Transkripsi Dialog Santai Majelis SAS Center dengan KH. Said Aqil
Siradj dan Masduki Baidlowi
Oleh: SASC

di Kediaman Bpk. Musthafa Abd Rahman
12 Januari 2004
KH. Said Aqil Siradj
Rais Syuriah PBNU

Indonesia yang selama ini disebutkan dalam buku pelajaran terdiri dari
13 ribu pulau itu ternyata salah. Akhir-akhir ini, lembaga LAPAN yang
kebetulan direkturnya orang Situbondo Pak Badawi membuktikan, bahwa
yang benar adalah 18 ribu pulau. Jadi masih ada 5 ribu pulau yang
belum punya nama. Nanti kalau SAS diminta ikut andil bikin nama ya
kita bikinin. Indonesia termasuk negara maritim dengan luas laut 5
juta hektar. Panjangnya pantai no 2 di dunia setelah Kanada, yaitu 81
ribu kilometer. Kalau luasnya, barangkali dari Irak sampai Maroko
panjangnya, lebarnya dari Jerman sampai ke pertengahan Afrika. Itulah
Indonesia. Terdiri dari berbagai agama. Ada agama yang resmi, ada juga
agama yang berusaha ingin resmi, ada juga yang tidak berjuang untuk
menjadi agama resmi, juga masih banyak sekali. Misalnya saja di
Kalimantan Tengah ada agama yang namanya Kaharingan. Kalau di Jawa
sangat banyak sekali. Permadi itu dikatakan Islam ndak mau, "Saya
agama Jawa," katanya.

Nah, itulah gambaran manusia Indonesia yang terdiri dari berbagai
etnis dan sudah tidak ada orang Jawa asli, yang ada orang utan kalau
mau yang asli itu. Semua merasa paling dominan. Sunda merasa paling
dominan, yaitu dimulai dari sejarah Ki Sunda, seorang sakti yang
bertempat tinggal di sebuah gunung di Bandung, kemudian gunung itu
meledak menjadi jurang yang sekarang menjadi kota Bandung itu. Itu
asal mula Ki Sunda, orang Jawa yang secara historis masih belum jelas
apakah berasal dari Sailendra apa mana, itu belum jelas. Begitu juga
Cina, dulu Cina datang sejak zaman Singosari kemudian ikut membangun
dan membantu Raden Wijaya sehingga berdirilah kerajaan Majapahit.
Rajanya itu Raden Brawijawa I dibantu oleh Cina. Artinya memang sejak
dulu begitulah keadaan Indonesia yang sangat overlapping itu.
Kedatangan pula orang Arab. Sebelum Islam pun katanya hubungan dagang
antara Nusantara dengan Teluk Oman itu juga sudah terjalin dan
ditambah lagi dengan kedatangan Islam.

Nah, kalau kita baca ini, jadi rupanya Indonesia itu yang persis kalau
kita namakan out post, gardu yang paling luar, paling belakang,
sebagai sisa-sisa kekuatan Islam yang paling belakang sana-lah. Sudah
barang tentu menuntut forum tersendiri dalam melakukan transformasi
sosio-kultural itu, tidak bisa seperti Arab, tidak pula seperti India,
tidak pula seperti Eropa. Harus mempunyai tipologi tersendiri yang pas
dengan masyarakat Indonesia.

Nah, pesantren sebenarnya, walaupun kiainya sendiri ndak ngerti bahwa
model pesantren itu sudah pas tapi ndak apa-apa lah, pesantren dari
dulu sebagai lembaga pendidikan sudah melakukan upaya untuk berbasis
sosial. Kalau sekarang menggunakan teori pendidikan, ya, berarti sudah
menggunakan sistem society basic management-lah; lembaga pendidikan
yang berbasis sosial itu pesantren. Tapi karena tumbuhnya itu secara
alami, dan tidak terkonsep dengan baik, hanya karena lilLâhi
ta`âla-nya kiai begitu, sehingga kiai bisa melakukan
langkah-langkahnya dan dapat pengakuan dari masyarakat. Sehingga kiai
menjadi informal leader dan ini unik sekali, hanya di Indonesia yang
ada. Di Timur-Tengah ndak ada pemimpin yang informal itu. Artinya
Syaikh Al-Azhar pun ada gajinya resmi. Kalau kita enggak. Kiai itu
nggak ada gajinya, tetapi kekayaannya lebih daripada yang ada gajinya.
Ada sebagian yang kaya, yang melarat juga ada. Kalau kiai tapal kuda
itu kaya semua itu. Tapi sebegitu kayanya masih dikirimi zakat, masih
diberi kurban, masih dikirimi infak, masih mustahiq termasuk fî
sabîlilLâh. Karena kelompok kiai ini berjuang, ngurus manusia sejak
lahir, mengazani, ngasih nama, kemudian sunatan, semua itu kiai yang
mendoakan sampai nanti kawin, bikin rumah, sampai syukuran apa
sajalah, sampai mati juga kiai yang ngurusi.

