http://www.nu.or.id

  Beragama dan Bersains itu Beda 
 Rabu, 3 Oktober 2007 11:45 
                
Jember, NU Online
 Penciptaan manusia dilengkapi dengan akal agar manusia bisa berinisiasi, 
berpikir untuk kemajuan kehidupan. Kecenderungan akal adalah mencerna dan 
selalu mencari suatu kebenaran berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
 Ketika rasionalisasi itu telah dicapai, maka manusia akan yakin bahwa sesuatu 
itu adalah benar adanya. “Itu namanya bersains, tapi kalau beragama itu lain,” 
tukas KH A Muchit Muzadi saat memberikan tausiah dalam acara memperingati 
Nuzulul Qur’an (30/9) di masjid Sunan Kalijaga, Jember.
 Menurut sesepuh NU itu, orang bersains awalnya ragu-ragu, kemudian dicari 
dasar-dasar, kronologi dan sebagainya. Setelah itu didapat, maka baru dia yakin 
bahwa “temuannya” itu benar. Tapi dalam beragama, manusia tidak bisa 
menggunakan metode itu. Apapaun yang datang dari agama, maka harus diyakini 
dulu, baru ditelisik latar belakangnya. 
 “Misalnya puasa, harus diimani dulu, baru dicari alasannya mengapa Allah 
memerintahkan puasa. Orang yang berpuasa dengan mencari alasannya dulu, 
sebetulnya kurang etis, karena berpuasa bukan karena Allah, tapi karena dia 
tahu banyak manfaat yang terkandung dalam puasa. “Toh semua perintah dalam 
agama, terutama yang terkait dengan kemanusiaan, pasti ditemukan alasan 
rasionalnya,” terangnya.
 Allah telah mengatur begitu rupa dan merancang semua rencana-Nya dengan sangat 
rapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Semua yang datang dari Allah, baik 
itu perintah maupun larangan, semuanya demi kemaslahatan umat manusia. Contoh 
kecil adalah  anjuran minum ASI bagi bayi. Dahulu, susu kaleng menjadi 
kebanggan kaum ibu karena dianggap higienis dan penuh gizi, tapi ternyata 
kemudian diketahui bahwa ASI-lah susu terbaik bayi. “Padahal, Al-Qur’an sudah 
menjelaskan itu (soal ASI) sejak 14 abad yang lampau,” tuturnya.
 Mbah Muchit juga menandaskan betapa agungnya Al-Qur’an. Selain sebagai 
petunjuk yang penuh dengan kebenaran, Alqur’an juga sebagai penutup kitab-kitab 
Allah. Karena itu, sampai-sampai timbul pertanyaan; bulan ramadhan menjadi 
agung karena di bulan inilah Al-Qur’an diturunkan, atau menjadi agung karena 
diturunkan di bulan Ramadhan.
 Menurut Mbah Muchit, karena Al-Qur’an-lah sehingga bulan Ramadhan menjadi 
agung. “Itu sebabnya mengapa banyak orang memburu Lailatul Qadar, di mana 
Al-Qur’an pertama kali diturunkan,” katanya.
 Karena begitu agungnya, maka Allah yang menggaransi kelestarian dan keasrian 
isinya. Salah satu bentuk penjagaan itu, Allah memberi pahala kepada setiap 
orang yang membacanya meskipun tidak mengerti artinya. Terkait dengan itu, Mbah 
Muchit mengaku heran dengan kelompok yang terlalu mengagung-agungkan metodologi 
sehingga mereka beranggapan bahwa membaca Al-Qur’an itu tidak ada gunanya kalau 
tidak tahu isinya.
 Sebab, kalau orang sampai tidak tertarik membaca Al-Qur’an lantaran tidak tahu 
isinya, lama-lama orang hanya akan membaca terjemahannya. Padahal untuk 
memahami arti dan maksud sebuah ayat tidak cukup hanya dengan tahu bahasa arab, 
apalagi hanya mengandalkan terjemahan.
  “Alhamdulillah, sampai sekarang masih banyak orang belajar mengaji meskipun 
murid dan gurunya sama-sama tidak tahu isinya,” ungkap murid Rais Akbar NU KH 
Hasyim Asy'ary itu.(ary)

       
---------------------------------
Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out.

Kirim email ke