"Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur'an"

Dr.Quraish Shihab tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah,
pendapat ganjil menurut pandangan ulama Salaf. Baca Catatan Akhir Pekan
[CAP] Adian Husaini ke-163

Oleh: Adian Husaini

Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr.
Quraish Shihab yang berjudul "Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer". Tempatnya di Pusat Studi
Al-Quran, Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh Quraish Shihab sendiri.
Hadir sebagai pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr.
Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri.

Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia
tidak mampu menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri,
karena kehabisan tempat duduk. Bertindak sebagai moderator adalah Dr.
Mukhlis Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang
baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis
Hanafi sendiri sudah menulis satu makalah yang mengkritik pendapat
Quraish Shihab tentang jilbab. Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqih --
yang juga lulusan Al-Azhar - mendadak menggantikan Dr. Anwar Ibrahim,
anggota Komisi Fatwa MUI yang berhalangan hadir.

Prof. Quraish Shihab - seperti biasanya - dengan tenang mengawali
paparannya yang 'kontroversial' tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai
pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah - satu pendapat yang
ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.

Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: "ayat-ayat al-Quran
yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi."
Juga, dia katakan: "bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi
dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan."

Masih menurut Quraish, "Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan
antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks
situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta
pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang
jelas, pasti dan tegas.

Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita
merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan
tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya
yang lain, "Wawasan Al-Quran", (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179),
Quraish juga sudah menulis: "Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas
aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat."

Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli
Maliki. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa
Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu
seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan.
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda
adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup?
Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan,
wajah boleh dibuka.

Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab
adalah masalah khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah
adalah masalah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan
sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak.

Kesimpulan Quraish Shihab - bahwa jilbab adalah masalah khilafiah --
seyogyanya diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara
para ulama tidak jauh-jauh dari masalah "sebagian tangan, wajah, dan
sebagian kaki"; tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya
menutup dada, perut, punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.

Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara
pembaca, bahwa 'batas aurat wanita' memang begitu fleksibel, tergantung
situasi dan kondisi.

Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang
masalah 'aurat wanita yang boleh ditampakkan'. Ketika membahas makna "Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat
bahwa yang dimaksudkan itu adalah "muka" dan "telapak tangan".

Imam Nawawi dalam al-Majmu', menyatakan, bahwa aurat wanita adalah
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama
mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad
menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.

Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik
wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.
Qaradhawi menyatakan -- bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali
wajah dan telapak tangan - adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi'in
sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: "apa
yang biasa tampak daripadanya." (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa
Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As'ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi,
(Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436).

Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama
Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ''apa yang biasa tampak daripadanya''
ialah ''wajah dan telapak tangan'' dan perhiasan yang ada di bagian wajah
dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, ". dari sini cukup
jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi
wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang
terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa
dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita."
(Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib
Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).

Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah
mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan
al-Auza'iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua
telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).

Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan
pengertian, bahwa konsep "aurat wanita" dalam Islam bersifat
"kondisional", "lokal" dan temporal". Kesimpulan ini "cukup riskan"
karena bisa membuka pintu bagi "penafsiran baru" terhadap hukum-hukum
Islam lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak
dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah
dengan laki-laki non-Muslim, dengan alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk
kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh
laki-laki.

Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam
rumah tangga - sesuai dengan prinsip gender equality - maka hukum itu
sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan penelitian, lebih baik jika
istrinya yang muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi
istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama
ibunya.

Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa
ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah
bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika
ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual
beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya
untuk orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah "mukminat".
Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada
bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita
Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama.

Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah
koran nasional pernah memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS
melarang wanitanya mengenakan pakaian yang memperlihatkan belahan
dadanya, karena dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki, yang
lebih suka melihat belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas.

Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi
di jalan raya dengan bertelanjang bulat.

Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan - di daerah
mana pun - wanita betelanjang dada - dengan alasan sudah menjadi
"kebiasaan" sukunya. Pakaian koteka tetap salah, dan mereka yang
berkoteka diupayakan secara bertahap supaya menutup auratnya.

Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat "universal"
dan "final" maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat "final" dan
"universal" - tentu dengan memperhatikan faktor 'illah.

Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa
melontarkan pendapat seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang
bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda
masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita muslimah,
penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah
tindakan yang bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang
terhormat seperti Pusat Studi Al-Quran.

Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini
bukan keluar dari seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan
keluar dari seorang mufassir Al-Quran yang paling terkenal saat ini di
Indonesia.

Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang
putrinya yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu
Majalah untuk melegitimasi tentang tidak perlunya wanita mengenakan
jilbab. Majalah ini pada 22 Maret 2005, menulis judul
cover: "TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB."

Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak
mentarjih satu pendapat di antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya
kepada masyarakat luas untuk memilih pendapat-pendapat yang
bermacam-macam. Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah memimbing
masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat,
dibandingkan dengan yang lain. Seorang mahasiswi yang hadir mengaku
bingung membaca buku Quraish dan takut membawa buku itu ke tempat
asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan.

Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan
pendapatnya. Ia tetap menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah.
Padahal, dalam bukunya, Quraish hanya merujuk kepada pemikiran seorang
pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.

Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis
terhadap Asymawi. Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa
mengenakan jilbab yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak
tangan adalah 'sebuah anjuran', bukan kewajiban.

Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa
mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan
dalam Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun bertahan dengan pendapatnya,
bahwa jilbab adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah mengajurkan
keluarganya untuk memakai jilbab.

Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas
jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa
'daerah-daerah rawan wanita' tetap wajib untuk ditutup.

Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya
pendapat para sahabat Nabi, para tabiin, tabi'ut tabi'in, dan para ulama
sesudahnya, tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih aman jika kita
mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang
jelas. Jika ada yang belum mampu mengenakan jilbab - karena berbagai
alasan - sebaiknya tidak mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa
ada kekurangan dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan
pendapatnya semula. Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan
pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara langsung. Kewajiban kita
sudah selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT.

Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab
tentang jilbab. Lebih aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama
yang sejak zaman Sahabat Nabi hingga kini telah bersepakat tentang
kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak
tangannya. Bagaimana pun, harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang
jilbab, adalah pendapat yang ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin.
Meskipun dia dikenal sebagai pakar tafsir, namun dalam hal ini, menurut
saya, pendapatnya jelas keliru. Mudah-mudahan di masa mendatang, Quraish
Shihab bersedia meralat pendapatnya. Wallahu a'lam.

-- 
''Tidak semua yang kita anggap baik bagus untuk kita
tetapi yang kita anggap jelek malah bagus untuk kita''

-- 
''Tidak semua yang kita anggap baik bagus untuk kita
tetapi yang kita anggap jelek malah bagus untuk kita''


 

Kirim email ke