Jadi itulah gambaran unik yang ada di keberadaan Islam sebagai manhaj
al-hayât di Indonesia. Nah ini semua kalau kita bisa mengembangkan,
menangkap ini dengan cermat, sangat luar biasa sebenarnya. Ndak usah
kita bicara Walisongo-lah karena sudah masa lalu. Ke depan kita harus
melakukan upaya yang tidak seperti masa lalu tapi juga tidak
kehilangan prinsip yang harus kita pegang. Seperti ahlussunnah wal
jamaah itu.

Aswaja yang sebenarnya menjadi cikal bakalnya sejak Hasan Basri,
Fudhail bin `Iyâdz, Sufyan al-Tsauri (apa kebetulan mereka itu tidak
dapat jabatan, ya karena waktu itu jabatan resmi dipegang oleh orang
Arab semua), jadi yang mawali (keturunan budak) itu bikin
center-center kajian. Hasan Basri di Basrah, Fudhail bin `Iyâdz, Abdul
Wahid bin Zaid, Sufyan al-Tsauri dan ada yang sibuk dengan hadis.
Ulama hadis itu tidak ada yang dari orang Arab. Soalnya mereka sudah
sibuk dengan jabatan semua. Ada juga yang sibuk dengan tafsir.
Pokoknya para ilmuwan semua bukan orang Arab. Tapi secara formal,
entah dari segi mana kita akui bahwa munculnya Aswaja itu Asy`ari.
Asy`ari sukses atau menang-entah karena kebetulan atau bagaimana-,
monopoli secara total klaim ahlussunnah atau Sunniyyin. Khalifahnya
al-Mutawakil juga diberi gelar Nâshir al-Sunnah ketika beliau
memberantas atau membubarkan pemikiran Mu`tazilah. Hanya, tidak
sekejam Mu`tazilah terhadap lawannya. Kalau Mu`tazilah sampai
memenjarakan lawannya. Tapi ketika Ahlussunnah menang, Asy`ari menang,
'hanya' membakar buku-buku Mu`tazilah. Kitab al-Mughni itu sebenarnya
20 jilid, tapi yang ada cuma 12, itupun ditemukan di sebuah masjid di
pedalaman Sana'a. Ini buku Qadhi Abdul Jabar yang sangat ensiklopedis;
(ini bisa dianggap representasi) Mu`tazilah yang sangat lengkap.

Nah di Indonesia itu, sudah tumbuh berkembang sangat baik sebuah
sistem, sebuah metodologi hidup yang dipimpin oleh kiai. Kiainya sadar
apa enggak bahwa beliau itu punya sistem yang diikuti oleh orang itu,
tapi bahwa itu merupakan suatu hal yang sangat baik. Hanya kemampuan
kiai dan santrinya di pesantren sukses dalam mempertahankan
nilai-nilai, sukses dalam membangun akhlak karimah, berhasil membangun
komunitas yang tulus dan konsen dengan Islam atau akidah, tapi gagal
ketika mencoba membangun sebuah organisasi yang baik apalagi kalau
sudah berpolitik. Kiai ini akan terancam gagal dalam politik ini.
Makanya politisi itu jangan kiai, Pak Masduki sajalah cukup. Nanti
malah gagal semua.

Contoh ketika Pak Harto melarang aktivitas para mahasiswa di
kampus-kampus, maka muncullah LSM-LSM seperti jamur di musim hujan.
Itu kan akibat dari Pak Harto memasung aktivitas mahasiswa dari
kampus. Nah itu sebenarnya yang paling "SM" itu mana? Pesantren
sebenarnya yang paling SM itu. Yang paling swadaya masyarakat. Bukan
hanya visi atau idenya saja. Sampai membangun pesantren itu juga
masyarakat kok, keramiknya dari masyarakat, kayu-semennya dari
masyarakat, kan paling SM sekali itu. Dari visi sampai ke
cita-citanya, sudah SM semua. Nah tapi, tidak tanggap dengan hal itu.

Ketika Pak Harto membikin benteng dengan benteng Islam, kemudian bikin
ICMI, di situ mulailah orang-orang Islam yang tadinya pengangguran,
dikasih kerjaanlah istilahnya. Memang ketika itu jelas politik, akan
tetapi sebenarnya menurut saya kesempatan melakukan perubahan itu,
dari dalam ICMI, kalau pesantren itu masuk dalam ICMI. Tapi tidak,
jadi apa yang dibicarakan kiai di pesantern itu, dengan Mughnî
Labîbnya dengan Zubâdnya dengan Fathul Wahhâbnya, tidak nyambung
dengan keadaan di luar tembok pesantren. Jadi, ilmu yang sangat dalam
dan luar biasa kajiannya di dalam pesantren tidak nyambung, tidak bisa
mewarnai kehidupan masyarakat.

