Setiap anak yang dilahirkan adalah atas dasar Islam dan inilah yang dimaksud
dengan fithrah dalam firman Allah Ta'ala berikut ini,

"Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif (tauhid).  Fithrah
(ciptaan) Allah, yang Allah telah fithrahkan (ciptakan) manusia atas dasar
fithrah tersebut.  Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.  Itulah agama
yang lurus akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Ar Rum :
30)

Berkata Imam al Bukhari, "Al Fithrah yakni Islam" (Kitab Fathul Baari' no.
4775).  Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa pendapat yang paling masyhur
tentang arti fithrah adalah al Islam.  Dan berkata pula Imam Ibnu Qayyim,
"Bahwa kaum salaf tidak memahami lafazh fithrah kecuali al Islam" (Kitab
Fathul Baari no. 1385)

Demikian pula dengan sabda Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam berkaitan
dengan masalah fithrah ini.  Dari Abu Hurairah ra., Nabi ShallallaHu 'alaiHi
wa sallam bersabda,

"Kullu mauludin yuuladu 'alal fithrah, fa-abawaaHu yuHawwidaaniHi aw
yunashshiraaniHi aw yumajjisaaniHi" yang artinya "Setiap anak dilahirkan
atas dasar fithrah (al Islam), kemudian kedua orangtuanyalah yang
menjadikannya Yahudi atau Nashara atau Majusi" (HR. al Bukhari no. 1358,
Muslim 8/52-54 dan lainnya)

Maka dari itu ketika sang buah hati lahir ke dunia dari rahim ibu yang
muslimah maka hendaknyalah kaum muslimin memberikan suatu bingkisan yang
istimewa untuknya yaitu bingkisan yang indah yang sesuai dengan sunnah
Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam agar keberkahan yang banyak
tercurah kepadanya.

Adapun sunnah - sunnah yang mulia berkaitan dengan kedatangan sang buah hati
adalah sebagai berikut :

Pertama : Memberikan nama kepada anak pada hari pertama atau hari ketujuh.

Dari Anas bin Malik ra., Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam bersabda,

"Telah dilahirkan untukku semalam seorang anak laki - laki, maka aku namakan
dia dengan nama bapakku yaitu Ibrahim" (HR. Muslim 7/76)

Imam Nawawi mengatakan bahwa di dalam hadits tersebut diperbolehkan memberi
nama kepada anak pada hari kelahirannya dan juga diperbolehkan memberi nama
dengan nama para Nabi (Kitab Syarah Muslim)

Dari Samurah bin Jundub ra., Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam
bersabda,

"Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (kambing) untuknya pada
hari ketujuh dan dicukur rambut(nya) dan diberi nama" (HR. Abu Dawud no.
2838, at Tirmidzi no. 1522, An Nasai no. 4231, Ibnu Majah no. 3165 dan
lainnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwaa-ul Ghalil no. 1165)

Sedangkan nama yang paling dicintai Allah Ta'ala adalah Abdullah dan
Abdurrahman, sebagaimana sabda Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam,

"Sesungguhnya nama - nama kamu yang paling dicintai Allah ialah Abdullah dan
Abdurrahman" (HR. Muslim 6/169)

Kedua : Memberikan kabar gembira kepada kaum muslimin

Karena kabar gembira itu dapat menggembirakan dan menyenangkan seorang
hamba, maka seorang muslim disunnahkan segera menyampaikan dan
memberitahukan kabar gembira kepada saudaranya, sehingga ia menjadi senang
karenanya (Lihat Tuhfah al Wadud oleh Ibnul Qayyim al Jauziyyah)

Allah Ta'ala berfirman,

"Maka Kami pun memberi kabar gembira kepadanya dengan lahirnya seorang anak
yang penyabar" (QS. Ash Shaffat : 101)

"Dan mereka memberikan kabar gembira kepadanya dengan lahirnya seorang anak
yang alim (Ishaq)" (QS. Adz Dzariyat : 28)

"Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang bernama Yahya" (QS. Maryam : 7)

Ketiga : Mentahniknya ketika lahir atau sehari sesudahnya.

Tahnik adalah menguyah sesuatu kemudian meletakan/memasukkan ke mulut bayi
lalu menggosok - gosokkan ke langit - langit (mulut)nya (Fathul Baari
Kitabul 'Aqiqah).  Menurut Imam an Nawawi tahnik ini termasuk sunnah Nabi
ShallallaHu 'alaiHi wa sallam dengan kesepakatan ulama (Syarah Muslim
Kitabul Adab).

