Kiriman dari seorang kerabat
=================================================
HUTANG KITA
TERHADAP JOGJA
Film Janur Kuning memang dahsyat! Film yang
digarap tahun 1980-an mampu menggoreskan optimisme anak anak SD se-
usiaku saat itu tentang apa arti pantang menyerah. Indonesia hampir
kolaps. Meski sudah memproklamirkan diri sebagai negara merdeka, Agresi
I dan II (1947-1948) oleh Belanda seolah-olah membuat proklamasi yang
dibacakan Sukarno itu sia-sia. Tapi dengan sedikit tentara yang
tersisa, Jogja saat itu ibu kota negara, selama 6 jam berhasil dikuasai
tentara rakyat. RRI selama beberapa jam mengumandangkan pekik "Merdeka"
dan mengumumkan dengan bangga ke dunia internasional bahwa Indonesia
masih ada! Andai saja 6 jam di Jogja tak terealisasi, mungkin Konfrensi
Meja Bundar yang mengantar penyerahan teritori Indonesia dari Belanda
tidak akan pernah ada. Sayang, film itu terlalu menonjolkan ketokohan
Suharto. Bukan Panglima Sudirman yang sesungguhnya mempunyai andil
besar dalam perlawanan yang heroik itu.
Mengenang Jogja adalah mengurai arti
perjuangan. Bukan hanya karena kota ini sarat akan sejarah berdirinya
Republik Indonesia. Tapi Jogja adalah kota perjuangan dalam arti yang
sesungguhnya. Siapapun yang pergi Jogja mempunyai sebuah harapan untuk
masa depan yang lebih baik, cita-cita yang tinggi, terutama dengan
menyelesaikan studi di perbagai perguruan tinggi di Jogja yang mencapai
lebih dari seratusan.
Jogja tidak menjanjikan uang sebanyak di Jakarta, atau bahkan
kota kota besar lainnya di Jawa. Kalau anda pengusaha, mungkin Jogja
bukanlah alternatif yang tepat untuk mengembangkan usaha, kecuali mau
mempertimbangkan pengeluaran mahasiswa yang pas-pasan.. Demikianlah,
karena sebagian besar mahasiswa saya yakin juga hidup dalam kondisi
perjuangan; Pengeluaran dan pemasukan yang selalu diawasi oleh orang
tua. Bagi yang kuliah sambil bekarja tentu harus lebih prihatin lagi
karena gaji UMR di Jogja sangat rendah. Lebih rendah dari kota besar
lainnya di Jawa. Saya pernah bertanya pramuniaga di Matahari Malioboro,
Mirota Kampus Kaliurang, para penjaga counter HP di Ramai Malioboro,
penjaga warnet di sekitar UII, dan penjaga wartel di beberpa tempat.
Gaji mereka sebulan sekitar Rp 200-300 ribu. ($25-35), padahal penjaga
counter pakaian di Grage Mall Cirebon itu Rp 400 ribu... Oh ya, teman
saya yang kerja di kantor PLN juga becerita gajinya Rp 200.ribu. Tapi
aneh semua yang saya tanya apakah cukup, semua mengatakan "ya dicukup
cukupin-lah". Lebih aneh lagi adik kelas saya yang pernah nyambi
sebagai ustadzah di sebuah pesantren di Jogja gajinya cuma Rp 75 ribu
($7,5) sebulan (th1999an) dan dia berhasil tidak meminta kiriman rutin
dari orang tuanya.
Jangan silau dengan mahasiswi mahasiswi cantik Jogja yang nyambi jadi pelayan di restauran
atau counter counter HP. Gajinya tidak seberapa di bandingkan kota
lain, apalagi di Jakarta misalnya. Oh ya, saya ingat gaji teman saya
hanya lulus SMA yang jadi buruh non skill di Bekasi itu sekitar Rp 800
ribu. Di Jogja, gaji sebesar itu lumayan bagus untuk bulan-bulan
pertama lulusan S1 Jogja. Saya pernah ngobrol dengan teman-teman
lulusan UMY yang bekerja di bidang computer. Mereka terbengong-bengong
dengan beasiswa bulanan saya di UGM yang jumlahnya melebihi gaji
bulanan mereka. Saya baru tahu lulusan IT UMY-pun kalau belum
established benar, bayarannya tidak lebih dari sekitar Rp 800 ribu.
