I- Chapter dua; Si Merah dan Si Hitam Malam itu begitu terasa mencekam. Sinar bulan tampak memancarkan cahayanya dengan terang. Bukannya suasana seperti itu sangat indah dan neyaman, malahan terasa seperti begitu menakutkan. Angin yang menghembuskan hawa dingin, tidak terasa sama sekali. Ratusan pengemis berdiri di depan kelenteng tua di luar kota Taiyuan. Ratusan lainnya berjongkok di rerumputan yang ada di dalam hutan. Puluhan lainnya berjaga di kejahuan. Mereka diam membisu. Tidak ada suara apapun yang terdengar dari mulut mereka, hanya suara pernafasan yang berat terdengar keras. Suara detak jantung yang semakin cepat karena rasa takut dan ngeri terdengar melagu seram. Di tempat ini benar-benar seram. Di tempat lain di dalam sebuah gedung besar terlihat seorang pemuda yang tampak cemas mondar-mandir di dalam kamarnya. Berkali-kali ia mendesah berat serasa begitu berat beban pikirannya. Di bawah penerangan lilin Lie Yang tampak cemas, ia memikirkan keselamatan teman-temannya di luar. Lalu ia berjalan ke tempat tidurnya dan istirahat. Apapun yang terjadi, semuanya sudah digariskan! Sulit untuk membelokkan atau meluruskannya.gumamnya sebelum memejamkan mata. Di luar kota Taiyuan masih terasa sepi. Malam semakin larut tapi pasukan Ang-hong-pay belum juga datang. Tiba-tiba terdengar suara jeritan di dalam hutan memecah keheningan. Sebelum semuanya sadar apa yang telah terjadi di dalam sana, tiba-tiba dari dalam hutan sudah melayang turun puluhan manusia dengan pakaian hitam dan berkedok. Tanpa terasa kemenjing para pengemis naik turun karena rasa takutnya. Belum pernah mereka merasakan kehidupan yang begitu menakutkan sebelumnya. Di depan kelenteng tua sudah berdiri puluhan orang dengan pakaian hitam menyeramkan. Hanya dua mata mereka yang terlihat mencorong membetot sukma. Suasana tambah hening dan menakutkan. Pakaian mereka serba hitam, kecuali sebuah gambar di dada mereka yang berwarna merah darah. Jarak antara mereka dengan para pengemis cukup dekat sehingga mereka bisa melihat gambar Tawon Merah di dada mereka. Inikah pasukan Ang-hong-pay yang telah membantai ratusan nyawa? Dan mereka hanya terdiri dari dua puluh lima orang sajakah? tenya Sun Kay pada dirinya sendiri. Tanpa terasa ia merasakan begitu ngeri suasana malam ini. Dan kadang-kadang ada rasa kagum juga terhadap mereka yang memiliki ilmu tinggi-tinggi. Siapakah yang menjadi pemimpin di sini? tiba-tiba terdengar suara menyeramkan. Sesaat Sun Kay dengan kaget menoleh mencari suara itu datang dari mana. Suara itu terasa begitu dekat terdengar di telinganya. Apakah kamu tidak bisa melihat keberadaanku di sini? ejek orang itu. Tanpa terasa bulu kuduknya meremang takut. Orang ini seperti iblis mengirim suara tapi tidak terlihat orangnya. Suara itu terdengar dari belakangnya, bukan dari depannya. Ia menoleh mencari orang itu apakah ada di belakangnya. Lalu matanya melihat sosok yang berdiri di atas kelenteng. Pakaian yang dipakai berbeda dengan orang-orang yang ada di depannya. Pakaiannya berwarna merah semua menandakan bahwa orang ini mempunyai pangkat lebih tinggi dari pada dua puluh lima orang di depannya. Beberapa detik kemudian, bayangan merah itu menghilang. Wajah Sun Kay tambah pucat melihat ginkang pemimpin mereka ini. Ginkang yang hebat sekali. Sampai-sampai ia tidak tahu sejak kapan orang memakai pakaian merah itu pergi. Siapakah diantara kalian yang bernama Sun Kwe San ketua Kay-pang cabang Shansi? terdengar suara lagi bertanya. Kali ini Sun Kay benar-benar gelagapan karena ia tidak bisa lagi menemukan dimana orang itu berada. Aku di sini! Apakah kamu tidak punya mata untuk melihat? jengak setengah ejek orang itu. Suara itu terdengar dari dalam kelenteng yang kosong. Tidak lama kemudian, orang berbaju merah itu keluar. Berapa orangkah pemimpin berbaju hitam itu? Menakutkan sekali! katanya di dalam hati. Akulah yang bernama Sun Kwe San! jawab Sun Kay tegas dan lugas. Apakah kamu tahu untuk apakah kedatangan kami ke sini? tanya orang berbaju merah itu. Kami tidak akan pernah bergabung dengan kalian! Lebih baik kami mati dengan terhormat dari pada kami dikutuk nenek moyang kami! jawab Sun Kay. Hahaha... kalian begitu bodoh, lebih-lebih engkau Sun Kwe San! Kami datang bukan untuk mengajak kalian bergabung dengan kami, tapi ingin membantai kalian semuanya! kata si baju merah membuat merinding para pengemis Kay-pang. Ketika menyebut kata-kata membantai si baju merah itu mengeraskan sehingga terdengar dan bergema di mana-mana. Apakah kalian mampu membantai kami semuanya? tantangnya berapi-api. Ia sudah melupakan lagi keraguan dan ketakutannya. Seperti seorang yang sedang kedinginan kalau bisa mendapatkan api akan terasa hangat dan panas. Seperti itulah jiwa Sun Kay. Tadinya ia ragu untuk bergebrak dengan si baju merah itu, tapi bicaranya yang terlalu menghina membuatnya marah. Hahaha... hanya cacing-cacing tanah seperti kalian kenapa kami tidak mampu?. Seandainya kalian bertambah sepuluh lipat lagi pun kami masih bisa membantai kalian semuanya. Besar sekali omongan ini. Kali ini Sun Kay sudah dibakar habis oleh lawannya sehingga tidak bisa mengontrol lagi jiwanya. Bangsat, rasakan ini!. Sambil berseru keras ia berlari ke arah si baju merah. Tongkat yang ada di tangannya dilemparkan ke arah bayangan merah di depannya. Kali ini ia langsung menggunakan jurus paling berbahaya Hui-tung (Tongkat Terbang) andalannya. Baru saja tongkat itu melayang menyerang dada si baju merah. Tiba-tiba saja tongkat itu membalik, seperti ada penghalang besi di depan si baju merah itu. Sebaliknya si baju merah hanya berdiri sambil memperlihatkan senyum sinis dan mengejak. Tongkat yang ia lemparkan kali ini menyerang balik ke arahnya sendiri. Ini baru namanya senjata makan tuan. Aih!!! ia menjerit sambil menghindar dengan membuang dirinya ke samping kanan. Melihat tongkat terbang ketuanya ini para pengemis tanpa terasa semakin ketakutan. Mereka tidak bisa membantu ketuanya karena di sini hanya ketuannya saja yang mempunyai ilmu silat paling tinggi. Ketuanya kalah dengan mudah apalagi mereka. Untung saja tongkat itu bisa ia hindari sehingga ia tidak terkena gebukan tongkat itu. Ia berdiri dengan muka pucat melihat kemampuan lawannya itu. Tongkatnya yang sudah jatuh di tanah ia ambil lagi. Ia heran kenapa lawannya tidak segera menyerangnya malah masih berdiri sambil mengejek. Ah, begitu goblok dan bodoh kamu Sun Kay! Kenapa menggunakan kekerasan kalau masih ada jalan lain untuk menyelamatkan diri sendiri dan teman-temanmu! katanya dengan nada sedih, padahal ia tidak bersedih. Permainan apa lagi yang ingin kamu lakukan? tanyanya setengah membentak. Ah, hebat, hebat sekali! Sudah tidak ada kemampuan sedikitpun untuk melawan masih berani membentak-bentak. Tapi sayang sekali nyali yang begitu tinggi tidak disertai akal yang cerdas! Bangsat, setan! Apakah kalian datang hanya ingin menghina kami yang lemah? Bunuh sekalian dari pada kami harus mendengarkan ocehanmu yang berbau busuk seperti kentut itu! Hahaha... menarik, menarik sekali! Dengar baik-baik! Kami datang memang ingin membantai kalian, cuma sayang aku tidak tega melakukannya. Aku akan melepas dan tidak akan mengganggu kalian jika kamu mau menyerahkan Kim-liong Giok-ceng (Kemala Hijau Naga Emas) padaku! Kim-liong Giok-ceng (Kemala Hijau Naga Emas)? Baru kali ini aku mendengar nama ini. Apakah kamu sudah gila mengatakan kalau aku mempunyai barang itu? kata Sun Kay heran campur bingung. Ternyata kedatangan mereka untuk barang itu, bukan untuk membantai seperti apa yang dilakukan mereka terhadap partai-partai lainnya. Aneh sekali orang ini. Tidak usah berlagak pilon! Aku tahu kamu mempunyai barang itu. Sekarang serahkan