Kita Harus Mulai Revolusi Mental
Selama bangsa Indonesia tidak melakukan Revolusi Mental, maka selama itu kita tidak akan bisa mengatasi masalah yang dihadapi bangsa ini. Demikian petikan perbincangan Gus Mus dengan para aktivis muda NU yang berkiprah di majalah "Afkar" PCI NU Mesir di tahun 2004. Berikut kutipan lengkap perbincangan tersebut. Afkar: Adakah pengertian yang baku untuk sebuah kebudayaan? GM: Waduh, saya itu paling nggak bisa kalau ditanya soal definisi. Apalagi tentang kebudayaan. Ya, ringkasnya, kebudayaan itu adalah hasil cipta, karsa, dan karya manusia. Afkar: Bertolak dari definisi tadi, bagaimana Gus memandang budaya kita, yang menurut opini dunia adalah budaya orang-orang terjajah dan tertindas? GM: Jadi, seperti yang kita ketahui dari sejarah, kita itu mulai dijajah semenjak zaman raja-raja, lalu dijajah Belanda, dijajah Jepang, selanjutnya dijajah bangsa sendiri. Karena terlalu lama di jajah, maka budaya keterjajahan itu menghasilkan dua dikotomi dalam tatanan masyarakat kita, yaitu terdapatnya dua jenis manusia di Indonesia. Yaitu manusia terjajah dan manusia penjajah. Kalau yang punya kekuasaan itu cenderung bermental penjajah, dan rakyat mentalnya mental terjajah. Itu dalam ranah intern bangsa Indonesia. Kalau dikaitkan dengan dunia, maka penguasa Indonesia pun mentalnya mental terjajah. Sehingga, kalau anda amati dalam kehidupan berbangsa kita, ketika kita akan bertemu camat saja, ia akan serupa penjajah di mata rakyat walau pun pada hakikatnya adalah abdi masyarakat. Dan tidak pernah kita melihat perilaku pejabat-penguasa yang mencerminkan abdi masyarakat dalam pengertian masyarakat dianggap majikan. Tetapi sebaliknya, sok kuasa mulai dari lurah sampai ke atasnya. Nah, sehingga kalau ini tidak dihentikan, artinya bangsa kita tidak akan pernah merdeka sebagai bangsa! Sebab secara negara kita sudah merdeka, secara formal kita telah proklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945. Tapi, dari segi perilaku, kita tak pernah kunjung merdeka, karena kita mempunyai mentalitas keterjajahan itu. Dan, satu-satunya yang bisa memerdekakan hanyalah La ilaha illallah. Hanya orang yang mau dijajah oleh Allah saja yang mau merdeka. Kalau orang tak mau dijajah oleh Allah, maka ia akan dijajah oleh segala apapun. Oleh isme-isme. Oleh siapa saja. Nah, sebab inilah, yang akan melahirkan kita menjadi budak-budak. Kalau kita tidak merdeka, bagaimana kita bisa kreatif, bisa menyikapi dunia dengan benar.... Afkar: Lalu bagaimana pembacaan Gus atas kemerdekaan bangsa kita, kaitannya terhadap pengaruh kapitalisme global ? GM: Ya, seperti yang sudah saya katakan tadi, kalau kita tidak merdeka secara menyeluruh, ya kita tetap saja, tetap kalah dan tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, dari dulu saya berpendapat kalau bangsa kita belum La ilaha illalah, ya sulit. Wong mereka (negara imperial-kapital) mau membuat kita seenaknya sendiri, kok. Mau biru, hijau, merah, itu terserah mereka. Kenapa? Karena kita masih bermental budak. Makanya kita harus merdeka dulu, baru berfikir menanggulangi itu semua. Kalau kita belum merdeka, ya, sulit sekali. Apalagi kita itu kan, serupa orang desa melihat orang kota . Dunia