Teman teman S1 saya bilang "itu sudah gede mas.". Jadi di Jogja lulusan
skilled S1 gajinya sama dengan buruh lulusan SMA di Bekasi.
Perjuangan, artinya menyiasati hidup. Meski
hanya Rp 250 ribu ($30) sebulan mereka bisa hidup, bisa belajar, bahkan
bisa juga sambilan buat pacaran haha... Pelayan cantik di Mirota itu
ternyata tiap pagi dan sore diantar-jemput pacarnya. Temanku, Siregar
dari Batak, hari pertama gajian biasanya makan di Rumah Makan Padang
Sederhana yang sekali makan (dibungkus) tarifnya sekitar Rp 10 ribu.
Tapi pertengahan bulan sudah nongkrong di angkringan. Tiap malam
menikmati nasi kucing dan susu jahe hanya dengan Rp 2.500 (2,5 cents).
Minggu terakhir biasanya dia akan mengurangi jatah makanannnya. Aku
hampir pasti yakin pengeluaran mbak-mbak yang nyambi itu nggak cukup
buat menjaga tata-rias dan penampilan yang harus segar setiap saat.
Perjuangan itulah pelajaran yang sedang dijalankan oleh figur-figur
mahasiswa di atas. Mereka berpikir bagaiamana menyiasati kekurangan
kiriman dari rumah, atau menyambung hidup untuk meneruskan rencana
cita-cita. Untungnya di Jogja banyak gerobak angkringan atau mbok-mbok
yang menjual nasi beserta lauknya hanya sekitar Rp 2.000. (2 cents). Oh
ya, saya dan teman teman biasa sarapan di si mbok belakang kost-ku.
Nasi pake ayam suir-suir (sobekan daging ayam) hanya sekitar Rp 2.000.
terkadang Rp 1.500 (1.5 cents). sudah plus pake air minum teh anget,
hmmm, murah benar!. Tengah malam sekitar jam 01-03 kalau lapar banget
tinggal pergi ke pasar Gejayan. Di lesehan midnite itu bisa makan
sambel petai ikan, atau ayam dan sayuran seharga Rp 3.000-an (3 cents).
Bagi para mahasiswa, Jogja memang menyediakan semua fasilitas
belajar untuk hidup dalam perjuangan. Angkringan yang murah dan nonstop
setiap waktu. Mbok-mbok yang sayang dan perhatian sama mahasiswa. Pak
RT yang tidak lupa mengundang slametan. Teman teman yang siap meminjami
uang jika kiriman datang terlambat. Pacar yang juga tetap setia dan
sabar meski lagi bangkrut. Kios kios rental VCD yang menyediakan film
film bajakan penghilang stress. Bahkan kata Emha Ainun Najib, pelacur
pelacur Jogja itu murah murah juga menyesuaikan tarifnya dengan kondisi
kota Jogja. Saat kos di Minomartani baru sadar kalau bapak semangku itu
seorang germo di Sarkem. Katanya kalo mau, bisa datang kapan saja.
"Banyak discount", rayunya.
Aku yakin orang orang Jogja masih banyak
menganggap hidupnya sama seperti saat nenek moyang mereka bersedia
menjadi tameng Tentara Rakyat di hadapan serdadu Belanda. Mereka harus
ikut melebur diri dengan perjuangan para pelajar dan mahasiswa untuk
meraih cita-citanya. "Teruskan kalian belajar untuk membangun negeri
ini, biarkan kami yang menyediakan logistiknya...",
mungkin begitu yang ada dalam benaknya. ***
Masa "tirakat" bagi para pelajar mulai berhenti saat mereka
sudah berhasil meraih degree akademiknya dan mendapatkan kerja. Hidup
di Jogja atau di lain kota. Lain halnya dengan penduduk Jogja dan
sekitarnya yang belum sempat meraih pendidikan tinggi dan hidup dalam
ekonomi yang pas-pasan. Perjuangan dan tirakat bukan lah suatu fase
hidup yang akan berakhir tapi sudah menjadi bagian hidup yang harus
terus dijalani. Orang Jogja seakan sadar apa yang mereka lakukan adalah
perjuangan mulia, berkorban untuk orang orang non Jogja dengan
melupakan nasib mereka sendiri. Ibarat lilin mereka memberi penerangan
tapi membiarkan mereka sendiri terleleh oleh api.