barang itu dan aku akan membiarkan kalian semua hidup! Tapi kalau masih bandel, hmm. Jangan salahkan diriku jika tempat ini menjadi kuburan kalian! Eh! Jangan mabuk. Benar-benar aku tidak mempunyai barang itu. Bahkan medengar namanya saja baru malam ini kudengar. Jawab Sun Kay jujur. Ia benar-benar tidak tahu apa itu Kim-liong Ceng-giok, bahkan baru malam ini ia mendengar nama barang itu. Baik! Jangan salahkan aku jika kugenangi tanah ini dengan darah kalian! katanya yang diikuti dengan suara sringgg, sringggg bunyi pedang dikeluarkan berbareng oleh dua lima orang berbaju hitam. Baik! Akan kukabukan impianmu! jawab Sun Kay dengan didahului dengan terjangan mengadu nyawa. Baru saja ia meloncat satu langkah, ia sudah berhenti secara mendadak. Kakinya terasa tiba-tiba saja tidak bisa digerakkan. Seperti ada yang memegang atau yang menutuk urat nadi di pergelangan kedua kakinya. Benar-benar ia tidak bisa bergerak. Lalu ia memejamkan kedua matanya untuk menunggu ajal menjemput. Tiba-tiba ia merasakan tongkat yang dipegangnya terlepas seperti ditarik seseorang. Beberapa menit kemudian ia mendengar suara Bug-bag-big-bug seperti suara tubuh terkena pukulan. Lalu terdengar pekik ngeri dari belakangnya. Sebenarnya ia tidak berharap melihat atau mendengar suara pekikan ngeri saudara-saudaranya, tapi apa dayanya saat ini. Tubuhnya tidak bisa digerakkan untuk segera menemui ajalnya. Setelah itu tidak terdengar lagi suara jeritan. Suasana menjadi sepi dan hening. Hanya suara detak jantung yang terdengar sangat memburu. Dua matanya ia buka dan alangkah kagetnya ketika melihat orang berpakaian merah itu terlihat kedua matanya sepertinya melotot ke arahnya dengan seram. Dan ia melihat juga betapa mata semua orang beralih ke arahnya. Wajah teman-temannya tampak pucat seperti mayat. Apakah yang terjadi?. Selagi ia bertanya-tanya pada dirinya apa yang terjadi. Tiba-tiba matanya melihat tongkatnya itu melayang berputaran mengelilingi tubuhnya. Tongkatnya itu seperti hidup. Oh, apakah aku sudah gila atau mati? katanya terkesiap dan meremang bulu kuduknya. Tongkatnya itu melayang di udara sambil melenggok-lenggok menuju ke arah orang berpakaian merah itu. Dua mata orang berpakaian merah itu tampak melotot entah apa yang dipikirkannya itu. Ia semakin heran. Kenapa melotot seperti itu, apakah sudah bosan hidup? tiba-tiba terdengar suara mengejek. Suara itu terdengar dari dalam tongkat. Apakah tongkatnya sudah menjadi arwah gentayangan sehingga mampu bicara?. Benar-benar tongkat menakutkan. Suara itu sulit ditentukan apakah suara orang muda atau tua, laki-laki atau perempuan. Orang yang memakai pakaiawan berwarna merah itu tambah melotot dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak entah apa yang ditertawainya. Locianpwe kumohon sudi menampakkan diri, jangan memperlakukan orang lemah seperti itu? kata si merah setelah selesai tertawa. Ia ternyata baru sadar bahwa tongkat yang melayang-layang itu sebenarnya dikendalikan oleh seseorang berkepandaian tinggi dengan menggunakan semacam ilmu Menjerat Angin. Dilihatnya anak buahnya telah tergeletak malang melintang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia sudah tidak berani lagi membayangkan bagaimana kepandaian orang yang memainkan tongkat itu. Pikirannya hanya bergejolak bagaimana harus kabur. Tiba-tiba terdengar suara duk tongkat yang melayang-layang itu jatuh. Sedangkan Sun Kay sudah bisa bergerak. Ia semakin kaget ketika membalikkan badan karena ia melihat dua puluh lima orang berpakaian hitam itu sudah roboh semuanya. Entah dengan ilmu apa orang itu bisa merobohkan lawannya begitu cepat?. Ngeri dan girang campur aduk dipikirannya. Apakah locianpwe masih tidak mau menampakkan diri? seru si baju merah. Suasana masih sepi tidak ada suara apapun, hanya suara angin yang terdengar menderu. Dingin. Apakah kamu