Membangun Kuburan Orang-Orang Suci, Bolehkah? (2)
Salah satu yang cukup menghebohkan belakangan ini adalah penghancuran dan 
penjarahan makam Nabi Yunus as di Mosul oleh kelompok ISIS. Dengan 
beringasnya mereka merusak bangunan indah makam tersebut yang tentu saja 
dibangun sebagai tanda penghormatan kepada Nabi Yunus as. Mereka 
beralasan bahwa membangun kuburan adalah sebagai bentuk penyembahan 
kepada makhluk dan kesyirikan yang nyata. Tentu saja pendapat ini bukan 
hal yang baru, karena pandangan seperti ini dianut oleh 
kelompok-kelompok takfiri sebelum ISIS berdiri. Karena itu pada 
kesempatan ini, LI akan menganalisis masalah membangun kuburan para nabi dan 
rasul, wali, ulama, serta orang-orang saleh lainnya, agar kita 
tidak terjebak pada sikap ekstrim kaum jihad-takfiri ini yang 
mengatasnamakan agama. Tulisan ini dibuat dalam beberapa bagian.
 
b. Kuburan Orang Suci Termasuk Syiar Allah
“Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya tindakan 
ini adalah sebagian dari tanda ketakwaan hati” (Q.S. al-Hajj : 32)
Kata sya’air berasal dari kata sya’irah (syiar) secara bahasa berarti tanda, 
lambang. simbol atau alamat. Para ahli tafsir menyebutkan bahwa penggunaan 
kalimat sya’airallah dalam ayat di atas bermakna tanda-tanda agama Allah, 
program-program umum, 
tindakan-tindakan, tempat-tempat atau apapun yang mencerminkan agama 
Allah dan mengingatkan manusia kepada-Nya. Misalnya, di dalam al-Quran 
disebutkan bahwa bukit Shafa dan Marwa sebagai syiar Allah, “Sesungguhnya Shafa 
dan Marwah adalah sebagian dari syiar (dan tanda-tanda kebesaran) Allah. Maka 
barang siapa yang melakukan ibadah haji ke Baitullah atau 
berumrah, tidak ada dosa (baca: larangan) baginya mengerjakan sai antara 
keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan 
kerelaan hati (di samping kewajiban itu), sesungguhnya Allah Maha 
Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah : 158)
Begitu juga dengan manasik haji dan unta disebut sebagai syiar-syiar Allah :
“Demikianlah (manasik haji itu). Dan barang siapa mengagungkan 
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya tindakan ini adalah sebagian dari 
tanda ketakwaan hati” (Q.S. al-Hajj : 32).
“Dan telah Kami jadikan untukmu unta-unta gemuk itu sebagian dari syiar-syiar 
Allah (pada saat pelaksanaan ibadah haji). Kamu memperoleh 
kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah nama Allah ketika kamu 
menyembelihnya dalam keadaan berbaris (berdiri). Kemudian apabila telah 
roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang-orang 
fakir yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) 
dan orang-orang miskin. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu 
kepadamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (Q.S. al-Hajj: 36)
Tentu saja bukit Shafa da Marwa, manasik haji dan qurban unta disebut merupakan 
syiar Allah dikarenakan hal-hal tersebut menunjukkan pada 
keagungan, ketaatan dan penyembahan kepada Allah swt. Jika bukit shafa, 
marwa dan binatang unta menjadi syiar Allah, maka tentu para Nabi, wali, ulama 
dan orang-orang saleh yang menjadi pembawa dan pendakwah agama 
lebih layak menjadi syiar-syiar Allah yang diagungkan. Dan salah satu 
cara dari mengagungkan syiar-syiar Allah ini adalah dengan menjaganya 
dan menjadikannya sebagai pusat-pusat penting pengajaran agama agar 
terhindar dari kemusnahan dan kerusakan. Terlebih lagi hal itu 
memberikan pembelajaran sejarah bagi kita akan tempat-tempat dan 
kehidupan para orang-orang saleh tersebut, dan mengambil pelajaran dari 
sejarah adalah salah satu ajaran penting menurut syariat dan akal. 
Karena itu, konsep sya’airallah ini bersifat umum yang mencakup apa saja yang 
menjadikan manusia ingat pada Allah dan agama-Nya, dan 
mengagungkan syiar-syiar Allah ini merupakan cermin ketakwaan hati, 
“Demikianlah (manasik haji itu). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar 
Allah, 
maka sesungguhnya tindakan ini adalah sebagian dari tanda ketakwaan 
hati” (Q.S. al-Hajj : 32).
Membangun dan menjaga kuburan para wali adalah salah satu bentuk 
pengagungan pada agama Allah swt, karena membangun dan menjaga kuburan 
para wali termasuk dari cara mengagungkan syiar-syiar kebesaran Allah 
dan agama Islam. Dalam salah satu riwayat Rasul saw bersabda, “Telah 
menceritakan kepada kami Ibrahim bin al-Mustamir al-Uruqi yang berkata telah 
menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhabbab Abu 
Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Thahman 
dari Manshur dari Mujahid dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda “Di dalam 
masjid Al-Khaif terdapat kuburan atau makam tujuh puluh Nabi” (Musnad al-Bazzar 
2/48 no 1177)
Karena itu, peghacuran bangunan-bangunan yang melindungi makam-makam 
suci dengan tindakan brutal yang dilakukan kaum jihadi-takfiri seperti 
ISIS adalah bentuk ekstrimisitas dalam beragama dikarenakan kekeliruan 
memahami berbagai teks dan konteks keagamaan. Sebab teks dan konteks 
serta sejarah panjang ajaran Islam selalu mengindikasikan penghormatan 
pada bekas-bekas peninggalan yang memiliki nilai perjuangan dalam 
mendakwahkan ajaran Tuha. Berikutnya pada bagian ketiga kita akan ulas 
penghormatan Islam pada bekas-bekas peninggalan sejarah manusia suci. 
(hd/liputanislam.com)
Baca bagian pertama : 
http://liputanislam.com/kajian-islam/takfirisme/membangun-kuburan-orang-orang-suci-bolehkah/

________________________________
 
Mari share berita terpercaya, bukan hoax
sumber : http://liputanislam.com/
- See more at: 
http://www.inilah-salafi-takfiri.com/general/membangun-kuburan-orang-orang-suci-bolehkah-2#sthash.KBqgovsm.dpuf

Kirim email ke