ketiga ini desa, dan negara adikuasa itu kota. Ya, gambarannya persis orang desa kita yang melihat orang kota itulah. Orang kota modelnya gini, orang desa ikut-ikutan. Silau. Pokoknya kalau yang kota pasti hebatnya. Dan, terhadap negara-negara maju pun kita begitu, seperti orang desa melihat orang kota tadi. Silau dulu. Dan kalau silau, ya nggak bisa lihat apa-apa. Apa saja ditiru. Termasuk Orba ketika mau membangun ekonomi, dia melihat orla yang panglimanya politis, dirubah dengan panglimanya ekonomis. Dan ketika mau membangun ekonomi yang menjadi contoh negara-negara maju, dan itu wajar. Cuman yang menjadi tidak wajar, Indonesia kalau meniru, pokoknya meniru tidak perduli pantas atau tidak. Jadi ketika Orde Baru meniru Barat ya kapitalis, Sehingga hasilnya akan melahirkan manusia-manusia yang materialistis dan hedonis. Materalistis atau hedonis kalau kaya ya... lumayan hasilnya, lha, itu mlarat tapi meniru orang kaya. Jadi, kemarin-kemarin itu diskapitalis lah, cuman dari dulu, sejak Soekarno sampai Soeharto mereka itu orang Jawa. Namanya orang Jawa itu paling pinter eufemisme, memperhalus kata. Biar tidak ketahuan serem lalu nangkap orang (menculik) dibilang mengamankan, naikkan harga terlalu serem lantas menyesuaikan harga, kapitalis dibilang ekonomi pancasila. Sekarang ini manusia Indonesia mulai dari yang paling bawah sampai ke atas, di bawah sadar semuanya materialistis, ngaku atau tidak. Sampai pada manusia-manusia 'agamis'. Contohnya Modin. Modin itu asalnya dari imamuddin, pemimpin agama di desa. Tapi di batok kepalanya itu meterialis, kalo di undang tahlilan orang melarat, tahlilnya cuma dua kali atau tiga kali, bahkan kadang-kadang langsung dungo (do'a). Tapi kalau diundang orang kaya tahlilnya bisa sampai seribu kali. Afkar: Dengan demikian bagaima-nakah konsep yang lebih menuju pada pergerakan atau beberapa hal yang bersifat realisme sosialis sebagai counter budaya terhadap hegemoni kapitalisme global tadi ? GM: Kitakan punya falasafah yang sangat bagus sekali, Ketuhanan yang Maha Esa. Falsafah itu menjiwai semuanya. Lailahaillah itu yang pertama, baik itu berupa pergerakan ataupun pemikiran. Jadi gerakan apapun kalau tidak didahului dengan Ketuhanan yang Maha Esa dalam pengertian Lailahaillah maka, akan sia-sia. karena sekarang kita itu dijajah oleh materi berarti kita tidak dijajah oleh Tuhan saja. Kalau Tuhan kita jadikan satu-satunya penjajah kita otomatis yang lain menjadi budak kita. Maka kalau kita tidak mau hanya dijajah oleh Tuhan, semuanya akan menjadi Tuhan. Jadi sekarang kepentingan menjadi Tuhan, bahkan kepentingan orang banyak yang berbeda-beda, jadi Tuhannya banyak. Afkar: Terus bagaimana kaitannya dengan budaya murni Indonesia sendiri, yang dalam sejarah panjangnya pernah bergaul dengan berbagai bentuk agama? GM: Hindu, Budha, Islam semuanyakan mengenal ketuhanan. Itukan universal, bahwa yang berkuasa itu Allah. Cuman masalahnya hal itu tidak diimplementasikan dalam kehidupan. Sehingga kita berlebihan dalam memandang dunia, yang kata orang jawa dunia itu cuma mampir ngumbe (minum). Dan sekarang, pepatah itu tidak laku, yang laku dunia itu malah sebagai tempat ngebrok (tinggal) bukan sekedar mampir. Nah, ketika