Urgensi Pertegas Independensi NU

Oleh: M Aminudin






Muktamar Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus  2015, merupakan momentum strategis
untuk melakukan retrospeksi perjalanan yang telah dilalui. Semenjak
kelahirannya pada 1926, NU dirancang pendirinya sebagai organisasi sosial
keagamaan Islam, bukan organisasi politik.






Sebagai organisasi sosial keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) terbukti berhasil
menciptakan dukungan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Paling tidak, menurut survei LSI tahun 2013, jumlah warga nahdliyin
mencapai 36,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, yang menarik
dari sepanjang sejarah NU ketika terseret ke dalam politik praktis, dari
Pemilu 1955 hingga 2009, suara NU tidak pernah melebihi 19 persen perolehan
suara nasional.






Kembali (lagi) ke "khittah"






Pertanyaan yang patut diajukan: kenapa? Ada kesenjangan yang lebar antara
realitas masyarakat yang 36,5 persen lebih mengaku sebagai orang NU dan
perolehan suara partai politik yang mengklaim dirinya NU.






Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan realitas ini, di antaranya data di
atas menunjukkan bahwa kekuatan besar NU bukan di  kekuatan politik partai,
melainkan pada jaringan kekuatan kultural. Itu artinya, mayoritas massa NU
memiliki sikap politik relatif otonom dalam pilihan politiknya.  Upaya
melakukan penggiringan massa NU ke dalam satu partai tidak hanya akan
sia-sia, tetapi juga ternyata kurang banyak manfaatnya bagi masyarakat NU
yang masih cukup banyak berada dalam garis kemiskinan.






Mayoritas warga nahdliyin tinggal di pedesaan, terutama di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS per September 2014, Jatim dan Jateng
merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, masing-masing
4,74 juta orang dan 4,56 juta orang. Dari 4,74 juta orang miskin di Jatim,
yang merupakan basis utama pendukung NU, sebanyak 3,21 juta orang atau 68
persen tinggal di pedesaan.






Gambaran itu sedikit banyak menunjukkan, sebagian besar warga NU kini
terjerat kemiskinan. Upaya Gus Dur (alm) mendirikan partai yang mewadahi
orang-orang NU di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1999 tepat dalam
konteks upaya mencoba merespons perubahan politik kepartaian yang semakin
menguat seiring bergulirnya reformasi demokrasi 1998. Namun, setelah empat
kali pemilu, ternyata suara PKB bukannya meningkat, melainkan justru
cenderung merosot dibandingkan awal berdirinya pada 1999.






Dalam konteks realitas masyarakat NU yang semakin cerdas dan kritis, kini
salah satu agenda mendesak yang harus dijadikan prioritas pengambilan
keputusan adalah mengembalikan NU ke rel perjuangannya yang telah dipatri
oleh KH Hasyim Asy'ari dan para pendiri NU lainnya, yang disebut Khittah
26. Ketetapan Khittah NU 26 menggariskan bahwa berpolitik adalah pribadi
warga NU. Dengan demikian, NU tak terkait secara organisatoris dengan
partai politik mana pun. Upaya sebagian pihak yang tetap berusaha menyeret
NU ke dalam satu partai tidak hanya telah mengkhianati semangat para
pendiri NU, tetapi juga akan mengecilkan citra NU sebagai kekuatan ormas
terbesar di Indonesia.






Kerugian NU jika terus-menerus "dibajak" satu partai bukan hanya akan makin
mengerdilkan pengaruh politiknya di pentas Indonesia, melainkan juga
berisiko misi utamanya sebagai organisasi sosial keagamaan untuk mengurusi
pemberdayaan umatnya di bawah jadi telantar. Harus diakui, dalam era
demokrasi "semiliberal" saat ini, saat hampir semua pemilihan jabatan
politik dilakukan langsung oleh rakyat, NU mengalami godaan politik sangat
besar.






Semenjak bertiup demokrasi partisipatoris pasca 1998, para pemimpin NU
disibukkan oleh perebutan kekuasaan dari pemilihan presiden, pemilihan
kepala daerah, hingga pemilihan DPR/DPRD. Sementara kerja-kerja sosial NU
untuk melayani umat yang merupakan misi utama NU, seperti pemberdayaan
bidang pendidikan, pesantren, dan dakwal bil-hal, kurang mendapat porsi
memadai.