Nah masyarakat masuk ke pesantren atau menjadikan kiai itu sebagai
tokoh panutan, itu bukan ilmunya, tapi figur personalnya yang diikuti
sampai sekarang itu. Pak Masduki itu nggak akan berani melawan Gus
Dur. Bukan karena Gus Dur itu selalu benar atau ma`shûm, tidak. Ya
karena kita dilahirkan sejak kecil menilai seseorang itu dari
personalisnya, bukan secara objektif ilmiahnya. Nah ini akibat
pesantren terpaku pada teks-teks kitab yang sebenarnya bagus manakala
bisa mewarnai dan menjawab kebutuhan masyarakat. Fiqih, Ushul Fiqih
dan Mantiq di pesantren itu luar biasa dipelajari, tapi tidak bisa
dijual di masyarakat.

Nah ketika saya pulang ke Indonesia dari Timur Tengah itu, barangkali
itu yang ada di benak saya. Maka saya mencoba membaca Qanun Asasinya
Kiai Hasyim. Tidak ada orang yang berani mengotak-atik Qanun Asasi
itu, takut kualat. Baru saya mungkin yang berani mengotak-atik itu.
Sampai Pak Masdar yang biasa mengkritik ulama besar pun nggak berani
mengotak-atik Qanun Asasinya NU yang dibikin oleh Mbah Hasyim Asy`ari.
Pokoknya takut kualat semua-lah. Qanun Asasi ini bukan merupakan
definisi Aswaja, tapi hanya merupakan sebuah monopoli, sebuah langkah
yang bersifat manipulatif. Barangkali sesuai untuk kebutuhan
masyarakat untuk waktu itu, tapi sekarang sudah tidak cocok. Saya
dimarahi dan dicacimaki, itu nggak apa-apa. Tapi target saya itu pada
generasi muda, ustad-ustad muda, oke lah kiai tua tapi yang masih
berpikir muda kayak Kiai Hasbullah Badawi di Kesugihan Cilacap, itu
sudah tua tapi pikirannya masih muda, terus Kiai Mukhatab Wonosobo,
sudah tua juga tapi pikirannya masih kritis, terus Kiai Su`ada`
Cilacap, Kiai Hisbullah Cilacap, itu mereka senang sekali kalau ada
lontaran kritis.

Pada dasarnya, saya tidak seliberal Mas Ulil, tidak! Saya masih
menjunjung tinggi yang telah ada dan dimulai dari mazhab empatlah,
katakan demikian. Dan itu saya pegang, bahwa di Alquran dan hadis
sahih itu ada yang qath`î yang tidak bisa diganggu gugat dan itu 5
persen, selebihnya 95% itulah wilayah tajribah (eksperimentasi) kita,
wilayah ijtihad kita. Nah,jadi seperti saya katakan waktu di NU dulu.
NU yang sangat mumpuni keilmuan Islamnya tidak berani mencoba ijtihad.
Nah sementara orang lain yang tidak mumpuni sama sekali dengan
khazanah kitab-kitab, itu tiap hari ngomongnya mengajak ijtihad.
Kacaunya di situ itu. Mereka kreatif, mereka menulis, mereka mencoba
menyampaikan ide-idenya dengan tulisan yang bagus dan pola pikir yang
bagus, yang padahal kalau kita tahu dengan orangnya, ya Allah, ilmunya
sangat minim sekali. Bandingkan dengan Kiai Ali Ma'shum, Kiai Sahal
yang sekarang masih hidup. Bukan apa-apa mereka itu. Ya maaf-maaf
saja, ini betul dan saya berani bertanggung jawab ngomong seperti ini
ini. Azyumardi Azra ilmunya minim sekali. Maaf, hattâ Cak Nur itu juga
sebenarnya pas-pasan loh. Bukan merupakan ulama yang setiap saat bisa
ditanya dan menjawab kapan saja. Hanya beliau itu masih mau belajar terus.

Bandingkan dengan level Kiai Sahal yang sangat luar biasa `allâmahnya,
apalagi Kiai Ali Ma'shum, itu betul-betul ahli tafsir dan kamus
berjalan. Itu yang terkenal, belum lagi ulama NU yang mumpuni tapi
tidak terkenal sama sekali. Saya punya Pak De dulu, kakaknya ibu saya,
kalau baca tafsir Ibnu Katsîr itu 20 hari bisa khatam. Berarti apa?
Baca tafsir itu sudah tidak mikir maknanya apa itu, sudah enggak
mikir. Dan orang kayak gitu itu di luar pesantren nggak ada itu.
Sayangnya ilmu yang beliau miliki itu tidak menjadi pola pikir,
minimal mewarnai pola pikirnya masyarakat.