Di sudut-sudut Malioboro kita bertemu orang jogja asli yang
sepanjang hari menunggui becaknya mengais rezeki dari penumpang. Syukur
ada turis yang mau naik becak. Jangan heran, hanya di Jogja yang punya
tarif resmi becak. Di samping itu para penarik becak sangat lebih rapi
dari pada tukang becak di Pantura. Mereka mau antri, atau
mempersilahkan temannya mendapatkan penumpang. Aku tahu penghasilan
mereka kurang dari cukup tapi demikianlah kehidupan harus di jalani.
Anda perlu tahu, kalau ke Jogja tak usah ragu naik becak. Tarifnya
sudah standar, aman, dan ramah karena mereka sebagian besar mendapatkan
pembinaan dari dinas pariwisata Jogja. Setiap pagi, di saat para
mahsiswa masih malas-malasan di atas kasur, orang Jogja selatan (Bantul
Gunung Kidul, Purworejo dan sekitarnya) sudah memenuhi jalan
mempersiapkan semua keperluan utama industri akademik Jogja. Tukang
sapu, buruh pasar, cleaning service, penjual sayur, nasi, bubur ayam,
security, buruh pabrik, tukang bangunan dan para pegawai rendahan
lainnya berlomba memacu sepeda ontel dari selatan (Bantul dan
sekitarnya) ke utara pusat kegiatan Jogja. Mereka yang tinggal di
desa-desa banyak yang tetap mengais rezeki di sawah atau Madang
menyediakan komoditas makanan dan sayuran. Pukul 6, Ring-Road utara
biasanya sudah ramai suara hiruk-pikuk, senda-gurau dan saling sapa
antar mereka. Agak siang sedikit orang Jogja yang sudah lebih baik
pendidikannya berangkat kerja, ke Supermarket, atau toko-toko bukan
milik orang Jogja yang berjamuran di pojok-pojok kota, office boy di
kantor-kantor, atau membuka dagangan di Malioboro. ***
Jogja, dan orang orangnya punya karakter yang unik. Kenal Mbah
Maridjan 67 th penjaga gunung Merapi yang tidak mau turun gunung meski
sudah diperintahkan Sultan Jogja?. Bagi dia berdo'a di kesunyian Merapi
untuk keselamatan jiwa penduduk di punggung Merapi adalah kewajiban
utamanya. Presiden SBY pun tak urung mengirim salam dengan mbah yang
unik ini. Jawa, khusunya Jogja memang khas. Masih ada orang seperti
Mbah Maridjan. Jangan heran mungkin hanya ada di pasar Beringharjo
Jogja, ada laki-laki (bertawaf) berkeliling pasar memakai pakaian
kraton dan blangkon yang agak lusuh sambil membaca mantera. Tak sempat
aku bertanya apa maksudnya, tetapi aku tahu ada 2 mantera; mantera
untuk kebaikan dan mantera untuk kejahatan. Aku menduga laki laki itu
sedang berdo'a untuk kebaikan pasar. Beberapa bulan setelah Tsunami
melanda Aceh, ada kabar Jogja akan dapat giliran. Raja Jogja (tentu
setelah berkonsultasi dengan penasihat spiritualnya) memerintahkan
masyarakat untuk memasak sayur lodeh 7 macam (9 macam?) bahan sayuran.
Tak ayal hari hari itu sulit mendapatkan bahan sayur lodeh di pasar.
Aku ingat betul, keluarga dan tetangga temanku saat itu sedang sibuk
memasak sayur lodeh. Temanku mengeluh tidak mendapatkan kacang panjang
di pasar. Pagi-pagi sudah diserbu pembeli, katanya.
Tsunami lawan sayur lodeh... unik bukan?! Damarjati Supajar,
filosof Jogja dan penasihat pribadi Sultan sering mencoba
merasionalisasikan arti sayur lodeh. Tetap saja susah dilogikakan. Yang
jelas, masyarakat dari Wonosari di Gunung Kidul, sampai Kalikuning di
Sleman percaya bahwa sayur lodeh telah meredakan tsunami. Mbah
Maridjan, pria lelaku dan contoh2 lain di atas adalah ungkapan khas
tradisi Jawa yang khas dan rumit menjelaskannya. Damarjati Supajar
selalu memulai dengan bertanya; lahir itu ada dari mana? Kemudian dia
akan menerangkan filosofi Alun-alun Utara, Selatan, Siti Hinggil sampai
Istana Sultan yang menghadap gunung Merapi. "Bumi itu pusatnya di
Jawa...", begitu mitos orang-orang Jogja.