tidak bisa melihat keberadaanku di sini? terdengar suara mengejek di mana-mana. Kali ini si baju merah yang dipermainkan seperti ia tadi mempermainkan Sun Kay. Jawabannya juga sama dengan jawaban si baju merah. Locianpwe, jangan main-main lagi! tiba-tiba suara si baju merah meninggi agak tergetar karena mengekang rasa marahnya sehingga terdengar bergetar. Aku di sini! Apakah kamu tidak punya mata untuk melihat? katanya meniru suara si baju merah. Aneh sekali. Suara angin malah terdengar seperti lantunan suara yang sangat merdu. Membuat orang semakin nyaman, tidak tegang dan ngeri seperti tadi. Para pengemis tampak tiba-tiba tersenyum mendengar suara angin. Suara itu semakin tinggi bertambah menggema merdu. Si baju merah bukannya tambah senang seperti para pengemis Kay-pang, malah semakin beringasan. Kim-liong Hong-hoat-sut (Sihir Angin Naga Emas)! teriak si baju merah setengah tercekik. Ternyata engkau mengenal juga ilmu ini. Kukira engkau seorang yang goblok! Aku ada di sini. Lihat baik-baik ! terdengar suara terbawa angin. Seketika si baju merah melihat sesosok memakai baju hitam seperti anak buahnya. Tapi baju itu bukan baju ringkas, malahan baju longgar dan besar. Baju itu berkibar-kibar tertiup angin. Sesosok hitam itu berdiri di atas pucuk pohon yang ada di depan kelenteng tua. Semua mata menyorot ke pucuk pohon itu. Luar biasa tingginya ginkang (Ilmu Meringan Tubuh) orang itu. Hanya dengan pucuk dedaunan di atas pohon ia mampu berdiri dengan anteng tanpa goyang. Sepertinya tubuh hitam itu hanya seenteng kapas, sehingga dedaunan itu tampak tidak terbebani. Lalu sesosok bayangan hitam itu melayang ke bawah tanpa menggerakkan kedua kaki atau badan lainnya sama sekali. Tubuhnya seperti melayang terbawa angin dan turun di atas tanah tanpa suara atau ada debu mengepul sama sekali. Bagaimana locianpwe bisa menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang (Tenaga Sakti Angin Sakti)? Siapakah sebenarnya locianpwe? tanya si baju merah tiba-tiba ke sosok hitam itu. Mestinya aku yang bertanya dari mana kamu bisa ilmu itu juga? Yang muda mestinya menjawab pertanyaan yang tua, bukan sebaliknya. Itu namanya tidak sopan! Dan barang siapa tidak sopan kepada orang tua, maka hukumannya hanya MATI! kata sosok hitam pelan membuat si merah tambah takut. Hm, jangan sok hebat di depanku? Memang ilmuku masih jauh dari pada hebat, namun dibelakangku masih ada yang lebih hebat daripada locianpwe kuasai dan miliki! katanya tidak takut-takut lagi. Hahaha... luar biasa berani dan besar amat nyalimu, sayang sebentar lagi akan menjadi mayat seperti lima puluh anak buahmu! kata sosok hitam pelan. Si merah mundur beberapa langkah. Ia benar-benar kaget dengan apa yang didengarnya. Ternyata anak buah yang dibawa oleh si merah tidak dua puluh lima, bahkan lima puluh pasukan dan mereka mati semua dalam sekejab saja, padahal lima puluh pasukannya adalah pasukan istimewa. Benar-benar ia ketakutan. Kali ini ia baru mengenal apa artinya takut. Lucu sekali wajahnya seandainya tampak. Ia tahu bahwa ia toh akan mati saja. Makanya mumpung ia masih ada kesempatan, ia akan menggunakan kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Lalu dengan jeritan hebat ia menyerang menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang yang sudah ia latih sampai tingkatan tiga. Lebih baik mati dari pada ia dipaksa membocorkan rahasia. Kali ini ia mencoba mengadu nasib. Melihat gerakan si merah ini para pengemis sampai terbelalak lebar. Si merah itu melayang menggunakan sin-kang (hawa saktinya) untuk menunggangi angin dan menggunakannya sebagai senjata menyerang lawan. Jarak antara si merah dengan sosok hitam hanya ada sepuluh langkah saja, sedangkan jarak mereka agak jauh. Sun Kay juga sudah mulai minggir. Hawa pukulan yang digunakan oleh si merah benar-benar hebat. Terdengar suara mendesih-desih hebat sampai kadang-kadang suara itu terdengar seperti suara gesekan pedang memekakkan telinga. Hawa yang dipantulkan juga membuat sebagian pengemis sampai mundur beberapa langkah. Angin yang menyambar mereka sangat menyakitkan. Belum pernah mereka melihat pertandingan tenaga dalam seperti ini, bahkan Sun Kay yang sudah mempunyai banyak pengalaman pun sampai bengong hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Beberapa kali si merah menyerang dari jarak jauh menggunakan angin sebagai senjatanya. Kadang-kadang angin itu bisa berubah menjadi sebuah tangan yang menjulur panjang atau kadang-kadang menjadi setajam pedang, sehingga dengan tenaga dalam yang kuat dan menggunakan ketajaman angin ia bisa memotong kayu atau tubuh orang. Tapi anehnya pukulan-pukulannya tidak ada yang bisa mencapai tubuh lawannya. Nayatanya lawanya masih diam tidak bergoyang sedikit pun, bahkan tambah mencorong matanya. Lalu ia semakin nekat. Ia lebih mendekat dengan bertubi-tubi melakukan pukulan sambil melayang-layang terbawa angin. Nyatanya bobotnya juga bisa seringan itu. Berkali-kali terdengar desiran angin seperti desiran pedang ketika angin pukulan si merah membacok ka arah lawan. Sosok hitam itu masih diam sambil menggendong dua tangannya di belakang. Setelah mendekat, si merah baru tahu bahwa lawan telah melindungi tubuhnya dengan angin yang membentuk prisai. Makanya pukulan dan sayatan hawa sinkangnya tidak bisa menembus lawan. Lalu dengan jeritan histeris ia menyerodok dengan menggunakan kepalanya ke arah tubuh sosok hitam di depannya. Kali ini ia sudah siap mati, karena ia tidak mampu melawan sosok hitam itu. Baru mendekat ia merasakan diterjang oleh gelombang dahsyat sinkang yang sangat hebat. Sinkang yang menyusup bersama diantara terjangan angin topan dan badai itu membuatnya ikut tergulung. Ia tersedot ke dalam angin yang sangat kencang. Tubuhnya berputar-putar mengikuti gelombang angin. Beberapa kali ia merasakan angin berhawa dingin dan panas dalam badai yang menggulung dirinya. Bajunya robek-robek hangus oleh singkang panas yang menyusut ke tubuhnya. Setelah itu ia tidak sadarkan diri karena terlalu lelah diombang-ambingkan di dalam gelombang angin puyuh yang menyakitkan. Hanya sekejap saja angin sudah tenang seperti biasa, sedangkan tubuh si merah tampak terkoyak-koyak hancur. Para amggota Kay-pang benar-benar terbengong melihat atraksi gratis ini. Sebelum mereka sadar dengan apa yang mereka lihat. Sosok hitam itu sudah melayang sambil membawa tubuh si merah yang lagi pingsan. Sun Kay pangcu tolong jangan membikin susah para anggota Ang-hong-pay yang dalam keadaan pingsan itu. Besok pagi mereka akan segera siuman dan biarkan mereka pergi. Mereka telah kehilangan ilmu silat dan tenaga sakti. Mereka akan menjadi orang-orang biasa lagi! terdengar suara berkali-kali menggema membuat para anggota Kay-pang tersadar. Setelah suara itu hilang, baru mereka bisa bernafas lega. Di tempat itu lalu terdengar suara ramai sekali. Ada yang bertanya-tanya siapa penolong mereka, atau tertawa karena mereka terbebas dari kematian dan lain-lainnya. Hanya Sun-pangcu yang diam dengan seribu pertanyaannya. Setelah menghela nafas panjang, lalu ia menyuruh anak buahnya untuk tidak mengusik tumpukan orang pingsan itu. Kali ini ia benar-benar tidak percaya ada orang mempunyai kemampuan seperti itu. Orang itu dengan mudah bisa menyetir dan mengendalikan angin menggunakan sinkangnya. Hanya sinkang yang sudah benar-benar sempurna saja yang mampu melakukan hal itu. Dan entah ilmu apa yang dimainkan oleh penyelamatnya. Mungkin ilmu sihir. Berkali-kali ia geleng-geleng kepala sambil meninggalkan tempat menyeramkan itu. <><><><><>()<><><><><> --------------------------------- Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
[Non-text portions of this message have been removed]