Nah itulah yang saya kritik di pesantren. Bukan berarti kita membuang
kitab kuning, tidak. Tapi bagaimana kitab kuning tetap menjadi
khazanah kita dan kita kritisi sehingga dari itu kita mampu mempunyai
pemahaman yang tidak mati, tidak berhenti dan bisa mengaktualisasikan
isi kitab kuning itu dengan selalu ada dzauq atau rasa kesadaran yang
tinggi. Barangkali yang liberal itu sudah lepas dari wa`yi
teologisnya, intelektualitasnya iya, tapi teologisnya bisa lepas.

Ketika saya melemparkan pemikiran bahwa Aswaja adalah sebuah manhaj,
bukan mazhab, banyak sekali kiai yang sebenarnya setuju, termasuk Kiai
Muchit Muzadi kakaknya Hasyim Muzadi, tapi tidak ada keberanian untuk
mengakui bahwa dia itu benar. Pak Kiai Sahal itu tidak pernah
berkomentar waktu saya dikafir-kafirkan oleh para kiai, beliau malah
diam. Apa artinya diam? Sebenarnya memang iya benar dan mengakui
signifikan pikiran saya, tapi menjaga bagaimana umat, bagaimana reaksi
kiai. Jadi sebenarnya bukan masalah benar atau salah reaksi itu, tapi
dengan alasan kiai ini resah, ya khawatir kehilangan apanya lah. Nah
yang paling berat, kita menghadapi internal itu.

Kalau untuk orang luar kita sudah ditunggu-tunggu, bagaimana konsep
Aswaja. Sekarang ini Islam itu kayak apa sih? Bukan lagi Aswaja, di
Indonesia banyak orang tanya-tanya. Kalau ada orang bisa pidato
komunikatif langsung laris kayak Aa Gym, padahal tidak ada apa-apanya
itu, Zainuddin MZ dai sejuta umat, padahal ndak ada apa-apanya itu.
Karena apa? Masyarakat haus dan ingin tahu Islam itu sebenarnya kayak
apa sih? Sayang ICMI itu dulu sangat politis yang sebenarnya tidak
politis. Saya yakin ada positif yang luar biasa. Nah, selama
masyarakat ini masih belum mendapatkan jawaban yang jelas, selamanya
kita akan diasyikkan dengan orang semacam Aa Gym dan khatib-khatib lain.

Saya tidak heran dengan Hassan Hanafi yang melemparkan ide-ide "Min
al-`Aqîdah ilâ al-Tsawrah", "Min al-Naql ilâ al-`Aql", itu sebenarnya
bukan barang baru. Ibnu Hazm melakukan itu, Al-Syathibi melakukan itu,
hanya dengan bahasa lain. Al-Syathibi dengan al-Muwâfaqâtnya itu
sebenarnya maksudnya sama seperti Hassan Hanafi. Tapi kalau kita lihat
ulama-ulama dulu, itu kan tetap mengakui ada prinsip yang tidak bisa
diubah dan ada yang harus selalu tajribah tiap hari.

Kemudian sekarang ini, terus terang saja ada sebuah kecelakaan di NU
ini. Ketika reformasi beberapa daerah warga NU menginginkan partai.
Bandung, Cirebon, Purwokerto, Rembang, Jember dan lain-lain kemudian
menghadap PBNU. Waktu itu semua hadir dan Kiai Sahal yang memimpin
rapat. Ada 3 opsi :
1. NU jadi partai lagi
2. PBNU membikin partai
3. PBNU memfasilitasi kemauan warganya untuk bikin partai politik

Yang dipilih no 3 dulu itu, maka lahirlah PKB. Bukan dari PBNU, tapi
PBNU membentuk tim lima yang kerjanya memfasilitasi kemauan warga NU
membikin partai. Tim lima itu ketuanya Kiai Ma`ruf Amin, wakilnya
saya, anggotanya Pak Bagja, Pak Musthafa Zuhad, dan Pak Rozi Munir.
Saya kebagian menulis mukadimah AD/ART PKB sebagai "Mabda' Siyasi".
Dan yang saya tulis itu semua idenya Gus Dur. Bahwa hubungan antara
agama dan negara, hubungan yang saling menyempurnakan dan melengkapi,
bukan hubungan yang saling berhadapan.

