Memilih Pemimpin Bangsa

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Beruntunglah kita, memiliki calon-calon presiden dan wakil presiden yang
hebat. Semuanya berpengalaman memimpin. Semuanya memikirkan rakyat. Semuanya
dekat dengan umat Islam. Semuanya melindungi kaum minoritas. Semuanya ingin
mensejahterakan kita. Semuanya adalah tokoh-tokoh Indonesia tulen.



Kalau pun ada issu macam-macam, itu hanyalah dinamika kampanye. Sering kali
tim sukses masing-masing calon memang lebih bersemangat katimbang
calon-calonnya sendiri. Tak ubahnya supporter sepak bola yang terlalu
bersemangat mendukung kesebelasannya , seringkali tim sukses dan pendukung
capres/cawapres lupa bahwa semua calon itu bersaudara. Sama-sama warga
Indonesia yang ingin kebaikan Indonesia.



Calon-calon itu, semuanya, adalah tokoh-tokoh Indonesia yang merasa didorong
oleh keinginan memimpin rakyat menuju Indonesia yang adil dan makmur
sebagaimana cita-cita Kemerdekaan kita. Dalam hal itu mereka melakukan
ijtihad-ijtihad politik yang tentu saja –namanya orang banyak—berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Masing-masing memiliki cara untuk mencapai
keinginan luhur itu. Termasuk dan terutama bagaimana cara merayu pemilih.
Bahkan ijtihad yang sekarang tidak sama dengan ijtihad tahun 2004. *Alhukmu
yaduuru ma’al illah, *dalilnya; Hukum berputar sesuai alasannya.


Maka jangan heran, kalau dalam pilpres 2009 sekarang ini, pasangan-pasangan
dan pendukung-pendukungnya tidak sama dengan dalam pilpres 2004 dulu. Dulu
SBY bersama JK berpasangan, diusung koalisi Partai Demokrat dengan beberapa
partai lainnya. Golkar waktu itu mencalonkan Wiranto dan Gus Solah di
putaran pertama; di putaran kedua mendukung pasangan Mega-Hasyim yang
diusung PDIP. Sekarang JK maju sendiri, dicalonkan Golkar berpasangan dengan
Wiranto yang dulu menjadi saingannya. Mega yang dulu berpasangan dengan
Hasyim yang ketua NU, kini berpasangan dengan Prabowo yang juga kader
Golkar.


Pendukung-pendukung para calon pun, meski ‘istiqamah’ dalam hal dukung
mendukung, namun berdasarkan ijtihad paling baru, pilihan mereka berubah
pula. Mungkin hanya orang-orang yang suka mengatasnamakan NU yang
benar-benar ‘istiqamah’ dan ‘konsisten’ menggunakan NU untuk mengampanyekan
calon pilihan yang mereka dukung.


Setiap orang –tidak terkecuali capres/cawapres-- pasti mempunyai kelebihan
dan sekaligus kekurangan. Mereka yang mendukung salah satu capres/cawapres,
pasti hanya akan melihat dan menonjolkan kelebihan-kelebihannya saja. Bila
mereka terlalu bersemangat, bahkan mungkin akan mereka-reka kelebihan yang
sejatinya tidak dimiliki oleh calonnya itu. Dan ini wajar dan tidak masalah.
Yang mungkin akan menjadi masalah apabila mereka tidak mencukupkan diri
dengan itu, tapi juga sambil mencari dan menonjolkan kekurangan-kekurangan
calon lain. Apalagi bila sengaja direka-reka kekurangan yang sejatinya tidak
dimiliki oleh calon lain itu.


Dulu, menjelang pilpres tahun 2004 ada seorang pendukung salah satu
capres/cawapres yang marah ketika mendengar saya mengatakan bahwa karena
semua calon adalah putera-putera Indonesia yang baik, saya jadi mudah untuk
menentukan pilihan. Bahkan dengan merem, menutup mata, saja, saya akan bisa
memilih pemimpin Indonesia dan tidak khawatir keblondrok. Saya tidak tahu
persis mengapa si pendukung tersebut marah. Bukankah saya tidak menjelekkan
atau merendahkan calon yang ia dukung, bahkan memuji dan mengangkatnya?


Boleh jadi lantaran terlampau semangat, si pendukung itu jengkel mendengar
orang bicara soal pilpres kok tidak secara jelas menyebut capres/cawapres
yang ia dukung. Mungkin juga dia berpikir, karena banyak kiai yang mendukung
capres/cawapres yang ia dukung, kenapa saya –yang katanya juga kiai—kok
tidak ikut mendukung. Kenyataan yang menarik: belakangan saya dengar, di
pilpres 2009 ini, si pendukung tersebut menyatakan akan golput.


Waba’du; kita semua sudah menyaksikan kampanye semua calon dan mendengarkan
program-program serta janji-janji mereka bila mereka menang. Bahkan sebelum
itu, kita sudah mengenal masing-masing mereka. Karena mereka semua adalah
tokoh-tokoh nasional yang tidak asing lagi. Maka kita bisa menjadikan semua
itu sebagai panduan untuk memilih pada saatnya nanti. Maksud saya
pengetahuan dan pengenalan kita terhadap masing-masing calon itulah yang
menurut saya patut dijadikan panduan untuk memilih. Dengan demikian dan
dengan niat ibadah, mengupayakan kemaslahatan Indonesia (bukan golongan),
kita akan menentukan pilihan hati kita masing-masing. Bismillah.


Mudah-mudahan Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang benar-benar
takut kepada Allah dan menyintai rakyatnya. Amin.



Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

Kirim email ke