Israel berniat mengakhiri perang di Jalur Gaza. Mereka mulai goyah oleh tekanan internasional dan domestik. Persoalannya, Israel bingung sendiri bagaimana mengakhiri serangan tanpa harus kehilangan muka.
Suasana di kabinet Israel belakangan mulai memanas. Persoalannya bukan pada bagaimana melanjutkan operasi militer di Jalur Gaza. Sebaliknya, mereka kini mencari jawaban bagaimana untuk meninggalkan wilayah Palestina itu. Ketegangan bahkan terjadi di antara tokoh-tokoh kunci kabinet Perdana Menteri Ehud Olmert. Tak tanggung-tanggung, kunci persoalan ada pada Olmert. Dia bersilang pendapat dengan Menteri Pertahanan Ehud Barak dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni soal kelanjutan perang di Gaza. Hari-hari ini, Olmert makin sering menggelar sidang kabinet. Sabtu (10/1), misalnya, dia menggelar sidang kabinet terbatas bidang kamanan. Menurut sumber yang dekat dengan Olmert, suasana sidang menjadi panas. Barak dan Livni dilaporkan bersikeras mengakhiri Operation Cast Lead secepat mungkin. Tapi, Olmert tetap pada pendiriannya, operasi militer harus menusuk ke jantung Jalur Gaza. Olmert kini agaknya ketar-ketir juga. Kenangan dua tahun lalu masih terngiang di pikirannya. Saat itu, Israel kalah dalam perang 33 hari melawan Lebanon yang ditulangpunggungi pasukan Hizbullah. Olmert tak bisa lupa karena dialah yang dipersalahkan atas kekalahan itu. Itulah sebabnya, dia meminta warga Israel untuk lebih sabar dan determinatif. Dengan begitu, dia berharap Israel masih bisa mencapai target mereka di Jalur Gaza. Target utamanya adalah menggulingkan Hamas yang menguasai Gaza. "Israel kian mendekati target-target ini. Tapi, kesabaran dan determinasi dibutuhkan untuk mencapai target tersebut," ujarnya. Karena itu, saat berkunjung ke Askelon, Senin (12/1) malam, Olmert menegaskan Israel memiliki dua syarat untuk mengakhiri perang. "Pertama, sudahi penembakan roket ke arah Israel. Kedua, hentikan penyelundupan senjata ke Gaza," katanya. Kalau tidak, Israel, katanya siap memperluas eskalasi serangan militer ke Jalur Gaza. Dia menilai pasukannya meraih hasil yang memuaskan dalam pertempuran di Jalur Gaza. Mereka membuat Hamas terpukul lebih ketimbang yang pernah dirasakan selama ini. Dalam hal ini, Olmert kembali berseberangan dengan Barak dan Livni. Dua menteri senior ini juga keberatan dengan makin meluasnya wilayah operasi. Apalagi, belakangan serangan Israel juga mulai menyentuh wilayah Mesir yang berdekatan dengan perbatasan Palestina. Israel memang tak sepenuhnya bisa melumpuhkan Gaza, meski mereka memiliki pasukan dan persenjataan yang jauh lebih modern. Mereka kesulitan menghadapi militansi Hamas. Meski operasi sudah menewaskan lebih dari 900 warga Palestina, kelompok militan itu masih bisa melepaskan roket ke arah Israel. Olmert boleh tak gentar. Tapi, warga Israel mulai ngeri juga menghadapi serangan sporadis Hamas. Pada Minggu (11/1), misalnya, pejuang Palestina masih bisa melepaskan sejumlah roket ke lima kota di Israel serta markas angkatan udara mereka yang hanya berjarak 10 km dari Tel Aviv. Dua roket Grad mendarat di Beersheba, kota di selatan Israel, menghantam bangunan dan kendaraan. Sedikitnya lima warga Israel terluka. Roket juga mengenai wilayah kota Netivot, Sderot, Ashkelon, dan Ashdod. Kecuali itu, meski menewaskan lebih 900 orang warga Palestina, secara politis Israel menderita kekalahan. Mereka mendapat kecaman dari hampir seluruh dunia. Pangkal soalnya tentulah aksi brutal Israel yang menewaskan banyak orang tak berdosa: warga sipil, perempuan, dan anak-anak. Israel, menurut banyak lembaga resmi, bahkan bisa diseret ke meja hijau karena melakukan kejahatan perang. Tak kurang dari lembaga hak asasi manusia PBB menilai Israel telah melanggar hak asasi manusia dengan semena-mena. Di sisi lain, Israel juga mendapat musuh baru akibat ulah brutalnya ini. Venezuela, misalnya, mengusir Duta Besar Israel dari Caracas. Mauritania dan Yordania pun memanggil pulang Dubesnya dari Tel Aviv. Di seantero dunia, demo anti-Israel berlangsung dimana-mana. Bahkan termasuk juga di Israel sendiri. Sabtu lalu, misalnya, sedikitnya seribu orang Israel melancarkan protes, berdemonstrasi di dekat Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv, meminta pejabat mereka menilai ulang kebijakan militer mereka di Gaza. Ironisnya, kebijakan Olmert, Barak, dan Livni, juga mendapat kecaman dari masyarakat Yahudi di seluruh dunia. Dari Turki, Australia, Kanada, Inggris, hingga Amerika Serikat, mereka mengecam perang, terutama banyaknya warga sipil, wanita, dan anak-anak yang jadi korban. Bayangkan, Yahudi melakukan demonstrasi menantang Israel di negara-negara yang selama ini menjadi pendukung utama mereka! "Kami bukan musuh Arab. Kami ingin bersahabat," bunyi sebuah spanduk yang diusung Yahudi di Turki. Jelaslah, dari banyak sisi, Israel di ambang kekalahan di Jalur Gaza. Maka, kini yang bisa dilakukan Olmert, Barak, dan Livni, adalah bagaimana mengakhiri perang tanpa merasa dipermalukan. http://waspada. co.id/index. php?option=com_ content&task= view&id=61600&Itemid=71