Secara sederhana, kondisi NU ketika berusaha dieksploitasi ke satu partai
pasca reformasi saat ini, kue politik dan ekonomi sebagian besar hanya
dinikmati kalangan elite, tetapi kurang dinikmati kaum alit (umat di
bawah). Ini bukti nyata warga NU hanya dijadikan komoditas pengepul suara
dalam pemilu oleh partai yang sering melakukan pencitraan di media dan
publik sebagai "Partainya Orang NU".






Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, menegaskan kembali Khittah 26
serta mengambil jarak yang sama ke semua partai politik dalam muktamar di
Jombang, 1-5 Agustus  2015, adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar. Itu
kalau NU tak ingin di masa depan semakin tergelincir ke jurang perpecahan
politik dan krisis kepercayaan di kalangan umatnya yang di bawah.






Namun, dalam situasi "partai politik sebagai panglima" saat ini,
mengharapkan NU hanya sebagai organisasi puritan semata mengurus kegiatan
sosial juga tak realistis. Para pemimpin NU hasil muktamar di Jombang nanti
harus tetap memiliki inisiatif melakukan kontak-kontak ke semua partai. NU
harus menjadi payung bagi kadernya yang menyebar ke semua partai yang ada
dan harus bersikap tegas terhadap pemimpin partai yang berusaha melakukan
manipulasi sebagai wadah tunggal aspirasi NU seperti iklan Pemilu 2014 dan
2009.






Hanya dengan mempertegas independensi politik NU dan secara bersamaan tetap
kreatif merajut kadernya di semua partai, kebangkitan kembali NU secara
menyeluruh akan bisa dicapai. Penyebaran kader NU ke semua lini, termasuk
partai, akan lebih menguntungkan karena tidak hanya memudahkan NU agar
tidak mudah terkena "limbah konflik" partai, tetapi NU juga akan menjadi
sandaran semua kelompok partai politik.






Reorientasi peran NU






Reorientasi peran politik NU ke depan juga harus lebih banyak diarahkan
untuk menjadi garda moral bagi umat dan bangsa. NU bisa tetap berpolitik,
tetapi lebih banyak sebagai moral force  seperti yang sering diistilahkan
salah satu tokoh NU terkenal, KH Achmad Sidiq. Sebagai suatu kekuatan
moral, NU tidak perlu terseret ke dalam pusaran perebutan kekuasaan. Namun,
NU harus bersikap dalam upaya penegakan,  yang dalam bahasa NU lebih mudah
dikenali dengan istilah kekuasaan yang amanah. Dalam bingkai ini, NU tidak
boleh diam dan berpangku tangan terhadap penyimpangan kekuasaan atau
kekuasaan korup.






Jargon NU yang terkenal semenjak berdirinya sebagai kekuatan penyeimbang
(tawassuth) hanya akan menjadi idiom yang sulit diimplementasikan jika para
pemimpin NU nanti masih berorientasi ke perebutan kekuasaan, apalagi hanya
menjadi tunggangan ambisi salah satu pemimpin partai politik. Independensi
politik NU akan membuatnya lebih bisa berkonsentrasi mengurusi umatnya yang
justru memiliki implikasi positif dalam jangka panjang.






Posisi ini memungkinkan NU berkembang sebagai kekuatan sosial yang semakin
besar dan berpengaruh di masa depan. Sebab, semua kelompok politik akan
membutuhkan dukungan dari organisasi berbasis pesantren dan kiai ini.
Kebutuhan legitimasi semua partai besar dan calon pemimpin Indonesia yang
ada di Tanah Air itu akan membuat NU mendapat berkah bantuan dari banyak
pihak. Sebaliknya, jika NU dalam muktamar di Jombang ini tetap tak bisa
menegaskan independensi atau menjaga jarak ke salah satu parpol, akan
banyak kerugian yang didapat. Semoga peserta Muktamar NU bisa menahan
godaan pragmatisme sehingga bisa mengambil keputusan terbaik bagi NU. []






KOMPAS, 28 Juli 2015


M Aminudin ;  Direktur Institute for Strategic and Development Studies;
Pengurus Pimpinan Pusat GP Ansor 2001-2013






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke