Peredaan di Gaza Prestasi Roket-Roket Primitif 
 
 
<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=7100
&pop=1&page=0&Itemid=1>          
<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id
=7100&itemid=1>         
Selasa, 24 Juni 2008    
Jalan menuju rekonsiliasi menyeluruh untuk menyelesaikan konflik di Gaza
makin lebar. Namun peredaan sementara tak akan mengubur perlawanan
Analisis Dunia Islam
 

Oleh Musthafa Luthfi *

Pemerintah Israel mulai Senin (23/6) mencabut secara bertahap embargo
atas wilayah Gaza Palestina berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa sebagai
implementasi atas kesepakatan appeasement (peredaan) antara Hamas dan
negeri Yahudi itu lima hari sebelumnya.

Terlepas dari tujuan politis dari masing-masing pihak yang terlibat
dalam kesepakatan peredaan terutama Gerakan Perlawanan Islam Palestina
(Hamas) dan Israel , kesepakatan tersebut merupakan realita yang memang
harus diterima semua pihak meskipun kelanjutannya tidak terjamin.

Pasalnya, gencatan senjata serupa telah beberapa kali dilanggar negara
Yahudi tersebut yang tentunya menimbulkan reaksi kuat dari gerakan
perlawanan Palestina terutama dengan cara melakukan bom syahid akibat
balance of power (perimbangan kekuatan) yang berat sebelah.

Secara realistis kesepakatan yang mulai efektif sejak Kamis (19/6) atas
usaha penengah dari Mesir itu tidak akan diterima Israel seandainya
tidak merasa adanya ancaman serius akibat tembakan roket faksi
perlawanan Palestina ke pemukiman-pemukiman warga Yahudi di dekat
perbatasan Gaza .

Meskipun menggunakan roket dari bahan-bahan yang sudah ketinggalan
zaman, namun perlawanan Palestina terutama dari faksi Hamas dan Al-Jihad
Al-Islami yang ditembakkan ke wilayah Sderot dan pemukiman lainnya,
mampu menimbulkan balance of fear (perimbangan ketakutan).

Singkatnya, peredaan tersebut membuktikan tanpa ada keraguan bahwa
perlawanan bersenjata satu-satunya yang dapat mempengaruhi para pemimpin
Yahudi Israel untuk merespon tuntutan-tuntutan Palestina.

Selama 15 tahun belakangan ini, sejak Persetujuan Oslo tahun 1993, tidak
terhitung bilangan perundingan politis yang dilakukan para perunding
Palestina dengan negara Yahudi tersebut namun tak sejengkal pun Tel Aviv
surut dari sikap keras kepala meskipun pihak Palestina sendiri telah
memberikan banyak konsesi.

Peredaan kali ini merupakan salah satu dari peredaan-peredaan serupa
sebelumnya meskipun tak satu pun yang berlangsung langgeng sesuai
kesepakatan akibat pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan negeri
zionis itu.

Namun Tel Aviv kali ini sangat menyadari bahwa pelanggaran akan dibayar
mahal mengingat masalah keamanan besar yang ditimbulkan hujan roket
badaiyah (primitif) terhadap pemukiman Sderot dan pemukiman sekitarnya.

Sementara invasi darat luas ke Gaza untuk menghentikan hujan roket sulit
diterapkan karena tidak ada jaminan bahwa korban tentara Israel sedikit.
Bila negeri Yahudi itu dapat menjamin bahwa korban di pihak tentaranya
tidak besar bila menginvasi Gaza secara meluas niscaya telah dilakukan
sejak lama.

Peredaan kali ini juga sebagai buah dari shumuud (ketahanan) gerakan
perlawanan menghadapi aksi militer dan embargo Israel meskipun dengan
senjata primitif. Sekaligus membuktikan bahwa tembakan roket selama ini
bukanlah aksi yang abats (sia-sia) sebagaimana yang selalu didengungkan
otoritas Palestina di Ramallah dan sejumlah pemimpin Arab lainnya.

Kemenangan

Dengan kata lain, persetujuan Israel atas tawaran Hamas tersebut sebagai
kemenangan gerakan perlawanan Palestina yang paling disegani negeri
Zionis itu atas strategi yang diterapkan selama ini meskipun sekitar 12
bulan diembargo sejak dituduh mengkudeta otoritas Palestina (baca :
gerakan Fatah) 13 Juni tahun lalu.

Sejumlah pemimpin Hamas menyebutkan peredaan itu sebagai kemenangan
meskipun banyak pihak di Palestina dan dunia Arab menilai pernyataan
para pemimpin Hamas tentang kemenangan tersebut sekedar "bualan politis"
semata.

Namun untuk mengetahui kebenaran klaim Hamas itu, cukuplah melihat
pengakuan pejabat negeri Yahudi sendiri. Wakil PM Israel, Haim Ramon
misalnya menegaskan begitu negaranya menerima tawaran Hamas "gencatan
senjata bagi Israel merupakan pengakuan atas kegagalan".

Lebih lanjut ia mengatakan "di Timur Tengah masih terjadi pertarungan
antara negara-negara moderat dan Islam radikal. Nah ketika yang terakhir
ini menang maka kita di Israel mengalami kekalahan".

Kelanjutan dari peredaan situasi itu adalah perundingan kedua belah
pihak (Hamas-Israel) yang ditengahi Mesir yang hampir dipastikan
berakhir dengan keputusan Israel untuk membebaskan ratusan tahanan
Palestina sebagai imbalan pembebasan tentara Israel, Gilad Shalit yang
masih disekap Hamas.

Peredaan ini juga berarti kemenangan politis bagi gerakan perlawanan
Palestina itu yang meskipun masih dianggap sebagai gerakan terorisme
namun akhirnya mendapat pengakuan Barat. Hal ini dapat dilihat dari
sikap Israel dan Uni Eropa yang membolehkan Hamas ikut ambil bagian
dalam perundingan pembukaan pintu perbatasan Rafah dengan Mesir pekan
depan.

Di tingkat dalam negeri peredaan tersebut berarti posisi tawar Hamas
dalam dialog komprehensif antara Fatah-Hamas dan kekuatan parpol lainnya
makin kuat untuk mengakhiri perpecahan intern Palestina sejak 2006 guna
membentuk pemerintahan persatuan nasional sesungguhnya.

Embargo akan diperingan Israel pada saat Hamas masih tetap 'berkuasa' di
Gaza sehingga 'harga' yang harus dibayar dalam perundingan dengan Fatah
dan faksi-faksi Palestina lainnya lebih kecil.

Selama masa peredaan baik seminggu, sebulan atau selama enam bulan
sesuai kesepakatan tersebut, Hamas hampir dapat dipastikan dapat
membuktikan di lapangan bahwa ia mampu menahan faksi-faksi perlawanan
lainnya untuk tidak melanggar kesepakatan tersebut.

Karenanya begitu Israel menyetujui peredaan, Hamas langsung mengontak
faksi-faksi lainnya seperti Al-Jihad Al-Islami dan mendapat jaminan
untuk mematuhi persetujuan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Hamas
sebagai salah satu kunci penentu dalam dialog komprehensif intern
Palestina mendatang.

Rekonsiliasi  menyeluruh

Dengan perkembangan terakhir di Gaza tersebut, jalan menuju rekonsiliasi
menyeluruh makin lebar. Semua faksi Palestina sebenarnya menyadari bahwa
rekonsiliasi tersebut akan memperkuat posisi Palestina dalam perundingan
dengan Israel.

Tanda-tanda kesediaan faksi Fatah untuk menyukseskan rekonsiliasi
dimaksud dapat dilihat dari upaya lobi yang dilakukan oleh Presiden
Mahmoud Abbas ke sejumlah negara Arab untuk mendapatkan dukungan Arab
terhadap posisi Fatah.

Salah satu negara Arab yang dikunjungi Abbas adalah Yaman karena dasar
kelanjutan dialog mendatang adalah Deklarasi Sana'a atas inisiatif Yaman
yang ditandatangani Fatah dan Hamas di ibu kota Yaman, Sana'a pada 23
Maret lalu.

Prakarsa Yaman tersebut berisi 7 butir meliputi kembalinya kondisi Gaza
sebelum 13 Juni 2007 ketika Hamas menghentikan kekuasaan Fatah,
pelaksanaan pemilu dini, memulai kembali dialog berdasarkan hasil
pertemuan Kairo 2005 dan persetujuan Mekah 2007.

Landasan dialog adalah bahwa bangsa Palestina adalah bagian yang tak
terpisahkan antara satu dengan lainnya, otoritas Palestina terdiri dari
Presiden yang terpilih langsung, parlemen dan pemerintahan persatuan
nasional. Menghormati dan komitmen terhadap konstitusi, pembentukan
kembali aparat keamanan secara nasional dengan tidak loyal terhadap
faksi tertentu namun loyal kepada pemerintahan persatuan nasional. 

Sebagai pemrakarsa, Yaman hampir dapat dipastikan akan tetap pada posisi
dasar semula yang memilih sikap netral dalam dialog mendatang agar mudah
menjembati faksi-faksi Palestina apabila terdapat kendala yang kembali
menganjal.

Namun yang selalu tetap diwaspadai adalah usaha AS dan Israel untuk
tetap mencari celah guna menggagalkan rekonsiliasi. Persetujuan 2005 di
Mesir dan Persetujuan Mekah tahun 2007 telah membuktikan bahwa kegagalan
implementasinya lebih disebabkan faktor ekstren yaitu intervensi
AS-Israel untuk mempengaruhi Fatah agar terus menekan Hamas agar tunduk
terhadap keinginan politis kedua negara tersebut.

Terlepas dari peluang sukses rekonsiliasi dimaksud, peredaan di Gaza
kali ini paling tidak bagi pihak-pihak yang anti perlawanan baik di
dalam Palestina dan di kalangan tokoh-tokoh Arab lainnya, dapat dilihat
sebagai salah satu prestasi dari perlawanan sehingga opsi perundingan
politis tidak dengan sendirinya mengubur opsi perlawanan

<<printButton.png>>

<<emailButton.png>>

Kirim email ke