Orang Islam Memusuhi Islam
Rabu, 15/10/2014 13:18:01 | Dibaca : 3650
http://www.suara-islam.com/read/index/12195/-Orang--Islam-Memusuhi--Islam

Judul laporan ini di atas "Orang Islam Memusuhi Islam", sesuatu yang musykil 
dan aneh, tapi dewasa ini banyak dilakukan orang Islam dalam skala luas dan 
strategis. Bukan hanya dilakukan atas nama pribadi tetapi juga atas nama 
lembaga, misalnya JIL (Jaringan Islam Liberal), Kelompok  Islam Sekuler. 
Sungguh aneh orang-orang seperti ini dengan sigap, pasang badan membela 
kepentingan orang non-Islam, Nasrani, menjaga gereja di Hari Natal seraya 
membenarkan seolah-olah di hari Natal, gereja-gereja akan diserbu, bahkan dibom 
orang Islam. Di sisi lain dengan amat lantang kelompok ini mengecam eksistensi 
kelompok  Islam tertentu. Inilah yang mereka lakukan terhadap FPI (Front 
Pembela Islam).

Kelompok Islam Sepilis ini bukan main  sangat ‘jagoan’ membela kubu Joko Widodo 
dalam Pilpres yang baru lalu. Pembelaan yang Spartan itu di blow up oleh 
media-media nasional yang menempatkan tokoh-tokoh kelompok Islam anti Islam 
itu, bagai pahlawan kebenaran, pahlawan keadilan, pahlawan demokrasi, pahlawan 
HAM dan seterusnya. Kejadian seperti ini bukanlah hal yang baru dan hanya marak 
di sekitar pencalonan Joko Widodo sebagai presiden. Mereka sudah melakukan 
sejak lama dengan sangat terorganisasi. Itulah yang terjadi saat harian Kompas 
di somasi tokoh-tokoh Islam dan diprakarsai KISDI pada 1997 dan harian milik 
Katolik itu terpaksa dan dipaksa menandatangani piagam pengakuan salah kepada 
umat Islam.

Pihak Kompas sendiri mengakui kesalahan fatal yang dilakukannya terhadap umat 
Islam, namun anehnya Kelompok Sepilis itu justru meradang dan mengutuk pembuat 
somasi itu dengan nalar yang sungguh’keblinger’. Untuk menyegarkan ingatan 
kembali kita kutip lagi kejadian-kejadian di mana tokoh-tokoh Islam itu 
mengutuk adanya somasi terhadap Kompas itu.

Pasca perjanjian damai TPI (Tim Pembela Islam) dengan Kompas, 8 Oktober 1977, 
di layar internet bertebaran artikel yang sebagain besar ditulis oleh Jusfik 
Hajar yang mengaku berkedudukan di Leiden, Negeri Belanda. Menurut Majalah 
Sinar, Jusfik Hajar adalah tokoh penting PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang 
berkedudukan di Leiden sekaligus sebagai aktifis Amnesti Internasional. Melalui 
serangkaian tulisannya di internet itu Jusfik menuduh kelompok KISDI dan TPI 
sebagai teroris Islam yang berlerilaku biadab, penindas, anti demokrasi, dan 
kalimat-kalimat caci-maki yang teramat kasar. Sementara Jusfik menuduh Kompas 
sebagai kelompok munafik, melemahkan instituasi keadilan, serta tidak bisa lagi 
menjadi wahana mempertahankan kebenaran, “Sudah begini hancurnya moral di 
Indonesia, sudah begini hancurnya  kejujuran dan hak asasi manusia di 
Indonesia,” tulis Jusfik gelar Sutan Maradjo Lelo.

Inheren dan senada tulisan Jusfik Hajar, niscaya ungkapan dan komentar 
Abdurrahman Wahid. Ketua Umum PB NU ini berkomentar di koran Merdeka, Minggu 12 
Oktober 1997, di mana Kompas dituduhnya sangat pengecut dan ternyata 
dianggapnya tidak  konsisten membawa panji-panji kebebasan berpikir, kebebasan 
bicara (menulis). Dan Wahid juga menuduh kasus ini ‘ujung-ujungnya’ duit alias 
sogokan uang.

