Menyongsong Ahlul Halli wal Aqdi

Oleh: Rumadi Ahmad






Di samping soal Islam Nusantara yang ramai diperbincangkan masyarakat, ada
persoalan lain yang sekarang menjadi perdebatan menjelang Muktamar NU Ke-
33, 1-5 Agustus 2015, di Jombang Jawa Timur, yaitu terkait dengan mekanisme
pemilihan pemimpin tertinggi NU yang disebut rais am dan ketua umum
tanfidziyah.




Jika selama ini pemilihan rais am dan ketua umum tanfidziyah dilakukan
dengan mekanisme pemilihan langsung oleh pengurus cabang dan pengurus
wilayah NU (PC dan PW NU), kini mekanisme tersebut akan diubah dengan model
formatur yang dipopulerkan dengan sebutan ahlul halli wal aqdi (AHWA).




Model pemilihan seperti ini mempunyai legitimasi tinggi dari sisi sejarah
Islam, karena pernah diterapkan dalam pengangkatan Usman bin Affan sebagai
khalifah ketiga. Gagasan mengenai AHWA muncul setelah Muktamar Ke- 32 di
Makassar pada awal 2010.




Ada dua persoalan penting dalam muktamar ini yang kemudian menjadi landasan
pentingnya AHWA diimplementasikan dalam Muktamar Ke-33. Pertama, dalam
proses pemilihan rais am dan ketum tanfidziyah disinyalir terjadi politik
uang yang dilakukan orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan proses
pemilihan tersebut.




Politik uang ini sedemikian rupa terjadi dan menjadi aroma busuk sepanjang
muktamar. Gejala ini sebenarnya sudah mulai tercium sejak Muktamar NU Ke-31
di Solo, dan semakin nyaris tak terkendali di dalam muktamar di Makassar.
Pola pemilihan langsung (one man one vote) seperti yang selama ini
dilakukan disinyalir menjadi salah satu penyebab maraknya politik uang.




Karena itu, perlu dicari mekanisme yang mempersempit peluang terjadinya
politik uang. Model AHWA dipandang sebagai alternatif untuk meminimalkan
hal itu. Kedua, kerasnya pertarungan calon rais amyang diikuti dengan
mobilisasi tim sukses memengaruhi muktamirin (apalagi dengan iming-iming
uang seperti di atas) dipandang tidak elok, terkesan mengadu antar ulama.




Hal itu dipandang jauh dari nilai-nilai keulamaan yang harus dipegang
teguh. Atas dua persoalan tersebut digagaslah mekanisme AHWA, di mana PC
dan PWNU tidak memilih langsung calon rais am, tapi memilih sejumlah orang
(misalnya, sembilan orang) dari kiai-kiai dengan kualifikasi tertentu.




Sejumlah kiai inilah yang bertindak sebagai formatur untuk memilih rais am,
bisa dari salah satu di antara sembilan orang ini, atau bisa juga dari luar
sembilan orang tersebut. Keprihatinan situasi pemilihan pimpinan NU
tersebut terus muncul karena terlalu banyak pihak yang berkepentingan
dengan NU dan berupaya untuk menguasai NU.




KH Mustofa Bisri menyindir situasi ini dengan menyatakan pemilihan pemimpin
NU di berbagai tingkatan takubahnya seperti pilkada. Dalam pleno PBNU di
Wonosobo, (8/9/ 2013) Rais Am PBNU KH SahalMahfudh (almarhum) memerintahkan
PBNU segera memproses gagasan tentang AHWA untuk menjadi aturan yang dapat
diterapkandalam pemilihan kepemimpinan dalam seluruh jajaran NU.




PBNU akhirnya membentuk sebuah tim yang melakukan kajian, mempelajari dasar
filosofis dan acuan historis hingga teknis implementasinya. Hasil kajian
tersebut kemudian dibahas dalam musyawarah nasional (munas) dan konferensi
besar (konbes) pada November 2014, yang kemudian disepakati digunakannya
AHWA dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi implementasinya dilakukan secara
bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan.




Hal itu dimulai dengan pemilihan rais am PBNU dan rais syuriah PW dan PC
NU. Adapun untuk pemilihan ketua umum tanfidziyah masih dilakukan melalui
mekanisme pemilihan langsung. Dari kesepakatan ini, tim PBNU menyusun
aturan operasional yang akan diterapkan dalam Muktamar Ke-33 mendatang.




Sejumlah PWNU, terutama Jatim dan Jateng, sudah mengajukan konsep dan
mekanisme AHWA. Tim organisasi dalam kepanitiaan Muktamar Ke-33 berupaya
mematangkan konsep itu agar bisa diaplikasikan. Pematangan dan proses
diskusi dilakukan dalam acara pramuktamar yang digelar di NTB pada 9 April
2015 yang diikuti sejumlah PWNU.




Mekanisme ini ternyata tidak begitu saja bisa diterima, terutama di
kalangan PC dan PWNU sebagai pemegang hak suara. Dalam beberapa kali acara
pramuktamar membicarakan AHWA suara penolakan masih cukup kuat. Bahkan,
dalam pramuktamar di Makassar pada 21-23 April 2015, di mana salah satu
sesinya membicarakan tentang AHWA, terjadi penolakan cukup keras dari
sejumlah PWNU Indonesia bagian timur.




Sejumlah PWNU bahkan menggalang tanda tangan menolak AHWA. Demikian juga
dalam acara pramuktamar di Medan, beberapa PWNU di wilayah Sumatera juga
terang- terangan menolak AHWA. Melihat arus penolakan AHWA yang cukup kuat,
PBNU menggelar munas (15/6/ 2015) yang dihadiri sejumlah pengurus syuriah
PWNU dengan agenda tunggal: membahas AHWA.




Pertemuan sekitar tiga jam itu tidak berlangsung panas. Meski ada beberapa
tokoh PBNU yang bersuara kritis, namun di akhir munas alim ulama itu
disepakati pemilihan rais am tidak pakai sistem voting, tapi melalui AHWA.
Hal ini dimaksudkan untuk menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan
kepemimpinan NU.




Pemegang otoritasnya adalah para ulama yang matang secara keilmuan dan
maqom ruhaniyah -nya, sehingga tak mudah tergoda dengan bujukan-bujukan
duniawi. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa rais am adalah jabatan
shahibul maqam yang tidak boleh ditempati kecuali orang-orang yang memang
mempunyai maqom yang sesuai.




Dalam maqom itu terkandung kriteria faqih (memiliki penguasaan mendalam
ilmu-ilmu syariat); wara (terjaga martaban keulamannya dari akhlak dan
perbuatan yang tidak pantas, termasuk keterlibatan dalam politik praktis);
munadh-dhim (mampu memimpin manajemen organisasi); dan muharrik (mampu
menggerakkan dinamika jamiah).




Apakah dengan demikian, AHWA akan pasti digunakan dalam memilih rais am?
Saya belum yakin sepenuhnya. Konsep AHWA yang semula netral sekarang ini
sudah dipolitisasi sedemikian rupa seolah digunakan untuk menghadang
seorang calon.




Tokoh yang semula mendukung AHWA yang juga salah satu calon ketua umum
tanfidziyah, KH Asad Said Ali, belakangan juga mengkritik pedas AHWA.
Sistem AHWA dikatakan bagus dari luar, tapi busuk di dalam karena diduga
hanya untuk kepentingan seseorang (KORAN SINDO, 28/7).




Kritik yang kurang lebih sama sebelumnya juga disampaikan tokoh senior NU,
KH Tolhah Hasan. Mengapa sistem AHWA masih dipersoalkan, bahkan ditolak,
sejumlah PC dan PWNU? Ada beberapa alasan yang muncul. Pertama, soal
legitimasi. Legitimasi AHWA dianggap kurang kuat dibanding legitimasi
pemilihan langsung.




Kedua, AHWA juga dianggap membatasi hak PC dan PWNU untuk memilih secara
langsung. Ketiga, AHWA bertentangan dengan arus demokrasi yang justru
memberi ruang pemilihan langsung, bukan melalui perwakilan. Keempat, AHWA
belum siap diterapkan karena sistemnya dianggap belum jelas. Apakah yang
dipilih dengan AHWA itu rais am dan ketum tanfidziyah sekaligus? Kalau
hanya rais am mengapa?




Persoalan-persoalan tersebut masih menggantung dan potensial menjadi bola
panas dalam muktamar. Kita masih harus menunggu, apakah AHWA akan digunakan
dalam pemilihan rais am atau bahkan akan kembali menggunakan sistem
pemilihan langsung.




Tidak mudah memastikan, namun untuk menjaga martabat NU sudah saatnya AHWA
menjadi pilihan terbaik, setidaknya untuk pemilihan rais am. Untuk
pemilihan ketua umum tanfidziyah boleh saja dilakukan melalui voting, namun
harus dipastikan calon-calonnya direstui oleh rais am terpilih.




Akan lebih baik jika ada kesepakatan mekanisme AHWA juga akan digunakan
untuk memilih ketua umum tanfidziyah untuk muktamar berikutnya. []






Koran SINDO, 30 Juli 2015
Rumadi Ahmad | Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute Jakarta






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke