika mendapat kesulitan dalam masalah-masalah fiqhi, seperti kasus perubahannya khamer menjadi cuka, masalah binatang yang halal dikonsumsi, termasuk binatang darat ataukah hidup diair atau keduanya (ampibi), masalah membangun perumahan dan masalah-masalah wasiat, mereka tidak akan pernah merujuk pada ahli Hadits. Kaum Sufi: Demikian pula sufi ketika berbicara masalah perasaan hati, peninggalan-peninggalan rahasia, muamalah hati nurani, menjelaskan dan menggali ilmu-ilmu dengan isyarat-isyarat yang halus dan makna-makna yang agung. Seseorang yang mendapatkan kesulitan dengan masalah tersebut tidak akan merujuk kecuali pada ahlinya. ~~~~~~ Dikalangan orang-orang berilmu tidak pernah memperselisihkan bahwa diantara para sahabat Rasulullah saw. Ada yang memiliki Spesialisasi dalam disiplin ilmu tertentu. Sebagaimana Hudzaifah yang memiliki lmu khusus tentang nama-nama orang munafiq, yang Rasulullah saw. merahasiakan hanya untuknya. Sehingga Umar ra. Pernah menanyakan pada Khudzaifah “Apakah saya termasuk dalam daftar kaum munafiq tersebut ?” Tanya Umar. Diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa ia pernah berkata, “Rasulullah saw. Mengajariku tujuh puluh bab tentang ilmu pengetahuan, dimana beliau tidak pernah mengajarkannya kepada siapapun selain aku.” DIA bukakan pintu-pintu ilmu menurut kehendakNYA, Allah Berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad): Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (Q.S. Al-Kahfi:109). ----- Rujukan dari Terjemah Kitab Al-Luma` (salah satu kitab induk utama dalam sejarah tasawuf islam)
--------------------------------- Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!