Nah ternyata, (sekarang) saya pikir itu salah, kecelakaan. Yang paling
tepat no 2, PBNU bikin partai. Sehingga dalam partai nanti entah apa
namanya lah itu sebagai badan otonom sebagai biro politiknya NU, kayak
GP. Anshar misalnya punya otonom, tapi harus taat pada PBNU. Apa yang
terjadi sekarang? Karena PKB itu merupakan wujud tersendiri, ada
Mustasyarnya sendiri, ada Dewan Syuro sendiri, terus Mustasyarnya sama
dengan PBNU, Dewan Syuro sama dengan Syuriahnya PBNU, tanfidziyahnya
sama dengan tanfidziyahnya PBNU, iya kalau mesra ndak jadi masalah,
nah kalau kepentingannya bersinggungan? Kebetulah di sana Dewan
Syuronya Gus Dur dan kita tahu semua siapa beliau sedangkan di
PBNU-nya Kiai Sahal dan Pak Hasyim Muzadi yang semuanya-menurut Gus
Dur-semuanya besar karena saya, kiai pun semuanya, kecuali Kiai Ali
Ma'shum dan Kiai Mahrus Aly dan Kiai Ahmad Shidiq. Itu semua kiai
-kata Gus Dur- bisa besar karena saya. Kiai yang saya datangi, saya
sowani itu pasti akan jadi kiai besar. Sampai kuburan yang didatangi
Gus Dur itu akan keramat. Dan itu memang iya, benar. Di Penjalu
Tasikmalaya itu kuburan di tengah danau itu dulunya sangat lokal
sekali, siapa yang mau ziarah? Dan begitu Gus Dur ziarah ke situ, jadi
ramai sampai sekarang. Ada lagi kuburan di Tuban di tengah sawah, kata
Gus Dur ini Sunan Kalijogo tenanan, itu sebenarnya di sini, kalau yang
di Kadilangu itu kantornya Kalijogo-lah. Itu sampai sekarang jadi
terkenal. Dan orang yakin bahwa Sunan Kalijogo ya itu itu.

Nah, ternyata Gus Dur itu selalu menggunakan manajemen konflik. Sejak
naiknya Gus Dur di Situbondo berhadapan dengan Pak Idham dengan
teman-temannya yang waktu itu didukung oleh tim sembilan termasuk di
dalamnya Pak Fahmi Saifuddin, Slamet Efendi Yusuf, Abdullah Sarwani
dan lain-lain. Tim inti yang membikin konsep khittah dan mengusung Gus
Dur menjadi ketua PBNU mengalahkan Pak Idham cs. Ternyata, tidak lama
sembilan orang itu pecah semua itu satu persatu tapi Gus Dur menang.

Muktamar Yogya, konflik dengan Kiai As'ad dan Pak Idham masih waktu
itu. Kalah Kiai As'ad dan Gus Dur menang lagi, mengatakan ternyata
nggak ada apa-apanya Kiai As'ad itu. Puncaknya Cipasung, sampai "Pak
Harto" kalah. Tapi sebenarnya jangan lihat Pak Hartonya,
berseberangannya bukan hanya Abu Hasan, tapi Kiai Maimun Sarang, Kiai
Syukron Makmun, Khalid Mawardi termasuk Fahmi Saifuddin juga. Iini
cerita ya; Pak Fahmi Saifuddin dibilangi Pak Hasyim, "Gus Fahmi
sampeyan ndak usah maju-lah karena Gus Dur maju, nanti kalau sampeyan
maju Pak Abu Hasan menang". Kira-kira begitulah, agar Abu Hasan jangan
menang. Terus kata Pak Fahmi, kenapa sih kalau ada orang yang ingin
bersaing dengan Gus Dur kok selalu saingannya yang harus mengalah,
kenapa kok tidak Gus Dur-nya yang suruh mengalah? Walhasil begitulah
ceritanya. Nah Gus Dur di Cipasung menang lagi. Dan Pak Harto itu yang
kalah. Ndilalah Kiai Ilyas Rukhyat orangnya low profile, sangat rendah
hati, sangat nurut, gampangan, mangga wae bahasa Sundanya, ke mana
saja mau asal satu, tidak mengutak-utik hasil keputusan Muktamar Cipasung.

Sayangnya lagi, Gus Dur tidak memasukkan sama sekali orangnya Abu
Hasan. Begitu menyusun pengurus hasil Cipasung itu, Abu Hasan tidak
dimasukkan sama sekali, maka Abu Hasan bikin NU tandingan, tapi juga
kalah. Yang jelas setelah Cipasung Gus Dur secara de facto menjadi
pusat pemerintahan atau apalah namanya. Tamu semua ke Ciganjur,
kanan-kiri, Islam keras, Islam halus sampai dari IMF itu sowan ke
Ciganjur; puncaknya Deklarasi Ciganjur yaitu Gus Dur, Amin Rais, Sri
Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati. Ini puncaknya ide-ide reformasi
yang lahir dari Ciganjur. Maka semua orang menganggap Gus Dur adalah
Imam Mahdi atau Ratu Adil atau Satrio Paningit atau apalah namanya,
apa Nabi Isa al-Masih atau ... meh (hampir-red) lah meh Gusti Allah
hehehe ... Ya coba kalau ada acara di Ciganjur waktu itu loh, ya
Marzuki Darusman, Siswono, Sarwono ini orang sosialis hadir. Nanti
Kiai Ma'ruf Amin hadir, nanti Muslim Abdurrahman, Habib Hirzin terus
yang Muhammadiyah datang, Cina, Katolik, Kristen, Konghucu, Kejawen
datang semua, itu luar biasa.

