Pantas untuk dibaca oleh Kang Ulil Abshar Abdala, Azyumardi Azra dkk…








From: keluarga-islam@yahoogroups.com [mailto:keluarga-islam@yahoogroups.com] On 
Behalf Of Ananto
Sent: Wednesday, April 30, 2014 9:44 AM

To: undisclosed-recipients:
Subject: [keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Dekonstruksi Pemikiran Liberal








Dekonstruksi Pemikiran Liberal





“Dewasa ini para penghujat Al-Qur’an bukan hanya kalangan orientalis, tapi juga 
para sarjana dengan titel akademis yang tinggi dan berprofesi sebagai pengajar 
di perguruan tinggi Islam”. Inilah kutipan kata-kata sinopsis yang ada di cover 
belakang buku Al-Qur’an dihujat, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Henri 
Shalahuddin untuk meng-counter pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir 
modern Mesir yang telah dicap sesat dan berbahaya oleh kebanyakan ulama Mesir 
saat ini.





Bukan suatu yang aneh, memang, bila saat ini banyak internal umat Islam yang 
justru menggembosi Islam sendiri dengan berkedok ingin menyesuaikan Islam 
dengan era modern. Mereka dengan terang berani merombak al-Qur’an, 
menginterpretasi al-Qur’an dengan metodologi modern yang menyimpang dari 
kriteria penafsiran yang telah ditetapkan oleh mufassir-mufassir klasik. 
Bahkan, mereka lebih bangga dengan metodologi tafsir hermeneutika yang 
dianggapnya adalah salah satu metode penafsiran kontemporer yang patut 
diaplikasikan saat ini.





Sebagaimana yang telah diterapkan sendiri oleh Nasr Hamid Abu Zayd, di 
Indonseia, sejak mekarnya pemikiran Abu Zayd yang serba modern, metodologi 
hermeneutika telah menjadi salah satu kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh 
Indonesia. Hasil dari pembelajaran metode inipun tidak tanggung-tanggung. Pada 
tahun 2004, Kampus IAIN Yogyakarta meluluskan sebuah tesis master yang kemudian 
diterbitkan menjadi buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu al-Qur’an”. 
Tesis ini juga menggugat kesucian al- Qur’an.(Adian Husaini: 2007)





Pemikir, intelektual, ilmuwan ataupun cendekiawan seperti Abu Zayd, Mesir; atau 
seorang dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sulhawi Ruba, yang secara sadar dan 
meyakinkan, pernah menginjak ‘Lafaz Allah’, pada 5 Mei 2006, itu bukanlah orang 
orientalis yang menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti yang dikutip Amin 
Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran 
(bangsa-bangsa timur) termasuk bahasanya, kesusastrannya, dan secara umum 
kebudayaannya.





Namun, ironisnya, mengapa mereka berani dengan terang menyatakan bahwa yang 
dikakukannya adalah untuk menyesuaikan dengan era modern yang seakan-akan 
al-Qur’an yang telah diwahyukan dengan sempurna (QS al-Mâ’idah [5]: 3) itu 
masih kurang dan perlu diadakan dekonstruksi lagi?





Selain itu, kalau ditinjau dari alat dan metode yang mereka terapkan untuk 
menafsiri al-Qur’an, di sini akan ditemukan sebuah kecacatan dan pengkaburan 
otentisitas teks al-Qur’an dengan meninjau sejarah tafsir hermeneutika yang 
dicatat oleh sejarah sebagai metode yang digunakan dalam kajian Bibel. Dengan 
demikian, bila metode hermeneutika diterapkan dalam menginterpretasi al-Qur’an, 
di samping mengaburkan (merelatifkan) batasan antara ayat-ayat muhkamât dan 
mutasyâbihât; ushûl dan furû’; tsawâbit dan mutaghayyirât; qat’iyyât dan 
zhanniyât; juga akan mereduksi sisi kerasulan Rasulullah Muhammad r, hingga 
pada tingkatan menyatakan Rasulullah sebatas manusia biasa yang sarat dengan 
kekeliruan dan hawa nafsu.(Henri Shalahuddin:2007)





Kalau diulas kembali sejarah masa-masa permulaan Islam, di sana juga akan 
terungkap kisah-kisah yang sama. Pada masa sahabat Abu Bakar, misalnya, selain 
mengaku sebagai nabi, Musaylamah al-Kadhdhab juga berani membuat Al-Qur’an 
tandingan yang juga tak kalah heboh dengan Al-Qur’an yang asli.