Nies Mulder dan Marx Woodward menekankan sisi mistis Jawa yang
sangat kental, dan selalu menjadi warna tradisi masyarakat Jawa sama
seperti para antropolog pendahulunya meski penelitiannya dilakukan di
tempat lain sepeti Hefner (di Tengger) dan Geertz (di Pare). Kalau aku
mencerna dari orang orang Jogja, filosofi Jawa adalah filsafat Urip mung mampir ngombe (hidup di dunia ini sekedar mampir minum).
Artinya sekedar singgah di rumah teman, cafe atau warung kopi. Sekedar
menghilangkan dahaga. Sebagaimana orang mampir, maka karakteristiknya;
harus mencoba menikmati apa yang dihidangkan, hormat terhadap tuan
rumah, tidak terlalu bernafsu untuk mendapatkan yang lebih, selalu
mawas dengan tujuan hidup setelah mampir "ngombe" yaitu kehidupan
sebenarnya di rumah masing-masing (alam setelah dunia). Saat mampir di
rumah orang, orang Jawa tahu akan banyak hal terjadi, mungkin
menyenangkan, mungkin menyedihkan, tapi orang Jawa harus tetap tenang
karena ingat itu terjadi hanya sebentar dan sesaat. Pada waktunya
semuanya akan berakhir. Bagiku mbah Maridjan, lelaki pembaca mantera
dan sayur lodeh adalah local wisdom dalam rangka secara tradisonal
melestarikan filosofi urip mung mampir ngombe yang melingkupi
jagat Jawa di Jogja. Bukan syirik ! Mereka hanya mencoba secara kreatif
mengelola secara tradisi hubungan mesra dengan Allah Gusti Pangeran
yang mereka yakini. ***
Kini para penyokong perjuangan generasi bangsa itu sedang
menangis. Handai-taulan dan rumah mereka terberai dalam kesedihan. Para
nelayan di Bantul yang menyediakan ikan dan bahan sayuran untuk para
mahasiswa masih dalam kesengsaraan. Mereka selama ini adalah
pribadi-pribadi tegar yang membantu para pelajar mahasiswa, sarjana dan
profesor-profesor tanpa memprotes berapapun sedikit gaji yang mereka
terima.. Pribadi-pribadi tanpa serakah itulah yang menjaga Jogja tetap
menjadi kota yang nyaman untuk "perjuangan" para pelajar. Saya yakin
orang-orang Jogja seperti mereka adalah orang yang kuat secara batin.
Mereka tidak akan terlalu lama menderita dengan musibah ini. Mereka
sudah terlatih dengan sikap "optimisme" hidup mung mampir ngombe.
Tetapi kita semua, Republik Indonesia, harus merasa berhutang dengan
Jogja dan orang orangnya yang telah berandil besar dalam sejarah
Indoensia masa lalu dan masa kini. Dalam kehidupan pribadi atau
bersama. Saya yakin salah satu dari profesor, gurunya profesor, guru,
teman, suami, istri, pacar, bahkan selingkuhan anda pasti ada dan
pernah berada di Jogja. Saat ini mungkin waktu yang paling tepat untuk
membayar hutang kita terhadap JOGJA. ____________________________________
Pulang ke
kotamu,
Ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama …. suasana Jogja Di persimpangan langkahku terhenti Ramai kaki lima Menjajakan sajian khas berselera Orang duduk bersila Musisi jalanan mulai beraksi Seiring laraku kehilanganmu Merintih sendiri Ditelan deru kotamu ... Reff:
Walau kini kau t'lah tiada tak kembali Namun kotamu hadirkan senyummu abadi Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi Bila hati mulai sepi tanpa terobati Yogyakarta
– Kla Project
__________________________________________________ --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Anda menerima pesan ini karena Anda tergabung pada grup Grup Google "kissmiss" grup. Untuk mengirim pesan ke grup ini, kirim email ke kissmiss@googlegroups.com Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Untuk pilihan lainnya, lihat grup ini pada http://groups.google.com/group/kissmiss -~----------~----~----~----~------~----~------~--~--- |