Membangun Kuburan Orang-Orang Suci, Bolehkah? (3-selesai)
Salah satu yang cukup menghebohkan belakangan ini adalah penghancuran dan 
penjarahan makam Nabi Yunus as di Mosul oleh kelompok ISIS. Dengan 
beringasnya mereka merusak bangunan indah makam tersebut yang tentu saja 
dibangun sebagai tanda penghormatan kepada Nabi Yunus as. Mereka 
beralasan bahwa membangun kuburan adalah sebagai bentuk penyembahan 
kepada makhluk dan kesyirikan yang nyata. Tentu saja pendapat ini bukan 
hal yang baru, karena pandangan seperti ini dianut oleh 
kelompok-kelompok takfiri sebelum ISIS berdiri. Karena itu pada 
kesempatan ini, LI akan menganalisis masalah membangun kuburan para nabi dan 
rasul, wali, ulama, serta orang-orang saleh lainnya, agar kita 
tidak terjebak pada sikap ekstrim kaum jihad-takfiri ini yang 
mengatasnamakan agama.
 
C. Menghargai Peninggalan Orang-Orang Suci
”Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) itu tempat 
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian 
makam Ibrahim sebagai tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada 
Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku (ini) untuk orang-orang yang 
melakukan tawaf, yang beriktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (Qs. Al-Baqarah 
[2]:125)
Kita tahu bahwa maqam Ibrahim (di Mekkah 
itu) hanyalah bekas kakinya, tetapi Allah memerintahkan manusia untuk 
menjadikannya tempat salat. Jika membangun dan salat di tempat bekas 
kakinya Ibrahim as, sesuatu yang dibolehkan bahkan dianjurkan, maka 
bagaimana mungkin membangun atau salat di dekat kuburan Ibrahim as di 
Palestina sebagai syirik. Namun demikian, karena Allah swt telah 
menentukan kiblat kita ke Ka’bah, maka tidak boleh menjadikannya sebagai kiblat 
bagi kita. Artinya, yang perlu dipahami bahwa menghormati 
kuburan dengan sendirinya tidak dapat dinilai sebagai perbuatan syirik, 
sebagaimana menghormati atau salat dan sujud di hadapan Ka’bah tidak 
dimaknai menyembah dan beribadah kepada Ka’bah. Secara lahir, Ka’bah 
juga hanyalah tumpukan batu, namun kita harus menjaga dan meghormatinya. Lantas 
bagaimana jika yang disitu adalah kuburan tempat jasad Nabi 
Ibrahim as, atau jasad Rasulullah saw?
Ibnu Uqail al-Hanbali ditanya mana yang lebih utama, kubur Nabi saw 
atau Ka’bah? Maka ia mejawab, “Jika yang engkau kehendaki itu hanya 
kuburan, tentu Ka’bah lebih utama. Namun jika yang engkau kehendaki itu 
orang yang menjadi penghuni kubur, yakni Nabi saw, demi Allah, tiada 
akan ada suatu pun yang menandingi, baik itu Arsy, malaikat 
penyangganya, surga atau cakrawala tempat beredarnya planet, karena di 
dalam kubur itu terdapat tubuh yang kalau ditimbang dengan bumi dan 
seluruh langit, dia akan lebih berat.” (Sayid Al-Maliki, Membela Sunnah Nabi, 
2013, hal. 304)
Sayid Muhammad Alwi al-Maliki menegaskan, “Menjaga dan melestarikan 
barang-barang peninggalan Rasulullah saw adalah besar sekali manfaatnya. Dengan 
atsar itu, akan diketahui kebesaran umat Islam, 
menghilangkan skeptis atas kredibilitas para pelakunya, khususnya 
dinamika mereka sebagai lokomotif penggerak gerbong revolusi cara 
berpikir, menyangkut yang rasional ataupun irrasional, menunjukkan 
leadership yang begitu rapi. Dengan demikian mengabaikan situs 
kepurbakalaan adalah bagian degradasi dalam menantang kehadiran dunia 
modern. Suatu warisan yang begitu artistik yang telah meresap dalam jiwa bangsa 
yang bertauhid, akan menyakitkan hati mereka yang merasa 
memiliki Islam jika barang-barang itu tersia-siakan, di mana tidak 
diragukan lagi, barang atau situs peninggalan itu akan merias keagungan 
umat yang mengaku bertamaddun tinggi. Kita pun tentu amat kecewa jika 
saja indikasi yang menampakkan keotentikan agama ternyata telah sirna, 
tak pelak lagi, mungkin lambat laun kharisma umat itu sendiri akan pudar dan 
surut kemudian tidak dikenal orang” (Sayid Al-Maliki, Membela Sunnah Nabi, 
2013, hal. 319)
Jadi bagi Sayid al-Maliki memelihara peninggalan Nabi saw—dan tentu 
juga para Nabi lainnya dan orang-orang saleh—merupakan sebagai usaha 