Dalilnya adalah dari Abu Musa ra., ia berkata,

"Telah dilahirkan untukku seorang anak laki - laki.  Lalu aku membawanya
kepada Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam, kemudian beliau menamakannya
Ibrahim, lalu beliau mentahniknya dengan sebuah kurma dan mendoakan
keberkahan untuknya, lalu menyerahkannya kepadaku (kembali)" (HR. al Bukhari
no. 5467 dan Muslim 6/175)

Keempat : Mendoakannya setelah ditahnik

Yaitu mendoakan keberkahan untuknya ketika anak itu lahir dan waktunya
sesudah tahnik sebagaimana hadits sahabat Abu Musa ra sebelumnya.  Adapun
lafazh doanya adalah,

"BaarakallaHu fiHi" yang artinya "Semoga Berkah Allah kepadanya" atau
"AllaHumma baarik fiih" yang artinya "Ya Allah berkahilah ia" (Kitab Fathul
Baari' no. 3909 oleh Al Hafizh Ibnu Hajar)

Yang dimaksud dengan barakah adalah tetapnya kebaikan dan banyaknya kebaikan
(Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid oleh Syaikh Utsaimin).

Kelima : Mengadakan 'Aqiqah pada hari ketujuh.

'Aqiqah menurut bahasa artinya sembelihan atau pemotongan.  Ini arti yang
dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal sehingga beliau mengatakan, "Aqiqah itu
artinya tidak lain melainkan sembelihan itu sendiri" (Tuhfatul Maudud VI/5)

Sedangkan menurut istilah arti 'aqiqah ialah, "Menyembelih kambing untuk
anak pada hari ketujuh dari hari kelahirannya".

Hadits - hadits yang berbicara tentang disyariatkannya aqiqah terkumpul dari
fi'il (perbuatan) dan qaul (perkataan) Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam.
Dari fi'il beliau telah mutawatir beritanya bahwa beliau meng'aqiqahkan
kedua cucu beliau yaitu Hasan dan Husain.  Salah satunya adalah dari jalan
Abdullah bin Abbas ra., ia berkata,

"Sesungguhnya Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam telah meng'aqiqahkan
untuk Hasan dan Husain (masing - masing) dengan dua ekor kambing kibasy"
(HR. an Nasai no. 4219, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwaa-ul
Ghalil no. 1164)

Adapun jumlah kambing yang disembelih untuk anak laki - laki adalah 2 ekor
dan untuk anak perempuan adalah satu ekor.  Dari Aisyah ra., ia berkata,

"Sesungguhnya Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam telah memerintahkan
kepada mereka agar kami ber'aqiqah untuk anak laki - laki dua ekor kambing
yang sama dan untuk anak perempuan seekor kambing" (HR. at Tirmidzi no.
1513, at Tirmidzi mengatakan, "Hadits ini hasan - shahih", Syaikh al Albani
mengatakan dalam al Irwaa no. 1166 bahwa sanad hadits ini shahih)

Berkenaan dengan hukum 'aqiqah para ulama berbeda pendapat, namun pendapat
jumhur (kebanyakan) ulama adalah seperti pendapatnya Imam Malik yang
mengatakan dalam al Muwaththa, "Dan 'aqiqah itu tidaklah wajib, tetapi
dianjurkan sebagai sunnah untuk diamalkan" (Lihat juga Syarhus Sunnah IX/276
oleh al Baghawi dan lainnya).

Sementara itu yang dimaksud dengan hari ketujuh adalah dimana hari kelahiran
itu dihitung sebagai satu hari dan ditambah dengan enam hari berikutnya,
misalnya sang buah hati lahir pada hari Ahad (ini dihitung satu hari) maka
penyembelihan dilakukan pada hari Sabtu dan seterusnya (Lihat perkataan Imam
an Nawawi dalam Majmu' Syarah Muhadzdzab 8/431)

Dan daging aqiqah sebagiannya dapat dimakan dan sebagian dibagikan kepada
tetangga, fakir dan miskin serta diperbolehkan pula mengundang orang untuk
memakan daging 'aqiqah (Lihat Tuhfah al Wadud oleh Ibnu Qayyim al
Jauziyyah).

Keenam : Mencukur rambut kepala bayi pada hari ketujuh.