Ada lagi komentar yang lebih ugal-ugalan dari AS Hikam, Staf Peneliti LIPI yang 
menulis di majalah D & R berjudul "Politik Somasi atau Ambisi Totaliter". 
Tulisan ini sudah disanggah oleh tulisan Ahmad Sumargono di majalah yang sama 
berjudul "Keragaman, Somasi dan Demokrasi" (D&R 25 Oktober 1997). Dalam 
tulisannya itu Hikam menohok munculnya somasi Kompas-TPI hanya membuat dunia 
pers terpuruk, dampak negatifnya, kata Hikam,  jauh lebih besar ketimbang 
pembreidelan, sekaligus menjadi symptom dari sebuah visi politik totaliter yang 
akan merobohkan sendi-sendi kehidupan demokrasi di Indonesia. Amboi, sebuah 
analisa seorang intelektual LIPI yang entah dari mana ia mengumpulkan 
data-datanya. Apalagi kemudian Hikam menuduh apa yang dilakukan KISDI-TPI 
sebagai ambisi totaliter. Sungguh gegabah tuduhan ini.

Tidak dipelajari betul materi persoalan yang dirinci TPI adalah materi yang 
secara yuridis amat sangat kuat. Sementara di sisi lain Kompas—yang niscaya 
bukan terdiri kumpulan orang tolol—menyadari sepenuhnya kelemahan dirinya jika 
materi ini dipersoalkan di pengadilan. Salah satu materi adalah Hak Jawab yang 
berulangkali telah dibuat klien TPI, namun selalu diingkari Kompas dan tidak 
pernah dimuat. Hikam seorang intelektual muda telah dibalikkan secata telak 
oleh tulisan Sumargono di majalah berita yang sama sehingga memunculkan kesan 
betapa seorangn Hikam yang tidak tahu persis materi masalah somasi Kompas ini, 
sekaligus menyiratkan betapa Hikam yang selalu mendengungkan kecintaan pada 
demokrasi, Hak Asasi Manusia, namun sungguh ironis pula  tidak mampu mentolerir 
perbedaan seperti yang diyakini oleh TPI maupun KISDI beserta ratusan tokoh 
eksponen umat Islam  yang nama-namanya terdiri  tokoh yang kredibilitasnya 
sudah diakui di Indonesia.

Soal somasi ini bagi yang terkena (Kompas) sudah mereka terima dengan ikhlas. 
Tentu sangat mengherankan berbagai pihak di luarnya yang mengklaim ikut 
bertanggungjawab pada penegakkan demokrasi dan ikut pula membesarkan Kompas, 
justru tampil  bagai mereka ‘pemilik’ Kompas atau mereka aktifis Katolik. Di 
balik sikap mereka ini tentulah ada maksud dan tujuan tersendiri.

Hal serupa juga dilakukan sebuah panitia diskusi ilmiah kerjasama The Jakarta 
Post, Paramadina, ISAI ( Institut Srudi Arus Informasi) yang menggelar diskusi 
panel bertajuk "Media dan Umat Islam". Sasaran diskusi ini seperti terlihat 
pada kerangka acuan yang dibuat tak lain pembicaraan follow-up sesudah somasi 
TPI-Kompas yang telah berakhir dengan perdamaian itu. Sasaran yang lain 
tampaknya hanya menempatkan umat Islam dalam sasaran tembak sebagai kelompok 
yang mengarah sebagai diktatpr mayoritas. Diskusi yang digelar pada 10 Oktober 
1997 itu rencananya hendak menampilkan pembicara Sumargono dari KISDI, Ninok 
Leksono (Kompas), Haidar Bagir (Republika), M. Sobari (penulis kolom Kompas). 
Ninok dan Sumargono tidak bersedia hadir dalam diskusi itu dan digantikan 
Komaruddin Hidayat, tokoh Paramadina (kini, mantan UIN Syarif Hidayatullah), AM 
Fatwa (tokoh-klien TPI). Dalam diskusi ini muncul komentar Komaruddin Hidayat, 
bahwa sikap TPI-KISDI yang memperkarakan
 Kompas itu sebagai sikap pubertas layaknya kaum remaja.

Terhadap komentar Komaruddin Hidayat ini Pemimpin Umum Media Dakwah yang juga 
Sekjen Dewan Dakwah, Hussein Umar memang sangat menyesalkan meskipun tidak 
merasa kaget. Satu, dua tahun yang lalu katanya di depan tokoh-tokoh gereja, 
dan aktifis Kristen, Komaruddin menghujat umat Islam habis-habisan. Wilson 
Nadeak wartawan senior Suara Pembaharuan memuat kasus yang menggegerkan itu, 
“Tidak usah kaget”, ujar Hussein Umar. Biarlah dia menikmati keberadaannya di 
Menara Gading. Dia tidak pernah merasakan getirnya penderitaan para dai, 
aktifis umat Islam di lapangan dalam melakukan perlawanan terhadap sikap-sikap 
aniaya selama lebih dari dua dasawarsa.

Orang-orang seperti Komaruddin tidak punya gairah –meminjam istilah Buya 
Hamka--. Apa yang dilakukannya pada saat putri-putri Islam yang dipersalahkan 
mengenakan jilbab diseret dari ruang-ruang kelas. Saat SDSB meruyak masyarakat 
merusak akhlak rakyat kecil sampai ke desa-desa apa yang dilakukan seorang 
Komaruddin? Kasus Miras, aliran kepercayaan, RUU Perkawinan, Pemurtadan umat 
dan berbagai masalah umat lainnya. Apa sikap orang-orang seperti Komaruddin 
terhadap penindasan yang dialami Muslim Bosnia, Palestina, Kashmir, Chechnya?

Sebaliknya tokoh seperti M. Natsir, Roem, Sjafruddin Prawiranegara yang 80 
Tahun justru terusik hati nurani mereka membela putri-putri berjilbab itu. 
Tidak semata-mata karena alasan agama bahkan alasan Hak Asaasi Manusia. Saya 
teringat, kata Hussein Umar, Pak Natsir mengucapkan kata-kata yang sangat 
menyentuh terhadap putri-putri yang terusir dari sekolah negeri, “Anak-anak ini 
pilihan Allah, mereka berani mengambil sikap di saat banyak orang menyerah 
terhadap kekuasaan. Mereka memilih keluar dari sekolah negeri demi 
mempertahankan apa yang diyakininya!” kata Pak Natsir.

Baik juga ditranyakan kepada Komaruddin apakah dia benar-benar membaca 
poin-poin dari somasi itu ? Apakah orang-orang seperti Kuntowijoyo, M. Amien 
Rais, Syafii Maarif, KH Misbach dan lain-lain itu termasuk orang-orang yang 
mengalami pubertas layaknya remaja seperti disebut Komaruddin? Kalau 
Abdurrahman Wahid sudah jelas dia“sulit” membaca.

Ninok Laksono kabarnya tidak bersedia hadir dengan alasan masalah somasi Kompas 
sudah selesai final. Sumargomo berdalih selain ia sudah terikat dengan acara di 
lingkungan HMI Cabang Jakarta, ia melihat acara itu hanya menjadikan umat Islam 
sebagai sasaran dan korban (victim), seolah-olah umat Islam hanya menggunakan 
kemayoritasannya untuk menjadi diktator dan seterusnya, kata Margono.

Di sisi lain kasus somasi TPI-Kompas ini sejatinya belum menyentuh substansi 
sasaran somasi yang sebenarnya, yakni memberikan pelajaran  yang pahit buat 
Kompas yang selama ini justru menguasai bidang informasi dan telah memanfaatkan 
apa yang dikuasainya itu selalu menerjang aspirasi umat Islam baik secara halus 
maupun secara kasar. Penyelesaian somasi yang teramat cepat ini banyak pula 
disesali umat Islam yang melapor ke Media Dakwah-Dewan Dakwah, khususnya 
setelah membaca secara lengkap laporan utama Media Dakwah edisi bulan 
sebelumnya berkaitan gugatan tokoh-tokoh umat ke Kompas ini.

Banyak kalangan Islam yang menghubungi Media Dakwah dan menyesalkan cepat 
selesainya somasi Kompas itu sebelum pelajaran pahit yang sebenar harus 
diterima Kompas.

Dari peristiwa somasi Kompas oleh TPI pada akhir 1997 itu seperti dikutip di 
atas telah menyiratkan betapa banyak orang-orang Islam, terdiri tokoh-tokoh 
justru memusuhi aspirasi Islam. Sikap seperti  itu sampai hari ini tetap marak 
di Indonesia malah lebih besar skala dan gerakan mereka. Umat Islam harus lebih 
tegas menghadapi para komprador dan tokoh-tokoh Islam munafik seperti itu. 
Wallahu a'lam bissawab. [ASA]

Kirim email ke