Bom Dahsyat Narkoba Mata
Kerusakan otak akibat film biru dapat dibuktikan secara fisik dan
radiologis.

Suara adzan berkumandang. Hari itu Jumat, berarti saatnya salat Jumat.
Abud, 14 tahun (bukan nama sesungguhnya), pun bergegas ke kamar. Tak lama,
ia sudah rapi dengan baju koko dan celana panjang. Ia pamit kepada ibunya.
Bersama sejumlah temannya, Abud berkumpul di pelataran belakang masjid.
Namun, saat azan tidak lagi berkumandang, bukannya tempat air wudhu yang
mereka sambangi, melainkan warung Internet yang tak jauh dari sana.
Alih-alih salat Jumat, para remaja tanggung itu malah larut mengunduh film
biru dari dunia maya.

Berdasarkan observasi Yayasan Kita dan Buah Hati, kasus di atas sekarang
mudah ditemukan di lingkungan anak-anak. Malahan, saking candunya terhadap
pornografi, seorang siswa sekolah menengah pertama di Tangerang dirawat
akibat konsentrasi belajarnya hilang. "Memang jika perilaku tak senonoh
itu dilakukan terus, anak bisa menjadi adiktif," kata Ketua Pelaksana
Yayasan Kita dan Buah Hati Elly Risman M.Psi. dalam seminar bertajuk
"Memahami Dahsyatnya Kerusakan Otak Anak Akibat Kecanduan Pornografi dan
Narkoba dari Tinjauan Kesehatan Inteligensia" di auditorium Departemen
Kesehatan beberapa waktu lalu.

Lazimnya, perilaku anak yang demikian bukanlah sebuah aksi tunggal. Di era
digital kini, informasi (negatif) yang datang mengalir deras dan berulang
dapat membentuk persepsi dan perilaku anak. Otak, sebagai organ pengolah
informasi, menerima apa yang dilihat serta didengar. Kemudian memprosesnya
sesuai dengan kapasitas dan kemampuan inteligensia. "Apalagi otak itu
adaptif dan fleksibel," kata Kepala Pusat Inteligensia Departemen
Kesehatan dr H. Jofizal Jannis, SpS(K) pada kesempatan yang sama. Lagi
pula otak anak kecil berbeda dengan orang dewasa--yang sudah dijejali
banyak informasi. "Otak anak itu relatif lebih kosong, sehingga rentan
terkontaminasi."

Menurut Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dr Diatri Nari Lestari, SpS, adiksi pornografi kepada anak
adalah perilaku yang tidak normal. Hal itu dapat membuat bagian tengah
depan otak menyusut dan mempengaruhi perilaku anak. Senada dengannya, ahli
bedah saraf Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L. Hilton
Jr., mengatakan adiksi pada manusia, termasuk anak, bermuara ke perubahan
sirkuit otak. "Sel otak yang memproduksi dopamin menjadi mengecil,
sehingga sel itu mengerut dan tidak bisa berfungsi secara normal," kata
Hilton dalam presentasi. Gangguan inilah, menurut dia, yang membuat
neurotransmitter--pengirim pesan kimiawi pada otak--menjadi terganggu.

Dalam versi Diatri, saat anak memperoleh ekstase dari pornografi, fungsi
eksekutif di otak anak bakal terpengaruh. "Anak sulit konsentrasi dalam
belajar karena reseptor dopaminnya telah diisi hal-hal berbau porno," ia
menjelaskan. Pornografi mengacaukan proses retensi dalam jangka panjang
pada memori anak. Retensi itu adalah kemampuan otak seseorang menahan
informasi yang diserapnya.

Belum lagi, menurut Diatri, bila kecanduan yang sudah berlangsung lama dan
tiba-tiba dihentikan bisa membuat si anak bereaksi menyimpang. "Adiksi ini
memiliki tahap toleransi. Misal, mulanya cuma menonton, lalu besoknya
ingin mencoba lebih," dokter berkerudung ini mengungkapkan.

Yang pasti, kerusakan otak akibat film biru ini dapat dibuktikan secara
fisik dan radiologis, serta dalam bentuk gangguan perilaku si anak.
"Sebenarnya, kerusakan otak karena "narkoba lewat mata" (visual crack
cocaine) jauh lebih dahsyat ketimbang seluruh jenis narkoba," Elly menulis
dalam esainya. Bila kondisi itu terus berlarut, bahkan dapat mendegradasi
kemampuan inteligensia si anak. Yang ditakutkan adalah perilaku menyimpang
itu bakal menerabas tatanan nilai di masyarakat.

Esai berjudul "Tidak Perlu Bom untuk Menghancurkan Indonesia" karya Elly
sangat mewakili kondisi anak Indonesia kini. Lihat saja data mencengangkan
hasil studi Konselor Remaja Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.625
siswa kelas 4-6 Sekolah Dasar se-Jabodetabek sepanjang 2008. Terungkap, 66
persen dari mereka pernah melihat pornografi lewat berbagai media.
Rinciannya, 24 persen anak melihatnya lewat komik, 18 persen video game,
16 persen situs porno, 14 persen film, 10 persen DVD dan VCD, 8 persen
telepon genggam, serta 4-6 persen majalah dan koran.

Adapun alasan mereka melihat pornografi, sebanyak 27 persen, sekadar
iseng. Lantas 14 persennya terbawa teman dan takut dibilang kurang
pergaulan (kuper). Ironisnya, banyak dari mereka yang mengakses tontonan
dewasa itu di rumah sendiri, yaitu 36 persen. Lalu warung Internet
mencapai 18 persen dan di rumah teman sekitar 12 persen. Artinya, jika
dirasio, satu dari dua anak belia itu melihat adegan vulgar di kamarnya
sendiri.

Lebih yahud lagi hasil survei Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap
4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia pada 2007. Terungkap, sebanyak
97 persen remaja pernah mengakses adegan syur. Lalu 93,7 persen pernah
melakukan ciuman, petting, dan oral seks. Yang mengagetkan, 62,7 persen
remaja usia sekolah menengah pertama didapati sudah tidak perawan dan 21,2
persen siswi sekolah menengah umum pernah aborsi.

Berdasarkan data itu, lalu ke mana fungsi kontrol keluarga, khususnya
orang tua? Malahan dari pertemuan yayasan pimpinan Elly dengan puluhan
ribu orang tua di 28 provinsi, ditemukan cuma 10 persen yang mafhum
teknologi informasi yang dipakai anak mereka. Artinya, benar apa yang
dikatakan Elly, tidak butuh bom untuk menghancurkan bangsa ini. HERU
TRIYONO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/11/Gaya_Hidup/krn.20090311.159140.id.html

-- 
Aldo Desatura ® & ©
================
Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala dan Perjuangan Adalah pelaksanaan kata kata

Kirim email ke