dunia itu menjadi tujuan, ya menjadi ro'su kulli khoti'atin, karena sumber dari segala malapetaka kita adalah ketika dunia, materi sudah dianggap Tuhan (baca: ghoyah). Sehingga kita harus berani membikin gerakan, atau kalau istilah saya selama ini harus ada revolusi mental dari Tuhan banyak (polytheisme) menjadi Tuhan satu (monoteisme). Dari tuhan-tuhan berupa materialisme, rasialisme, dan isme-isme yang lain dilebur dan diganti hanya dengan Allah yang kita Tuhankan. Saya dalam berkesenian, setiap ditanya bagaimana konsep kesenian saya, saya akan jawab konsep kesenian saya yaitu Lailahaillah. Saya tidak akan terikat oleh apapun ketika membuat puisi, dan ketika melukis saya tidak mau diperbudak oleh cat, kuas, komposisi, dan isme-isme. Akan tetapi selama saya tidak dilarang oleh Allah saya akan melakukan itu, karena semuanya adalah budak, Tuhan saya cuma Allah. Dan kira-kira konsep itu bisa menjadi gerakan apa tidak? Dimana menjadikan semuanya materi budak. Dan saya masih mempercayai itu, sedang teori-tori yang lain silahkan lah, saya tidak mau kalau teori tersebut menghambat kemerdekaan saya. Dan saya selalu mengatakan, selama kita tidak melakukan revolusi mental kita akan mengalami masalah terus dalam membina bangsa dan negara ini. Afkar: tentang revolusi mental tersebut, banyak dari berbagai kalangan seperti budayawan yang mengarah kesitu, dengan menitik beratkan pada pendidikan. Lebih tepatnya lagi pendidikan yang membebaskan terhadap kapitalisme global. Nah bagaimana dengan pesantren sebagai model klasik sistem pendidikan NU, apakah telah mengarah atau memberikan kesadaran kesana? GM: Jadi NU itu bagian dari bangsa indonesia . Ketika bangsa Indonesia di bawah penguasa orde baru 32 tahun lamanya. Dari situ, saya sering menggunakan istilah kalau Pak Harto itu sebagai guru besar, kita ini siswa didik Pak Harto selama 32 tahun. Bayangkan aja selama itu kalau di perguruan tinggi, sudah sampai 'S' berapa? Selama itu kita dididik untuk mencintai dunia sedemikian rupa. Dan metode Pak Harto Cs itu metodenya Rasulullah, metode ketauladanan. Jadi kalau mencintai dunia ya ditunjukkan dengan keteladanan. Mengajak orang kaya ya diteladani diri sendiri, "aku kaya ini!". Contohnya gampang, Pak Harto kaya, anaknya kaya, semuanya kaya, rakyat jadi berpikir, "oiya ya ternyata kaya itu memang enak"(Gumam rakyat). Nah seperti tadi saya katakan, hal itu dari mencotoh negara kapitalis tanpa melihat ukuran, potongan kita. Cocok tidak kita menggunakan sistem kapitalis, kalau tidak cocok ya rusak. Semua itu termasuk dalam tubuh NU, tapi kita tidak boleh menggeneralisir terhadap sebuah sekelompok manusia di Indonesia. Artinya yang tidak begitu juga ada, di sini mungkin kaum muda yang belum begitu tercemar, ada juga orang yang bisa membentengi diri, ada juga yang bisa memotong sejarahnya. Namun jika dilihat secara keseluruhan jumlahnya itu sangat sedikit. Maka diperlukan gerakan itu tadi (revolusi mental). Sekarang kan sulit untuk menjadi sederhana, hidup bergaya sederhana saja sudah sangat tidak sederhana, sangat mewah sekali. Jadi kayak pondok-pondok pesantren segala macem tidak lagi menjadi simbol kesederhanaan, kemandirian. Namun sekarang harus mewah, harus wah segala macem. Afkar: Jadi pesantren sendiri sudah mengalami semacam reduksi kalau begitu? GM: Extrimnya begitu, jadi pesantren itu bukanlah sesuatu yang berada terpencil pada suatu pulau, namun pesantren itu hidup bersama-sama. Bahwa ia akan kena pengaruh itu jelas. Cuma sekarang tinggal pesantren sendiri seberapa kuat dia mempertahankan diri dari pengaruh tersebut. Sebetulnya kita punya suatu ungkapan yang luar biasa, yaitu almukhafadlatu ala al-qodimi sholikh wal akhdzu bil jadidi al-ashlah. Itu tidak ada yang punya, kita punya itu sebetulnya luar biasa. Jadi, adagium itu mejadi semacam filter. Harus ada, bahwa ini pengaruh baru yang lebih baik, tidak mengapa kalau kita ambil, tapi jangan membuang hal-hal yang sangat baik untuk ditukarkan dengan sesuatu yang tidak jelas baiknya. Kita ambil contoh, kolonialis Belanda lama mencekoki kita sampai pada pola pendidikan yang tertuang dalam bentuk sistem pendidikan nasional kita. Sistem tersebut mendikotomikan antara pendidikan agama dan non agama/umum. Ini betul-betul skenario Belanda untuk membikin kita terpecah. Yang formal gak tahu agomo (agama), yang sekolah agama seperti di pesantren gak ngerti ndunyone (dunia). Akhirnya yang pinter umum ngakali (membodohi) orang pesantren, karena tidak tahu dunia. Dan sekarang ini di pesantren sudah ada kesadaran. Kita kalau lihat di kitab-kitab kuning itu di Ihya' misalnya, gak ada ilmu agama ilmu non agama, yang ada ilmu fardlu 'ain dan ilmu fardlu kifayah. Tapi cekokan sekian lama itu membuat kita lupa ajaran kita sendiri, kita terima sebagai sesuatu kebenaran yang kita ikuti terus. Selanjutnya berangkat dari kesadaran tersebut, para kiyai atau pengasuh ada yang bilang " ini lho madrasah saya ada umumnya ", atau " ini lho sekolah umum tapi ada pelajaran agamanya". Hal ini sudah menjadi kesadaran bahwa pesantren tidak mau kolot lagi. Cuman kemudian ada yang berlebihan ketika misalnya pendidikan pesantren itu mengandung dua hal, yaitu ta'lim wa tarbiyah (pengajaran dan pendidikan). Pesantren itu keunggulannya ada di segi tarbiyah (pendidikan). Dari segi pengajaran (ta'lim) menurut ilmu modern pesantren dinilai jelek sekali. Tidak ada kurikulum yang jelas, silabus , sistem jenjang kelas dan sebagainya, semuanya itu dulu selalu dikritik. Lha itu apa? Nulis aja di bangku, di geger (punggung) kawannya duduknya di tembok, ngajinya kadang kiayainya, terlebih santrinya sambil ngantuk-ngantuk. Karena dikritik ini pesantren akhirnya bangkit, sekarang setiap pesantren memiliki madrasah yang bagus-bagus, ada kurikulum, silabus, ruang kelas yang representatif, tenaga didiknya juga bagus. Tapi sayang banyak pesantren itu yang kemudian menghilangkan keunggulannya tadi, memperbaiki ta'limnya, tapi meninggalkan tarbiyahnya. Begitu pesantren sudah bagus secara tarbiyah maka pendidikannya diabaikan. Ini namanya tidak mukhafadzoh atas alqodimis sholikh tapi hanya al-akhdzu bil jadidi al-ashlah. Dan tidak jarang kiyai apabila pondoknya sudah bagus maka tidak begitu peduli sama santrinya. Padahal pengajaran itu hanya pemberian (transfer) informasi saja, tidak bisa merubah perilaku manusia. Dan yang bisa bisa merubah itu adalah tarbiyah. Karena itu, maka banyak jebolan dari pesantren tapi mereka tidak terdidik. Orang alim banyak dan bervariasi namun prilakunya gak karu-karuan, berjibun orang pandai di Indonesia, baik umum atau agama tapi yang terdidik sangatlah sedikit. Sampeyan lihat sekarang, di sekolah formal itu hampir-hampir tidak ada pendidikan , kecuali di TK. Dari SD keatas terlihat siswa di biarkan begitu saja, tidak ada kontrol yang edukatif, efektif dan konstruktif. Afkar: Dari situ saya melihat, bahwa hubungan antar agama dan budaya tampak kurang akur, atau bahkan pada emosi tertentu sering terasa kontradiktif. Padahal keduanya sama-sama menjadi penyokong sebuah peradaban, kenapa bisa demikian? GM: Ini juga akibat dari dikotomi agama dan umum. Lihat di APBD dan APBN, agama menyempit hanya menjadi sektor. Ada sektor ekonomi, sektor pilitk, terus, ada sektor agama. Jadi agama itu sektor. Dan dengan itu orang Islam bangga sekali. Bahwa mereka masuk dalam GBHN, padahal itu dalam sektor kecil. Dan anda lihat isinya itu, sejak zaman Soeharto dilantik menjadi presiden sampai ia lengser, itu isinya ya, bantuan untuk bangun mesjid, untuk bangun madrasah, untuk bantu pesantren. Lalu, kalau masjid dibangun, jalan raya tidak, lalu bagaimana? Jadi agama ini yang ini apa yang apa? Kita selalu mengatakan agama dan budaya, agama dan politik, seolah-olah agama ini tidak meliputi seluruhnya. Menurut saya tidak begitu, semuanya itu ya harus ada agama. maka tidak perlu lah agama masuk GBHN segala. Artinya, semuanya harus agamis, setiap perencanaan dan pelaksanaan itu harus dijiwai takwa kepada Tuhan YME. Cuma hal itu tidak pernah dijelaskan bagaimana penjabarannya. Karena kita sudah bangga dengan yang namanya agama duluan. Adalagi, agama masuk ke sekolah-sekolah, ada demonstrasi segala macam, ingin mengadakan dari mulai TK sampai perguruan tinggi harus ada pelajaran agama. Orang tidak pernah memikirkan, apa sih pelajaran agama itu? Pernah anda lihat apa yang terjadi? Saya itu pernah lihat, ujiannya anak-anak sekolahan, berapa syarat rukunnya shalat? kalau angka dan jawabannya sudah benar, ya sip. Dalam prakteknya shalat dikerjakan atau tidak itu bukan urusan. Apa itu yang kita inginkan? Maka menurut saya gak usahlah memberi embel-embel agama, sebab akan mempersempit agama itu sendiri, selanjutnya agama jadi sektor. Afkar: Apa itu tidak menjadikan campur aduk? GM: Lha, ya harus campur aduk. Wong agama itu ya mengaduk-aduk perilaku manusia. Jadi apapun harus diaduk agama Afkar: Sebagai moral begitu? GM: Bukan hanya sebagai moral. Sampeyan kalau jadi seniman, sampeyan harus Islami kalau orang Islam. Jadi tidak perlu ada sastra religius dan segala macam. Orang religi, ya sastranya harus religius dong. Kalau tidak, ya, berarti imannya kurang, begitu saja, harus otomatis. Afkar: Kembali pada permasalahan awal, tentang counter budaya. Bahwasannya realita yang ada, seluruh aset bangsa kita itu ternyata bukan lagi milik kita. Tetapi milik asing, bagaimana Gus? GM: Tentu saja sebab kita tidak berkuasa. Sejatinya, kita adalah hamba Tuhan yang diperintah untuk menjadi penguasa, bukan untuk jadi budak. Kita diciptakan oleh Tuhan kita untuk jadi khalifah. Tetapi kita itu lucu, kepada Tuhan kita tidak memperhambakan