Sunnah mu'akkadah mencukur rambut kepala bayi pada hari ketujuh hingga habis
berdasarkan hadits Samurah bin Jundub ra. yang telah disebutkan di atas.
Dan dilarang mencukur rambut secara qaza' yaitu mencukur habis sebagian
rambut kepala bayi dan membiarkan sebagian yang lain.  Dari Ibnu Umar ra.,
ia berkata,

"Rasulullah melarang potongan rambut qaza'" (HR. al Bukhari no. 5920 dan
Muslim no. 2120)

Demikianlah bingkisan kasih untuk si buah hati berdasarkan sunnah Rasulullah
ShallallaHu 'alaiHi wa sallam.  Semoga tulisan yang sederhana ini bisa
menjadi kado bagi kaum muslimin yang sedang menanti putra - putrinya lahir
ke dunia.  Salam sayang saya buat si kecil.  BarakallaHu fiHi.

Maraji' :

1. Buah Hati yang Dinanti, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdar, Darul
Qalam, Jakarta, Cetakan Keempat, 1425 H/2005 M.
2. Ringkasan Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, Peringkas : Abu Shuhaib
al Karami, Pustaka Arafah, Solo, Cetakan Pertama, Maret 2006.


Catatan Penting :

Dha'ifnya Hadits Mengadzankan Bayi yang Baru Lahir

Dari 'Ubaidullah bin Abi Rafi' dari bapaknya (yakni Abu Rafi'), ia berkata,
"Aku pernah melihat Rasulullah adzan di telinga Hasan bin Ali ketika
dilahirkan Fatimah" (HR. Abu Dawud no. 5105, Tirmidzi no. 1514 dan Baihaqi
9/305, semuanya dari jalan Sufyan Ats Tsauri dari 'Ashim bin 'Ubaidillah
dari bapaknya)

Sanad hadits ini dha'if karena 'Ashim bin Ubaidillah bin 'Ashim adalah
seorang rawi yang lemah dari sisi hafalan.  Dia telah dilemahkan oleh
jama'ah ahli hadits seperti : Ahmad bin Hambal, Sufyan bin Uyainah, Abu
Hatim, An Nasai, Ibnu Ma'in dan lainnya sebagaimana diterangkan oleh Al
Hafizh pada Kitab Tahdzib 5/46-49.

Telah ada 2 syahid bagi hadits di atas, yaitu dari hadits Husain bin Ali ra.
dan Abdullah bin Abbas ra.  Tetapi kedua hadits tersebut maudhu' (palsu),
yang sama sekali tidak dapat dipakai sebagai penguat bagi hadits
mengadzankan bayi dari hadits 'Ashim bin Ubaidillah.

Karena pada hadits Husain bin Ali ra. terdapat rawi yang bernama Jubarah dan
Yahya bin 'Alaa' Al Bajaliy.  Al Bukhari berkata tentang Jubarah, "Haditsnya
mudhtharib" (Mizaanul I'tidal juz 2 hal. 387 oleh Imam Adz Dzahabi),
sementara itu Imam Ahmad berkomentar terhadap Yahya bin 'Alaa' Al Bajaliy,
"Seorang pendusta, pemalsu hadits" (Mizaanul I'tidal juz 4 hal. 397)

Untuk pembahasan lebih mendalam silahkan merujuk ke Kitab Silsilah Dha'ifah
no. 321 dan no. 6121 karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.


Maraji':
1. Disarikan dari Tulisan Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat pada
Majalah As Sunnah, Yayasan Lajnah Al Istiqamah, Solo, Edisi 05/IX/1426
H/2005 M, hal. 19.
2. Al Masaa-il Jilid 5, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darus
Sunnah, Jakarta, Cetakan Pertama, November 2005.



Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya,
dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan :

Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini.

Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ia berkata :
"Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali
dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu 'anha melahirkannya".

Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam
Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu'ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir
(931-2578) dan Ad-Du'a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-392),
Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : "Shahih isnadnya dan Al-Bukhari
dan Muslim tidak mengeluarkannya". Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim
dan berkata : "Aku katakan : Ashim Dla'if". Berkata At-Tirmidzi : "Hadits
ini hasan shahih".

Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari
Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.

Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-Haitsami
meriwayatkannya dalam Majma' Zawaid (4/60) dari jalan Hammad bin Syua'ib
dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan
tambahan.

"Artinya : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain".

Rawi berkata pada akhirnya : "Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat
demikian".

Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main. Berkata
Al-Bukhari tentangnya : "Mungkarul hadits". Dan pada tempat lain Bukhari
berkata : Mereka meninggalkan haditsnya".

Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : "Dalam sanadnya ada Hammad bin
Syua'ib dan ia lemah sekali".

Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah, dan
Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan matan, di
mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan
mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain dan ia
menambahkan lafadz : "Al-Husain" dan perintah adzan. Hammad ini termasuk
orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan.
Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak sedangkan ia
telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan lebih kuat dlabtnya
yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini mungkar, pertama
dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia menyelisihi rawi yang tsiqah.

Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada
Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : "Ia Dla'if", dan
Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu'bah berkata :
"Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun masjid Bashrah
niscaya ia berkata : 'Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa sanya beliau membagunnya".

Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : "Telah berkata Abu Zur'ah dan
Abu Hatim : 'Mungkarul Hadits'. Bekata Ad-Daruquthni : 'Ia ditinggalkan dan
diabaikan'. Kemudian Daruquthni membawakan untuknya hadits Abi Rafi bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan
Al-Husain" (selesai nukilan dari Al-Mizan).

Maka dengan demikian hadits ini dha'if karena perputarannya pada Ashim dan
anda telah mengetahui keadaannya.

Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi' dalam kitabnya Tuhfatul
Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid bagi
hadits Abu Rafi'. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-Husain
bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul "Sunnahnya adzan pada
telinga bayi". Namun kita lihat keadaan dua hadits yang menjadi syahid
tersebut.

Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/8620)
dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi ia berkata :
Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib dari Manshur bin Shafih
dari Abu Ma'bad dari Ibnu Abbas.

"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada
telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga
kanannya dan iqamah pada telinga kiri".

Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.

Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu' (palsu) dan cacat (ilat)nya adalah
Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-Taqrib :
"Matruk".

Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta'dil 91/2/26) tarjumah no. 109 :'Aku
mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tidak menulis
hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)".

Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : "Ibnul Madini mendustakannya dan berkata
Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.

Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits bahwa
hadits yang dla'if tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan kecuali jika
hadits tersebut datang dari jalan lain dengan syarat tidak ada pada jalan
yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi hadits yang lemah,
-pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk.
Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau
pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu tetap lemah
dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai untuk berdalil dengannya.
Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas
menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap Dla'if,
sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.

Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari
Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia
berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan
iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak
kecil, -pent) tidak akan membahayakannya".

Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam
Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam
Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la
dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk".

Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780).

Berkata Muhaqqiqnya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh
memalsukan hadits". Kemudian ia berkata : 'Sebagaimana hadits Ibnu Abbas
menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul
Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dan dengannya
menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini At-Tirmidzi
berkata : 'Hadits hasan shahih', yakni shahih lighairihi. Wallahu a'lam
(12/151-152).

Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena
hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas
menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat
penjelasannya, Wallahu a'lam.

Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada Yahya
bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan hadits sebagaimana
disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan Albani
membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor (6121). Inilah yang
ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar. Dengan demikian hadits Abu
Rafi tetap lemah karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar
dalam At-Talkhish (4/149) : "Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah
dan ia Dla'if.

Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan
Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata :
"Hadits hasan". Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini
Hasan Isya Allah".

Dalam Adl-Dla'ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan melemahkan
hadits Abu Rafi' ini : "At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan sanad yang
lemah dari Abu Rafi, ia berkata :

"Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan dengan adzan
shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya
Fathimah".

Berkata At-Timidzi : "Hadits shahih (dan diamalkan)".

Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : "Mungkin penguatan hadits Abu Rafi
dengan adanya hadits Ibnu Abbas". (Kemudian beliau menyebutkannya)
Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman.

Aku (yakni Al-Albani) katakan : "Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas ini
lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain yakni
hadits yang ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits ini pantas sebagai
syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu 'alam. Maka jika demikian hadits
ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena masalah
ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi', adapaun iqamah maka hal ini
gharib, wallahu a'alam.

Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : 'Aku katakana
hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas degan
sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti syahid terhadap hadits ini
ketika berbicara tentang hadits yang akan datang setelahnya dalam Silsilah
Al-Hadits Adl-Dla'ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi
syahid untuk hadits ini, wallahu a'alam.

Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-Ma'arif)
(1/494) no. 321 menyatakan : "Aku katakan sekarang bahwa hadits Ibnu Abbas
tidak pantas sebagai syahid karena pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan
matruk. Maka Aku heran dengan Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa
keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku
memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang
termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan
disebutkan kemudian (61121)" (selesai ucapan Syaikh).

Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar untuk
anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk
pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan memberi ilham padanya. Maka
dengan demikian wajib untuk memperingatkan para penuntut ilmu dan
orang-orang yang mengamalkan sunnah yang shahihah yang tsabit dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yang
pegangan bagi hadits Abu Rafi' yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya
penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan inilah
yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini tidaklah shahih seperti yang
sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu
Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a'lam.

Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin
Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga tidak
pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia
Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Pustaka
Al-Haura]

Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action="">










Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke