Kemegahan Masjid

Untuk para pebisnis bertandang dari satu perusahaan ke perusahaan lain atau 
dari satu gedung ke gedung lain adalah hal yang biasa, sama seperti biasanya 
para salesman yang menawarkan produknya dari pintu kepintu atau sama seperti 
biasanya seorang sopir taksi berpindah dari satu lokasi kelokasi lain. Dalam 
satu hari kita mungkin bisa mengunjungi sepuluh tempat dalam rangka mencari 
nafkah atau sekedar bersilaturahim. Bisa jadi salah satu relaksasi mata adalah 
mengunjungi tempat yang belum pernah di kunjungi sebelumnya dan untuk hal ini 
tentu tempat favorit setiap orang berbeda dengan yang lain.

Saya selalu kagum dengan kemegahan masjid-masjid di Jakarta yang di balut 
dengan ornamen-ornamen khas timur tengah bahkan ada juga yang mirip gaya 
romawi. Selalu saja ada dana untuk membangun tempat peribadatan tersebut, 
bagaimana kalau tidak ada, ya harus diadakan, walaupun caranya harus turun 
kelapangan bersaing dengan pengemis pinggir jalan. Dan sewaktu masjid telah 
berdiri megah, maka giliran pengemislah yang pada acara-acara tertentu 
menempati sisi-sisi masjid.

Beberapa waktu yang lalu, saya bersama teman  berkunjung kerumah teman sekolah  
didaerah Tanah Abang , sewaktu masuk waktu zuhur kami menyempatkan  sholat di 
salah satu masjid  tertua di jakarta tersebut yang lokasinya berada di samping 
pasar tanah abang. Masjid tersebut tidak pernah sepi dari pengunjung baik itu 
penduduk lokal, pedagang, pembeli maupun pejalan yang sedang mampir. Penduduk 
setempat menyebutnya tempat yang barokah. Kalau mau jujur selain hari jum'at, 
taraweh di bulan Ramadhan dan sholat ied maka  ruangan masjid paling banyak 
hanya terisi tiga shaf.

Saat ini kemauan membangun masjid tidak di imbangi dengan kemauan 
meramaikannya, memakmurkannya. Pembangunan masjid tersebutpun tidak lepas dari 
perhitungan laba rugi, dimana para penyumbang berharap mendapatkan pahala yang 
besar selama masjid tersebut tetap berdiri walau pada akhirnya tidak ada lagi 
yang mau berdiri didalamnya tidak terkecuali para penyumbang itu sendiri.

Renungan Pendek, Jakarta 11/05/09

Kirim email ke