untuk menjaga keotentikan agama. Dan menghancurkannya sama dengan 
menghancurkan keotentikan agama. Alquran sendiri mengindikasikan 
otentisitas agama dengan keseriusan menjaga peninggalan para Nabi, 
seperti misalnya Tabut Nabi Musa as, “Dan Nabi mereka mengatakan 
kepada mereka, ‘sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah 
kembalinya Tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu 
dan sisa dari peninggalan keluarga Musa da keluarga Harun; Tabut itu 
dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda 
bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. al-Baqarah: 248)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa Tabut 
tersebut memiliki potensi yang begitu besar, mereka taruh di garda depan 
balatentara hingga mereka mendapat kemenangan berkat tawassul kepada 
Allah swt, atau bertawassul dengan benda yang berada di dalamnya. Mereka tidak 
berperang melainkan Tabut itu mesti menyertai mereka. Dalam sisi 
ini Allah sendiri mengabarkan tentang fungsi dan isinya bahwa di 
dalamnya terdapat ketenangan ilahiyah dan beberapa barang peninggalan 
para Nabi, diantaranya tongkat abi Musa, tongkat Nabi Harun, pakaiannya, dua 
terompah dan dua papan dari kitab Taurat.
Begitulah Tabut menjadi salah satu bagian penting peninggalan Nabi 
Musa yang bersamanya kaum Yahudi selalu memperoleh kemenangan dalam 
peperangan. Sekarang perhatikan kisah sahabat Nabi saw, Khalid al-Walid 
yang diriwayatkan oleh at-Thabraniy berikut ini :
“Dari Ja’far bin Abdullah bin al-Hakam bahwa Khalid bin Walid 
kehilangan kopiahnya di peperangan Yarmuk. Maka ia memerintahkan 
pasukannya, ‘carilah’, namun mereka tidak menemukanya. Tapi ia berkata 
lagi, ‘carilah!’ hingga akhirnya mereka meemukannya, seuah kopiah yang 
sudah lusuh. Maka Khalid berkata, “Dahulu Rasulullah saw melakuka umrah 
dan mecukur rambutnya. Maka orang-orang berkeliling untuk mendapatkan 
rambut beliau. Pada saat itu, aku medahului mereka mengambil rambut 
bagian ubun-ubun beliau. Kemudian aku letakkan rambut tersebut dalam 
kopiah ini, maka tidaklah aku berperang dengan kopiah ini bersamaku, 
kecuali aku memperoleh kemenangan.” (H.R. Thabraniy)
Tentang menjaga dan menghormati rambut Nabi saw setelah beliau wafat juga 
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahih-nya berikut ini :
“Dari Usman bin Abdullah bin Muhib yang berkata, ‘Keluargaku 
mengutusku pada Ummu Salamah untuk membawa air dalam suatu wadah. Maka 
Ummu Salamah membawakan lonceng besar dari perak, di dalamnya ada rambut 
Rasulullah saw, yang mana jika ada seseorang yag sakit mata atau 
lainya, maka diutuslah seseorang kepada Ummu Salamah dengan membawa 
wadah (untuk tempat air). Usman berkata, ‘Aku melihat ke dalam lonceng 
besar itu, di dalamnya ada beberapa helai rambut merah” (H.R. Bukhari kitab 
al-Libas, no. 5446)
Begitulah perhatian dan peghormatan para sahabat dan Isteri 
Rasulullah saw terhadap salah satu bagian dari tubuh Rasulullah saw, 
yakni beberapa helai rambutnya. Mereka letakkan secara terhormat di 
dalam kopiah atau membuat tempat seperti lonceng untuk menjaganya. 
Lantas, bagaimana jika yang ada adalah seluruh jasad Rasulullah saw atau para 
Nabi lainya? Apakah tidak layak kita membuatkan tempat untuk 
menjaga dan menghormatinya? Jika baju, tongkat, cincin, pedang, sendal, 
rambut dan lainnya dari peninggalan para Nabi dan orang-orang suci 
lainnya merupakan hal baik untuk dilestarikan dan dibuatkan tempat untuk 
menjaganya seperti museum, maka bagaimana dengan jasad orang-orang suci 
tersebut, apakah tidak layak kita persiapkan tempat yang indah untuk 
menjaganya dan untuk menarik perhatian umat akan perjuangan mereka 
menegakkan agama, kebenaran dan keadilan. Perhatikanlah wahai orang-orang yang 
berpikir.Selesai. (hd/liputanislam.com)

________________________________
 
Mari share berita terpercaya, bukan hoax
sumber : http://liputanislam.com/
- See more at: 
http://www.inilah-salafi-takfiri.com/general/membangun-kuburan-orang-orang-suci-bolehkah-3-selesai#sthash.RrASPKlr.dpuf

Kirim email ke