Terus Pemilu PDIP menang. Kita sebenarnya sudah ketemu dengan Bu Mega;
saya, Muhaimin, Saiful, Pak Rozi Munir. Bu Mega ingin ngasih NU
menteri 3, kita mintanya 5 sih. Tapi ya sudah 3 aja dulu. Ternyata
Amien Rais punya kemauan, bikin poros tengah asal jangan Mega, jangan
Habibie. Habibie menggerakkan masyarakat Banten dengan nama
Pam-Swakarsa yang di belakangnya adalah Tubagus Hasan Sohib yang
sekarang anaknya wakil Gubernur Banten itu, jawara yang tidak ada yang
mengalahkan di Banten. Nah dia itu yang menggerakkan 5 juta anggotanya
mendukung Habibie. Nah PDIP pun ngotot harus Megawati, jangan sampai
Habibie. Ulama PPP kumpul di Pondok Gede, menyatakan Presiden
perempuan haram dan macam-macamlah. Itu semua adalah dinamika setelah
Pemilu. Amien Rais ketemu sama ulama Jawa Timur di Langitan, itu mulai
mengeluarkan ide pertama dengan biaya semua dari Fuad Bawazir dengan
nyarter helikopter, Gus Dur nggak ikut, kiai masih belum menjawab.
Terus kedua kali di Buntet Cirebon, saya ikut. Nah barulah kiai
memberi lampu hijau pada Gus Dur untuk maju menjadi presiden. Tapi
waktu itu Amien Rais disumpah oleh KH. Abdullah Abbas di Buntet bahwa
kekurangan Gus Dur, Pak Amien harus membantu dan mendukungnya, dan Pak
Amin berjanji segala kekurangan Gus Dur akan dibantu. Nah seterusnya
demikianlah ceritanya. Gus Dur terpilih jadi presiden. Yang tadinya
diharapkan jadi Ratu Adil, yang tadinya dikira Satrio Paningit
ternyata gagal. Karena ya itu, Gus Dur menggunakan manajemen konflik
itu. Terus dari kelemahan Gus Dur sendiri dan dari orang sekitarnya
melakukan kesalahan; dari segi politik sangat mendasar tapi secara
hukum ya enggak, wong parlemennya kok dilawan. Ketika menghadapi tim
Pansus Bulog itu Gus Dur bilang, ini tim politik apa tim hukum, apa
pengadilan? Itu nggak ada yang menjawab. Ditunggu 2 menit nggak ada
yang menjawab terus langsung ditinggal pergi. Itu kan menghina.
Seandainya begini, "Sudah kalau belum bisa jawab saya tinggal dulu,
saya mau shalat dulu apa mau wirid dulu di kamar," itu kan cantik,
tapi dia enggak, pergi begitu saja, itu ya enggak benarlah.

Saya pernah ketemu Pak Amien Rais di pesawat dan waktu itu Gus Dur
masih digoyang-goyang, gimana sih Pak Amin pannjenengan niki? (Pak
Amien, bagaimana sih Anda ini?-red). Dulu sumpahnya mau mendukung Gus
Dur, sekarang meninggalkan. Dia jawab, "Yang meninggalkan siapa?
WalLâhi! Gus Dur meninggalkan saya, bukan saya meninggalkan Gus Dur.
Saya itu tidak pernah diajak ngomong tentang negara oleh Gus Dur,
hanya sekali saja setelah itu enggak pernah lagi. Bahkan saya menelpon
pun sulit". Itu waktu saya naik pesawat mau ke Yogya, duduknya
berdampingan sama Pak Amien.

Terus Pak Wiranto, gimana Gus Dur ini? Beliau di luar negeri memecat
saya. Dan saya belum mendapat surat pemecatan itu. Dan saya belum
menerima pemecatan itu kecuali diputuskan bersama Presiden, Wakil
Presiden, Amien Rais dan Akbar Tanjung, baru saya bisa terima. Karena
dulu waktu menyusun kabinet itu berlima, Gus Dur, Megawati, Amien
Rais, Wiranto, Akbar Tanjung. Nah dia mau mundur kalau keputusan
bersama. Dan Gus Dur masih ngotot memecat Wiranto. Sampai Wiranto
ngomong sama saya, gimana sih Gus Dur itu? Bisa dipercaya ndak orang
ini? Nah itu yang saya sedikit tahu, bagaimana orang itu bingung
melihat manajemennya Gus Dur.