diri, tapi justeru kita memperhambakan diri pada selain Allah. Itu keliru! Kalau kita tidak memperhambakan pada Allah, dan memperhambakan pada siapa saja, maka kita tidak punya nilai apa-apa. Akhirnya kita akan jadi budak. Sebab budak itulah tidak punya apa-apa. Kalau permasalahannya bangsa kita tidak memiliki apa-apa, ya, sebab bangsa kita bangsa budak. Cara satu-satunya agar memiliki sesuatu, ya harus jadi penguasa. Supaya jadi penguasa dia harus tidak menyembah yang lain, dia hanya menyembah Tuhan saja. Afkar: Tapi, melihat fenomena zionisme Yahudi, itu ternyata 'menjadi penguasa' dunia berikut asetnya. Sedangkan kita yang merasa memiliki, dekat dengan Tuhan kok ternyata belum ada gerakan ke sana. Bagaimana Gus menyikapi hal ini? GM: Andai saya tidak punya Tuhan, saya pesimis melihat Indonesia. Tapi sebab saya punya Tuhan, ya saya jadi optimis. Ada yang menarik dari teladan nabi kita. Bahwa beliau memiliki dua konsep dalam menyikapi 'kekayaan'. Yaitu terdapat kaya dari dalam dan kaya dari luar. Nabi punya do'a yang ternyata umatnya-terutama zaman sekarang-yang malah tak berani berdo'a dengan itu. Allahumma ahyina miskinan wa amitnaa miskinan. Kenapa tidak ada yang berani berdo'a dengan do'a ini, kenapa? Kenapa nabi berdo'a dengan itu sedang kita tidak? Sebab nabi berada dalam posisi bisa memilih. Memilih antara kaya dan miskin, beliau ketika melarat dia bisa kuat, miskin pun bisa kuat. Sehingga bisa memilih. Kalau kita? Melarat tak kuat, kaya juga tak kuat. Padahal, intinya kaya kan ajaran kita. Maka, ketika kita tak bisa kaya dari dalam, ya kita kaya dari luar. Tapi kita tidak kuat. Kaya dari dalam kita tidak bisa, dan kaya dari luar kita tidak kuat. Akhirnya kita melarat total. Ketika kita melarat total, ya tidak bisa berbuat apa-apa, jadi budak terus. Afkar: Tetapi fenomena di dunia ini, ternyata Eropa dan negara-negara Barat, itu bisa maju tanpa 'adanya' Tuhan? GM: Peradaban itu maju atau tidak, itu menurut pandangan siapa dulu. Ketika peradaban kapitalis dikatakan maju, ya yang mengatakan pasti orang kapitalis juga. Apakah peradaban yang maju itu ketika orang punya mobil, teknologinya maju, dan segala macam atau yang seperti apa? Sekarang saya tanya, peradaban rasul itu peradaban tinggi atau rendah? "Tinggi pada zamannya," (sela Afk). Nah...! Pada zaman itu, kehidupan sangat sederhana sekali. Menempatkan dunia pada sesuatu yang sebetulnya. Hanya wasilah. Nah, sekarang kan berbalik, dunia menjadi tujuan. Ketika dunia menjadi tujuan, maka berbalik lah pemikiran manusia. Yaitu peradaban yang hebat, adalah peradaban yang bersifat duniawi. Saya menolak tesis demikian. Menurut saya malah itu bukan peradaban. Biar semua orang mengatakan peradaban saya tidak. Saya bebas. Wong saya hanya tunduk pada Allah kok. Ya, kuncinya di situ itu. Apakah namanya peradaban jika manusia dianggap mesin, jika manusia dianggap tidak mempunyai ruh, jika manusia dianggap sumber daya? Kita itu latah juga mengatakan kita itu sumber daya, kayak alam aja, yang kesananya untuk apa? Untuk produksi. Apakah namanya peradaban kalau mereka menciptakan teknologi canggih padahal merusak dunia, lebih mengerikan lagi untuk membunuh. Saya tegaskan tidak!!! [Darjie/Atceng]