Akan tetapi, bila ditinjau latar belakang kehidupan dari pembuat Al-Qur’an 
tandingan itu, di situ akan ditemukan sebuah catatan sejarah yang telah 
menggoreskan nama Musailimah al-Kadzdzab sebagai tukang syair yang paling mahir 
di zamannya. Dengan demikian, jika tukang syair saja mampu membuat al-Qur’an 
tandingan hanya dengan modal ahli dalam memumpuni bidang syair Arab dan tidak 
mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, lalu bagaimana dengan kisah Abu Zayd, 
Amin Abdullah, Fazlurrahman, Mohammed Arkoun dan masih banyak tokoh liberal 
lainnya yang kesemuanya pernah mengenyam di bangku-bangku Universitas Islam 
lalu hijrah ke negeri Barat dengan tujuan untuk mencerahkan agama dari 
keterpurukan sosial, ekonomi dan budaya Islam yang identik dengan kemiskinan 
dan kemunduran dalam peradaban dunia?





Hal semacam ini, tentu merupakan kekeliruan yang tidak patut untuk mereka 
lakukan kalau hanya beralasan untuk memerdekakan Islam dari keterpurukan. 
Sebab, selain akan mencuci otak mereka dengan paham sekularisme, pluralisme, 
orientalisme dan liberalisme, orang-orang Baratpun akan menjadikan mereka 
sebagai alat untuk merobohkan Islam. Hal ini terbukti dengan diterimanya Abu 
Zayd di Belanda sekaligus mendapat penghargaan sebagai ilmuwan besar dalam 
bidang studi al-Qur’an, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan 
studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno yang didirikan 
sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.(Henri Shalahuddin: 2007)





Pada Abad Ketiga Hijriah, di masa itu, Islam juga telah mengenal 
pemikir-pemikir yang sering membuat kekacauan dengan mengeluarkan 
pendapat-pendapat baru yang kata mereka adalah menurut akal yang bebas. Segala 
pokok-pokok keyakinan Islam khususnya dan agama umumnya telah mereka coba 
goyahkan dengan mengemukakan pendapat akal yang materialistis. Diantara 
pemukanya yang terkenal adalah ar-Rawandi dan Thabib Abu Bakar ar-Razi.





Mulanya, ar-Rawandi terkenal karena mengutamakan kebebasan akal untuk 
mempertahankan agama. Tetapi, kemudian ar-Rawandi telah menyimpang keluar 
menjadi kafir. Sampai soal-soal yang berkaitan dengan peribadatan diganggunya 
dengan nama kebebasan akal. Sebagian contoh yang pernah diungkapkannya adalah 
mengenai salat. Menurutnya: shalat, apa perlunya wudu, padahal meskipun berwudu 
berkali-kali, namun isi perut kita tetap kotor. Apa guna melempar-lempar jumrah 
di Mina? Apa guna Sa’i, lari-lari di antara Shafa dan Marwah?





Berlari-lari diantara Shafa dan Marwah itu hanya membuat badan payah saja, 
faedahnya tidak ada. Wuquf di Arafah bersama-sama, pun tidak ada perlunya dan 
semuanya adalah pekerjaan yang tidak dapat diterima oleh akal. (Hamka: 1994)





Bayangkan kalau orang seperti ar-Rawandi masih hidup sampai saat ini. Mungkin, 
MUI Indonesia akan memfatwakan hukuman mati baginya. Lalu bagaimana dengan 
keberadaan liberalisme saat ini. Entahlah, tapi, yang jelas pemikiran-pemikiran 
seperti mereka itu layak dan kalau perlu diadakan pemberantasan massal.





Dengan demikian, tantangan zaman terhadap Islam tidak hanya di era modern ini 
saja. Sejak zaman Nabi pun agama Islam telah ditentang habis-habisan oleh 
orang-orang yang memang berambisi untuk menghancurkannya. Namun, tantangan 
Islam saat ini jauh lebih mengerikan dari pada dulu-dulunya. Sebab, yang 
menjadi perombak itu sendiri adalah orang-orang yang justru dilindungi, 
diidolakan oleh ilmuwan-ilmuwan kontemporer dan sering tampil dengan 
pendapat-pendapat akal yang mampu membuat terpesona, sepertinya jenius, tapi 
ternyata beracun dan konyol. Wallâhu a’lam. []





Penulis: M. Roihan Rikza








--


http://harian-oftheday.blogspot.com/





"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."






Kirim email ke