(Sekarang) Pak Hasyim. Waktu di Lirboyo, (Gus Dur) bilang harus
Hasyim. Ya sebenarnya Gus Dur tidak ngomong begitu pun saya kalah.
Hasyim lebih bisa dipercaya-lah di kalangan para kiai. Tapi Gus Dur
sangat vulgar, bahkan sambutan saya di pembukaan dipotong karena saya
mempunyai ide, "al-muhâfazhah `alâ al-qadîm al-shâlih wa al-îjâd bi
al-jadîd al-ashlah" bukan "wa al-akhdzu". Karena kalau "wa al-akhdzu"
itu kan kita menunggu dari orang lain. Itu dihantam keras sambutan
saya oleh Gus Dur sebagai presiden. Setelah jadi, belum 5 bulan, Pak
Hasyim sudah dihantam habis-habisan; dikatakan penghianatlah, apalah,
macam-macam. Nah sekarang ini lagi puncak-puncaknya ini. Semua PBNU
itu tidak ada yang dianggap positif oleh Gus Dur, kecuali pak Cecep
dengan Sekjen. Yang lain, Pak Hasyim pengkhianat, Rozi Munir
pembohong, Bagja maling, Yusuf kaki tangan tentara, Kang Said ngurusi
Cina tok. Begitu pula istrinya, kalau ngomong di Muslimat
macam-macamlah. "Dulu orang dibesarkan oleh Gus Dur sekarang
menghianati semua," katanya. Arifin Junaidi waktu umrah di Jeddah
pidato juga begitu. Itu gara-garanya saya menyampaikan khittah seperti
Pak Hasyim dan itu bukan hasil rundingan. Ya kita punya iktikad yang
sama bahwa NU itu harus diselamatkan dari pertikaian politik. Dan
waktu itu yang masuk koran waktu saya pidato di Kendari, acara maulid
Nabi di kantornya Gubernur Sulawesi Tenggara. Pengurus NU itu datang
dari Golkar semua. Gak ada pengurus NU yang PKB itu datang. Masak saya
ngomong PKB? Ya saya ngomong bahwa NU memberi kebebasan kepada
warganya untuk memilih partai sesuai dengan pilihannya. Dan itu
langsung menjadi agenda rapat PKB, bahwa PBNU punya rencana
menggembosi PKB, yang dimotori dua orang; Hasyim Muzadi dan Said Aqil.

Gus Dur menulis di Duta Masyarakat, "NU: Lain Dulu, Lain Sekarang".
Ada dua tokoh PB yang nggak paham NU, satu Hasyim Muzadi, dua Said
Aqil. Sekarang ini masih tegang. Padahal siapa sih yang ingin kalau
PKB kalah? Ya senakal-nakalnya PKB itu masih punya kita sendirilah.
Itu kalau mereka menghargai kita. Nah sikap kayak Gus Dur itu ditiru
oleh AS. Hikam, ditiru oleh Khoirul Anam (ketua Wilayah Jawa Timur).
Jawa Tengah solid karena ketuanya Kiai Hanif Muslih Mranggen, ketua
PKB-nya. Ketua NU-nya alumni Mranggen juga, Dr. Adnan. Jadi relatif
paling solid Jawa Tengah.

Kemudian sangat jauh intervensi pilihan-pilihan kepala daerah.
Probolinggo itu, calonnya dari ketua PKB dan ketua DPRD itu Hasan,
orang NU. Tapi Gus Dur tidak setuju. Calon Gus Dur itu dari Golkar
tapi NU. Wakilnya, putranya Kiai Wahid Zaini, Nur Hamid itu. Nah Hasan
menang. Gus Dur ngomong di mana-mana itu, katanya, "Hasan orang jahat,
pernah melakukan kriminal, penggarongan, pembunuhan di desa ini tahun
sekian, awas kalau Imam Utomo melantik, PKB akan cabut dukungan dari
Imam Utomo", wes pokoknya macam-macamlah. Nah itu terbuka di koran.
Bedanya konflik di partai PKB dengan partai yang lain itu di situ.
Kalau partai yang lain berusaha menutupi apa yang terjadi, apa yang
ada di dalam partai, kalau PKB enggak.

Kemudian begitu juga Lumajang, Situbondo, Bangkalan dan puncaknya
pilihan Gubernur. Saifullah Yusuf sudah membangun kemitraan dengan
Golkar yang ketuanya Hisyam Fadhil. Saifullah Yusuf gubernur, wakilnya
Hisyam atau sebaliknya bolehlah. Akhirnya 10 kiai kumpul di Jember,
memasukkan Saiful salah satu calon alternatif yang bisa kita angkat.
Ternyata Gus Dur tidak merestui calon-calon yang diusulkan oleh
kiai-kiai itu. Imam Utomo pun tidak direstui, cari orang dapat Brigjen
Kahfi, itu orang Banyuwangi tapi wakil Gubernur DKI, yang sama sekali
dengan Jawa Timur enggak dikenal, apalagi dengan kiai-kiainya. Tapi
ngotot, malam pilihan gubernur itu, PKB bertempat tinggal di
Shangrila, Gus Dur dan Akbar Tanjung ada di situ. NU di kantor
wilayah. Jadi berhadapan betul antara NU dengan PKB walaupun NU nggak
punya suara sih, tapi kan semua syuriyah ada di kantor wilayah, berdoa
untuk Imam Utomo. Dan Imam Utomo menang.

Nah ini gambaran sejauh mana ketegangan antara PKB dan NU sampai
sekarang dan terus sampai ke percalegan ini. Kader-kader NU yang
diharapkan jadi tokoh nasional lewat partai PKB malah kalah. Susunan
pusat sendiri, Alwi Sihab, Mahfud MD, Hikam ini kapan NU-nya? Artinya,
kapan beliau-beliau itu mewakili NU? Sampai dewan syuro namanya Ferry
Tinggogoi, Kristen dari Manado. Dan yang aneh, dokter Sugiat, ini
dokter dari Muhammadiyah, yang di Muhammadiyah saja tidak dipakai,
oleh Gus Dur (malah) dipakai. Itu gambaran secara umum begitu, yang
sampai sekarang lagi memuncak panasnya.

Kiai Zainuddin Ploso mengatakan bahwa saya tidak akan di PKB selama
dipimpin Gus Dur. Kalau Kiai Idris Lirboyo PKB, tapi tidak akan
mendukung Gus Dur jadi capres. Terus kiai-kiai kumpul di
Asshiddiqiyyah Batu Ceper Jakarta, termasuk Kiai Idris, Kiai Muchit
Muzadi. Apa komentar Gus Dur? Saya juga kaget, katanya, "Itu adalah
pertemuannya anak kemarin sore." Hehehe ... luar biasa kan? Padahal
400 kiai ada, kiai Lirboyo. Setelah itu beliau ngomong, saya tidak
akan menginjakkan kaki ke empat pesantren: Lirboyo, Ploso, Genggong
dan Situbondo. Eee ... kemarin mendatangi Situbondo dengan mendadak.
Kiai Fawaidnya menghindarlah, karena sudah sangat kecewa dengan Gus
Dur. Begitu pula Mutawakkil, begitu pula Kiai Idris dan Kiai
Zainuddin. WalLâhu a`alam bi al-shawâb. Mau jadi apa itu. Kemarin saya
tinggal juga masih gitu aja. Jadi orang yang paling dipercaya oleh Gus
Dur adalah Arifin Junaidi. Jadi yang bisa jadi caleg PKB ini,
familinya Gus Dur, atau yang direkomendasi oleh Arifin, atau yang
bayarlah katakan demikian. Memang partai butuh uang alasannya. Pemuda
Pancasila harus ditampung baru taubat. Saya bilang: "Kalau taubat
bukan di PKB, tapi di NU kalau mau taubat".

Jadi, dilematis betul kita ini, kekalahan PKB sebenarnya juga kita
tidak mengharapkan. Tapi gini, kalau PKB kalah Pak Hasyim dan saya
akan dituduh nggembosin. Kalau PKB menang eeeeee ... ternyata nggak
ono opo-opone (tidak ada apa-apanya-red). Nah ada pertemuan ulama NU,
yang mengadakan pertemuan itu Pak Mahfudz. Itu ide beliau, Pak Hasyim
di luar negeri waktu itu. Pertemuannya di Hotel Syahid. Dan entah
bagaimana keputusannya adalah mendukung Pak Hasyim jadi calon
presiden. Nah itu yang dihantam Pak Hasyim-nya. Kata Gus Dur, "Kalau
Hasyim Muzadi maju jadi capres, keluar dari NU dulu".

Jadi, itulah gambarannya dan terima kasih dengan SAS Center ini semoga
makin baik. Doakan semoga usaha saya maju sampai sekarang masih seret,
kalau maju insya Allah lancarlah.

Jadi, intinya SAS Center ini mengembangkan ijtihad di wilayah ijtihad,
bukan di wilayah qath`î. Hanya 5% yang qath`î.
ÍÑãÊ Úáíßã ÃãåÇÊßã
Itu qath`î itu, jangan diutak-atik. Terus ...
ÍÑã Úáíßã ÇáãíÊÉ æÇáÏã æáÍã ÇáÎíÒíÑæãÇ Ãåáø áÛíÑÇááå

Itu jangan diutak-atik. Terus apalagi? Masalah aurat, itu sudah baku,
sudah. Yang lainnya silakan, masih banyak kok, 95% yang bersifat
budaya, bersifat profan (duniawi) silakan, akan saya dukung betul.
Tapi kalau yang ahkâm syar`iyyah itu jangan diutak-atik, yang bisa
diutak-atik itu adalah Fiqih Islam. Kok mau nyoba mengutak-atik
khinzîr, sudah jelas najis itu, jangan diutak-atik. Terus minum arak
walaupun sedikit, tetap haram, sudah ... jangan diutak-atik.

Terimakasih.


Bpk. Masduki Baidlowi
(Wakil Sekjen PBNU)





Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh 
manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya 
adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. 
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu 
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang 
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas 
yang engkau mampu. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/keluarga-islam/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke